Sumber Air Minim, Berharap Hujan Turun

Hukum | Jumat, 06 Maret 2020 - 11:50 WIB

Sumber Air Minim, Berharap Hujan Turun
KONFERENSI PERS: Dari kanan ke kiri Pakar Lingkungan Riau Dr Elviriadi, Direktur LBH Pekanbaru Andi Wijaya, dan Kabag Ekosob Noval saat konferensi pers terkait penegakan hukum karhutla di Riau yang hanya menyasar masyarakat kecil, Kamis (5/3/2020). (SOFIAH/RIAU POS)

SELATPANJANG (RIAUPOS.CO) -- Tidak kurang dari sembilan hari, hingga Kamis (5/3) kebakaran hutan dan lahan (karhutla) masih berlangsung di sejumlah desa di Kepulauan Meranti. Namun status tersebut hanya berlaku untuk Desa Tanjung Kedabu Kecamatan Rangsang Pesisir dan Desa Mengkikip Kecamatan Tebingtinggi Barat. Samentara titik api di Desa Telesung dapat dipastikan telah padam, walaupun sempat terjadi kebakaran hebat beberapa hari sebelumnya.

Kabar itu dibeberkan Kasi Karhutla dan Kecelakaan BPBD Kepulauan Meranti Ekaliptus kepada Riau Pos, Kamis (5/3) siang. Menurutnya, saat ini tim pemadam sedang fokus di Desa Tanjung Kedabu. Dari pantauannya, tempat itu masih menyisakan dua titik api dengan level konfiden di atas 80 persen dan satu titik di atas 50 persen.


Di lokasi lain dari laporan yang ia terima, Desa Mengkikip hanya terdapat beberapa titik panas yang masih melalui proses pendinginan. Dan status padam berada di Desa Tanjung Kedabu. Dari pantauan BMKG, prakiraan cuaca Kepulauan Meranti lembab. Potensi hujan di beberapa lokasi kebakaran. Dikatakannya hujan lebat sempat melanda Selatpanjang, namun tidak di Desa Tanjung Kedabu yang masih berapi.

"Memang cuaca mendung tampak akan hujan. Tapi belum hujan. Kami berharap di dua desa yang masih terdeteksi titik panas ini segera hujan. Mudah-mudahan hujan," bebernya.

Dari tiga desa tersebut untuk luas titik lokasi dampak dari karhutla perkiraannya tidak kurang dari 18 hektare lahan, kebun, dan hutan warga.

Sementara Kapolres Meranti AKBP Taufiq Lumkman Nurhidayat SIK MH mengatakan, kendala dalam proses penanggulangan masih terbentur oleh cuaca, panas, kering, minim sumber air dan kencangnya angin. "Selain angin, kami bersama masyarakat harus menggali tanah untuk mendapatkan air dan air tersebut tidak bisa tahan lama dan cepat kering serta harus mencari sumber air di lokasi baru," bebernya.

JPU Kasasi dalam

Kasus Syafrudin

Kasus karhutla yang melibatkan masyarakat kecil di Indonesia khususnya Riau menjadi perhatian khusus. Kasus Kakek Syafrudin pun kembali mencuat ke permukaan setelah dinyatakan bebas oleh Pengadilan Negeri Pekanbaru pada 4 Februari lalu. Namun, Jaksa Penuntut Umum (JPU) mengajukan kasasi untuk perkara tersebut. Penegakan hukum karhutla terhadap korporasi lemah. Dari situlah LBH Pekanbaru konferensi pers terkait penegakan hukum karhutla di Riau hanya menyasar pada masyarakat kecil, Kamis (5/3).

Dimoderatori oleh Kabag Ekosob Noval, dua pembicara yaitu Direktur LBH Pekanbaru Andi Wijaya dan Pakar Lingkungan Riau Dr Elviriadi. Selaku pengacara Kakek Syafrudin, Andi Wijaya mengatakan, pada pekan lalu mendapat memori kasasi dari jaksa. Beberapa dalil yang dikatakannya yaitu harusnya Syafrudin dikenai pidana.

"JPU mencantumkan Penerapan Permen LH 10 tahun 2010 secara khusus mengatur mengenal masyarakat adat bukan mengatur mengenal kearifan lokal. Penerapan kearifan lokal dan masyarakat adat telah diatur secara tegas dalam UU PPLH pasal 1 menjelaskan kearifan lokal adalah nilai nilai luhur yang berlaku dalam tata kehidupan masyarakat untuk antara lain melindungi dan mengelola lingkungan hidup secara lestari," jelasnya.

Penerapan hukum pada Syafrudin harusnya masyarakat tempatan bukan masyarakat adat. Kemudian bicara ahli di dalam memori kasasi jaksa tindak pidana khusus, namun tidak memakai SKMA."Harusnya jaksa mengiyakan hakim, namun di sini tidak," tuturnya.

Sementara itu Pakar Lingkungan Riau Dr Elviriadi mengatakan, membicarakan tentang konteks hukum karhutla dan akar masalah timbulnya karhutla. Jadi, karhutla itu domainnya hukum lingkungan bukan hukum positif tentang UU Nomor 8 tentang KUHP.

"Hukum Lingkungan baik itu nomor 32 Tahun 2009 maupun turunannya tentang UU Perkebunan, Pertanian, Pertambangan, itu akarnya adalah Hukum Lingkungan. Saya sampaikan ke hakim, hukum lingkungan muncul karena empat hal. Yaitu pemborosan lingkungan, kerusakan lingkungan, pencemaran lingkungan dan degradasi lingkungan," tuturnya.

Hukum bekerja apabila ada etika yang menimbulkan keresahan atau gangguan mencolok. "Jika keempat itu tidak ada yang masuk maka batallah hukum lingkungannya. Sehingga tidak ada pidananya, yang terjadi saat ini pemerkosaan hukum lingkungan. Seenaknya saja. Artinya tidak ada aturan berapa meter kah luas lahan, motif kerugian materil dan lainnya," tegasnya.(wir/s)









Tuliskan Komentar anda dari account Facebook