Selain akting pemain, pergantian antaradegan sangat asyik ditonton. Perpindahan setting (misalnya, dari kantor Profesor McGonagall ke kamar Harry) ditandai dengan kehadiran para penari latar berkostum penyihir. Mereka mengibaskan jubah menutupi properti di panggung dan dengan cepat mendorongnya ke luar. Dalam satu kibasan jubah lagi, properti baru bermunculan.
Panggung Palace Theatre yang mungil itu juga menyimpan begitu banyak rahasia. Bagian belakang dan bawahnya menjadi bagian dari setting. Ada adegan Harry meluncur lewat terowongan dari belakang panggung. Juga, yang lebih keren, adegan ketika Albus Severus muncul dari kolam yang tiba-tiba membuka di tengah-tengah panggung!
Ending bagian kedua, yang action banget, dieksekusi dengan sangat indah. Mirip adegan film. Tapi, ini lebih gereget karena tanpa green screen, tanpa take berulang-ulang. Setelah drama selesai, saya tidak buru-buru meninggalkan Palace Theatre. Saya mencari stage door. Tradisinya, para aktor bakal keluar melalui pintu yang biasanya berada di sisi samping gedung teater tersebut. Ini berlaku buat semua teater di Inggris. Juga di Broadway, setahu saya. Tidak mengherankan kalau sesi stage door ini menjadi salah satu agenda yang ditunggu-tunggu fans.
Stage door Palace Theatre berada di sisi kanan gedung. Di sana sudah berbaris para fans yang siap meminta tanda tangan atau foto bareng. Salah satunya Tina, guru TK asal Spanyol, yang menyiapkan buku Cursed Child untuk ditandatangani.
Benar saja. Tak sampai 15 menit menunggu, para bintang tersebut keluar. Ada Idris-Roberts, Case, Ballard, dan Aldridge. Juga James Howard, pemeran Draco Malfoy. Mereka melayani permintaan fans dengan sangat ramah. Idris-Roberts, misalnya, mengajak saya berfoto dengan latar poster Cursed Child. ’’Yah, sorry. Backlight, ya? Cari latar lain deh,’’ ajaknya santai. So, kini siapa pun yang bilang Cursed Child jelek harus berhadapan dengan saya.***