Sendang Biru, dalam bahasa lokal Jawa yang berarti mata air berwarna biru, memang menggambarkan kondisi pantai yang sebenarnya yang ada di Pantai Pondok Dadap. Air laut yang berwarna biru cerah terlihat sepanjang mata memandang di pantai yang ada di Dusun Sendang Biru di Desa Tambak Rejo, Kecamatan Sumber Manjing Wetan, di Kabupaten Malang, Jawa Timur.
Laporan: M Erizal, Malang
DAERAH yang berada di selatan Kota Malang ini, awalnya bukanlah pelabuhan dan permukiman nelayan yang telah lama berdiri. Bahkan sebelum tahun 90-an, tak ada akses dan warga yang bermukim di daerah ini. Saat itu, masyarakat yang ada di Kecamatan Sumber Manjing Wetan, adalah masyarakat agraris, dan tak ada yang berprofesi sebagai nelayan dengan mencari ikan di laut.
Baru setalah tahun 1990-an, warga yang berasal dari Banyuwangi dan warga sekitar yang ada di desa terakhir di Kecamatan Sumber Manjing Wetan, yakni Desa Siti Harjo, mulai membuka dan bermukim di daerah yang kini bernama Dusun Sendang Biru, Desa Tambak Rejo. Masyarakat yang awalnya menggantungkan hidupnya dengan bertani pada sektor agraris, sejak menetap di pinggir laut beralih menjadi nelayan pencari ikan di laut.
Seiring waktu, permukiman baru di Dusun Sendang Biru pun terus berkembang meski berjalan lambat. Kehidupan sebagai nelayan juga terus dijalani, hingga pada tahun 2000-an, sejumlah nelayan asal Sinjai, Sulawesi Selatan, juga mulai mencari ikan di laut yang ada di daerah tersebut.
Kehadiran nelayan asal Sinjai ini, menurut tokoh masyarakat Bugis, H Muhhamad Yusuf yang kini menetap di Dusun Sendang Biru di Desa Tambak Rejo, adalah hal yang biasa.
“Sejak lama kami dari Bugis, khususnya dari Sinjai hidup dengan mencari ikan di laut. Bahkan sebelum sampai di Sendang Biru ini, kami telah mencari ikan di perairan Lombok. Saat kami dengar di laut Jawa banyak ikannya, mulailah sejumlah nelayan asal Sinjai mencoba mencari ikan di laut yang ada di sini,” ucap HM Yusuf di Sedang Biru, Selasa (22/11/2022).
Menurut Yusuf, nalayan Sinjai yang pertama kali datang ke Dusun Sendang Biru, Desa Tambak Rejo, adalah Tolo, yang merupakan nelayan yang biasa mencari ikan tuna dan tongkol.
“Orang Sulawesi datang pada tahun 1995, pada dahulunya Sendang Biru didiami orang yang berasal dari sekitar Banyuwangi dengan menjaring ikan. Warga tidak tahu cara membuat rumpon atau lokasi tempat ikan berkumpul dan mencari makan,” ucapnya.
Dirinya yang juga berasal dari Sinjai, mengaku bisa datang ke Pantai Pondok Dadap dan kini menetap di sana, juga berkat orangtuanya yang terlebih dahulu telah sampai mencari ikan di daerah tersebut.
Seorang nelayan memperbaiki jaring yang rusak usai digunakan untuk menangkap ikan.
Kecemburuan Berujung Konflik
Nelayan asal Sinjai yang pada dasarnya jauh lebih berpenglaman dan menguasai berbagai teknik menangkap ikan, menghasilkan hasil tangkapan yang jauh lebih banyak dari yang berhasil diperoleh nelayan lokal asal Jawa yang juga sama-sama mencari ikan di laut.
Kondisi ini secara perlahan juga menimbulkan kecemburuan di kalangan nelayan lokal Pantai Dadap. Bahkan ada yang menduga jika nelayan asal Sinjai menggunakan pancing ilegal hingga bom ikan dalam menjalankan kegiatan mencari ikan.
“Nelayan asal Sulawesi dalam dua hari bisa dapat dua hingga tiga ton ikan, baik ikan tuna, tongkol atau cakalang. Sementara nelayan warga tempatan sini yang mencari ikan memakai jaring, dalam lima hari melaut hanya dapat satu hingga dua ton. Kondisi ini jelas menimbulkan banyak kecurigaan pada nelayan tempatan,” ucap Budi Ismiyanto, masyarakat tempatan yang juga Sekretaris KUD Mina Jaya, Desa Tambak Rejo.
Perlahan, kecurigaan dan kecemburuan nelayan tempatan dari Jawa terhadap nelayan asal Sinjai yang selalu mendapatkan hasil tangkapan ikan yang lebih banyak, mulai mengusik kerukunan antara sesama nelayan. Keributan dan konflik pun akhirnya pecah antara nelayan asal Sinjai dan nelayan setempat.
Tahun 2000, menjadi tahun kelam yang akan selalu diingat oleh nelayan setempat. Pada tahun itu, akhirnya konflik antara nelayan yang berasal dari Jawa Timur dan nelayan asal Sinjai dari Sulawesi Selatan pun akhirnya pecah.
Berbagai upaya telah coba dilakukan oleh berbagai pihak, baik dari tokoh masyarakat, pemerintah maupun aparat penegak hukum untuk kembali mendamaikan dan menghilangkan ketegangan yang ada antarkedua kubu nelayan, namun tak kunjung membuahkan hasil.
Hingga akhirnya pada tahun 2005, atau lima tahun sejak terjadi konflik, kedamaian dan kerukunan antar kedua kubu nelayan dapat dihilangkan dan kerukunan kembali dapat dipulihkan.
“KUD memediasi pertemuan antara nelayan Sinjai dan warga setempat. Dari pertemuan yang dilakukan akhirnya kedua belah pihak menyadari kesalahan masing-masing. Dugaan dan pemikiran buruk sangka dari nelayan asal Jawa Timur ternyata tak benar. Ternyata saudara kita asal Sinjai memang mahir menangkap ikan dengan berbagai teknik yang mereka kuasai. Akhirnya disepakati nelayan asal Sinjai untuk dapat mengajarkan cara menagkap ikan yang mereka kuasai pada nelayan di sini, dan warga mulai belajar cara menangkap ikan di laut dengan menggunakan jaring atau pancing. Bahkan warga juga diajarkan bagaimana cara membuat rumpon tempat berkumpulnya ikan untuk memudahkan mencari ikan dalam jumlah besar,” ucap Budi Ismiyanto.
Usai terciptanya kedamaian, nelayan asal Sinjai selanjutnya mengajarkan cara penangkap ikan yang mereka kuasai dari pengalaman cara memancing di Sulawesi. Memancing ikan tuna dilakukan dengan diulur jauh ke bawah laut, atau dengan cara menggunakan layangan.
“Kalau dari ilmu perikanan tidak ada trik ini yang menggunakan layangan untuk menangkap ikan. Sepanjang benang layangan diberi kail lengkap dengan umpannya. Umpan ikan yang ada di benang layangan tadi, akan terus bergerak seiring dengan gerakan layangan yang tertiup angin dan akan memancing ikan tuna untuk menyambar umpan yang bergerak tadi,” ujar Yusuf.
Sebagai perantau, Yusuf mengaku sangat tidak menyukai dan menghindari adanya konflik dengan pihak lain. Dan kini konflik nelayan asal Sinjai dan nelayan Jawa Timur telah berlalu. Kehidupan warga di Desa Tambak Rejo, Kecamatan Sumber Manjing Wetan, telah harmonis. Bahkan kini banyak warga asal Sinjai yang menetap dan membina keluarga dengan warga Jawa Timur, dan terjadi akulturasi antara warga asal Sinjai dan warga Jawa Timur.
Dusun Sendang Biru di Desa Tambak Rejo, Kecamatan Sumber Manjing Wetan, kini dihuni sekitar 200 kepala keluarga dengan 4.800 jiwa, di mana sekitar 90 persen dari jumlah penduduknya adalah nelayan. Bahkan pada musim tangkap ikan, persentase nelayan asal Sulawesi bisa mencapai 80 persen dari total jumlah warga yang ada.
Ikan Sumber Penghidupan
Sumber ikan yang berlimpah di perairan Jawa, khususnya di Kecamatan Sumber Manjing Wetan di Kabupaten Malang, kini telah menjadikan daerah tersebut sebagai sentra penghasil ikan terbesar di Jawa Timur.
Berbagai ikan hasil tangkapan nelayan, tuna, tongkol dan ikan cakalang di jual ke luar yakni ke Bali, Surabaya dan Jakarta. Bahkan ikan tuna asal Sumber Manjing Wetan, telah menjadi komoditi ekspor bernilai ekonomis tinggi yang banyak di diekspor ke Uni Eropa.
“Pada musim tangkap ikan yang biasanya terjadi pada bulan Maret hingga Agustus, produksi ikan Sendang Biru bisa mencapai ratusan juta kilogram,” ucap Mufid Supriyanto, Kepala Unit Pelaksana Teknis (UPT) Pelabuhan Perikanan Pantai Pondok Dadap, Malang.
Di Pelabuhan Perikanan Pantai Pondok Dadap, bahkan menjadi satu-satunya tempat pelelangan ikan yang ada di Jawa Timur dan telah dilengkapi cold storage untuk penyimpanan ikan sementara sebelum dibawa ke berbagai daerah.
Menurutnya, jumlah kapal nelayan yang ada Pantai Pondok Dadap mencapai 649 unit. Bahkan dikala musim tertentu khususnya pada saat musim ikan, ada kapal andon dari Sinjai yang menurut data ada sekitar 159 unit kapal.
“Produksi ikan yang dicapai hingga November 2022 mencapai 10.599.772 Kg dengan nilai produksi mencapai Rp226,8 miliar. Pada tahun 2021 produksi ikan 11.251.430 Kg, dengan nilai produksi Rp180,9 miliar. Meski tonase tangkapan pada tahun ini menurun, namun nilai produksi yang didapat pada tahun 2022 justru lebih tinggi. Ini menunjukkan kini penangkapan nelayan dilakukan secara terukur, dan sumber daya alam perikanan tidak dikuras secara besar-besaran, jadi tidak dieksploitasi secara masif,” ucapnya.***