Pengiriman tenaga kerja Indonesia (TKI) ke luar negeri secara ilegal, terus berlangsung. Tidak hanya melalui pelabuhan tikus, tapi kini melewati pintu resmi di pelabuhan umum. Ada upeti masuk ke kantong oknum sejumlah instansi. Batam Pos bekerja sama dengan sejumlah media menelusuri jalur ilegal TKI ke Malaysia.
Laporan: FISKA JUANDA, Batam
SELASA, 6 Desember 2022, MV Allya Express 3 yang berkelir merah putih, membawa sebanyak 168 penumpang dari Pelabuhan Internasional Batam Center menuju ke Tanjung Pengelih, Malaysia.
Kapal ini terdiri tiga tingkat. Tingkatan paling bawah diisi penumpang hampir semuanya laki-laki. Tingkatan tengah diisi oleh penumpang yang hampir semuanya berjenis kelamin perempuan. Sedangkan di tingkat atas bercampur laki-laki dan perempuan.
Begitu kapal bertolak dari Pelabuhan Batam Center, pukul 10.30, ada beberapa orang yang tidak duduk yang di kursi penumpang. Mereka mondar-mandir di tingkatan bawah dan tengah.
Orang yang mondar-mandir di tingkat bawah dan tengah kapal itu mengecek satu per satu paspor milik penumpang. Lalu, mereka mengambil sebuah buku dan seolah-olah mencocokkan nama di paspor dan buku tersebut.
“Kamu agen siapa,” kata orang berbaju putih itu ke penumpang.
Setelah penumpang itu menjawab, orang tersebut mencocokkan namanya dengan data yang dimilikinya. Setelah usai dari satu penumpang, ia beralih ke penumpang lainnya. Begitulah kerjanya selama kapal itu melaju ke Malaysia.
Ketua Komisi Keadilan Perdamaian Pastoral Migran dan Perantau (KKPPMP) Kepulauan Riau (Kepri), Romo Chrisanctus Paschalis, ikut dalam kapal tersebut. Ia berada di tingkat atas. Di sana tidak ada orang yang berdiri atau mengawasi pergerakan penumpang.
“Saya menduga bahwa di atas untuk orang yang benar-benar bepergian ke Malaysia tujuan jalan-jalan atau ada kepentingan,” ungkapnya.
Sedangkan di tingkatan bawah dan tengah, adalah calon-calon pekerja migran Indonesia (PMI) atau biasa dikenal tenaga kerja Indonesia (TKI) ilegal yang akan bekerja di Malaysia.
“Saya menempatkan orang di tingkat bawah itu, sehingga bisa memantau gerak gerik mereka,” ucap Romo Pascal.
Kecurigaan Romo Pascal bertambah setelah sampai di Tanjung Pengelih, Malaysia. Saat penumpang di tingkat atas turun, penumpang di tingkat bawah dan tengah tidak turun.
Dari penuturan orang yang ditempatkan oleh Romo Pascal di tingkat bawah, para penumpang diminta untuk duduk dan diam. Bagi yang turun duluan, tidak akan diurus oleh orang-orang yang menyuruh mereka diam.
Para penumpang ini manut. Mereka tidak bergerak dan berdiam di kapal. Saat rombongan tingkat atas sudah melewati pemeriksaan imigrasi, barulah rombongan ini keluar.
“Jaraknya ada sekitar setengah jam,” ungkap Romo Pascal.
Saat turun dari kapal, seluruh penumpang ini diatur untuk berbaris. Pemeriksaan di imigrasi Malaysia tidak berlangsung lama. Usai dari pemeriksaan imigrasi, sudah ada orang-orang yang mengatur mereka untuk menuju ke arah mana.
Ada tiga bus sudah menunggu seratusan lebih WNI yang diduga sebagai PMI ilegal ini di Pelabuhan Tanjung Pengelih. Begitu pendataan selesai, semuanya masuk ke dalam bus dan menuju ke Kuala Lumpur. Dari Kuala Lumpur, seratusan lebih PMI ilegal ini baru dipecah menuju ke lokasi tempat kerjanya masing-masing.
“Sangat kuat dugaan saya, mereka PMI ilegal. Dugaan saya ini diperkuat saat bincang-bincang dengan salah seorang dari rombongan itu,” ucap Romo Pascal.
Dari perbincangan itu terungkap bahwa para PMI ilegal ini kebanyakan berasal dari Medan, Jawa, dan Madura. Pemberangkatan ke luar negeri ini, bukannya murah.
Sekali berangkat, mereka harus mengeluarkan uang sekitar Rp15 juta hingga Rp20 juta.
“Uang itu pemberangkatan dari kampung halamannya, lalu di Batam, biaya selama penampungan dan pemberangkatan ke luar negeri,” ungkap Romo Pascal.
Tanjung Pengelih merupakan rute yang terdengar asing, bagi orang Batam untuk menuju ke Malaysia. Biasanya, rute tujuannya adalah Stulang Laut atau Putri Harbour. Alasan dua rute ini favorit, adalah dekat dengan keramaian.
Sedangkan Tanjung Pengelih cukup jauh dari keramaian. Butuh beberapa jam untuk mencapai ke beberapa daerah tujuan wisata. Tentunya, hal ini menjadi tanya besar. “Saya menduga rute ini sudah lama digunakan untuk membawa PMI ilegal,” ungkapnya.
Selain itu, ada sindikat besar yang bermain dalam pengiriman PMI ilegal ini. Romo Pascal melihat dari terstrukturnya para PMI ilegal ini saat berangkat hingga sampai di Tanjung Pengelih.
“Rapi semua kerja mereka,” ucap Romo Pascal.
Demi membuktikan ucapan Romo Pascal, salah seorang anggota Tim Kolaborasi Jurnalis berangkat ke Tanjung Pengelih, 11 Desember 2022.
Saat itu, kapal hanya mengangkut tujuh penumpang saja ke Tanjung Pengelih, Malaysia. Namun, keberangkatan anggota tim liputan ke Tanjung Pengelih menimbulkan tanda tanya beberapa orang. Beberapa orang yang ditemuinya, bertanya kenapa memilih ke Malaysia melalui Tanjung Pengelih.
Bahkan, saat pemeriksaan paspor di Pelabuhan Internasional Batam Center, petugas imigrasi melihat dengan penuh kecurigaan. Paspor milik anggota tim Kolaborasi Jurnalis dibawa ke sebuah ruangan. Sedangkan, ia harus menunggu di depan konter pemeriksaan.
Ada sekitar 15 menit pemeriksaan itu, lalu barulah dipersilakan menuju ke kapal. Sesampai di kapal, beberapa penumpang kaget dan bertanya kenapa memilih rute Batam ke Tanjung Pengelih.
“Biasanya ramai, bulan lalu saya berangkat mau lihat suami, kapal ini full semua,” kata Sy, salah seorang penumpang.
Perempuan asal Tanjungpinang bersuamikan orang Malaysia itu mengaku cukup heran juga, kondisi saat itu (keberangkatan dari Batam ke Tanjung Pengelih, 11 Desember) sepi.
“Saya sering lewat jalur ini, selalu penuh. Bahkan tak bisa duduk,” ucap Sy.
Ia mengaku menggunakan rute Batam ke Tanjung Pengelih, karena dekat dengan tempat kerja suaminya.
Sesampai di Tanjung Pengelih, WNI asal Palembang, Ep, menanyakan kenapa memilih rute ini.
“Kenapa lewat sini (ke Malaysia). Di sini kampung, jauh dari mana-mana,” kata Ep.
Ia mengatakan, rute ini biasanya digunakan orang-orang yang akan bekerja di Malaysia. Sedangkan, untuk pelancong selalu menggunakan rute Stulang Laut atau Pasir Gudang.
“Lebih dekat dengan keramaian. Di sini apa yang mau dilihat, tidak ada. Sini untuk kerja, dan biasanya cukup bawa paspor saja (untuk bekerja),” ungkapnya.
Rute Batam ke Tanjung Pengelih ini menjadi salah satu pintu masuknya PMI secara nonprosedural ke Malaysia, dibenarkan oleh salah seorang PMI ilegal.
“(Tanjung) Pengelih itu, pernah jalan dua bulan. Stop empat bulan, belum sebulan setop lagi. Begitulah kondisi rute itu,” kata Pemain PMI ilegal, I, saat ditemui Tim Kolaborasi Jurnalis, 14 Desember lalu.
Buka atau tutupnya rute Tanjung Pengelih, disebabkan berbagai faktor. Salah satunya koordinasi yang buruk antar-instansi yang melanggengkan pengiriman PMI nonprosedural ke Malaysia.
“Biasanya mereka (oknum instansi) kalau ada masalah saling lempar,” ucap I.
Ia mengatakan, Tanjung Pengalih sudah tutup beberapa hari ini untuk pengiriman PMI nonprosedural. Begitu juga untuk jalur lainnya.
“Kapal tujuan Pengelih tetap harus bergerak. Walaupun penumpang kosong. Kalau tidak berangkat dua kali bisa jadi syahbandar cabut izin,” tuturnya.
Namun, untuk pengiriman PMI nonprosedural, tidak berjalan dalam beberapa hari ini. Ia mengaku cukup kaget juga dengan penutupan pengiriman PMI non prosedural ini.
“Calon PMI sudah standby mau berangkat tetapi tiba-tiba close saja. 130 orang sudah berangkat. Pas trip saya tiba-tiba close. Nggak jadilah,” tuturnya.
I mengaku cukup menyesalkan penutupan ini, sebab sudah membeli tiket kapal. Meskipun, uang pembelian tiket dikembalikan lagi ke dirinya.
Namun, I mengaku cukup berat karena harus memberi makan para calon PMI nonprosedural itu. Semakin lama tertahan, semakin besar juga biaya makan yang harus dikeluarkannya.
“Sudah lima hari kami kasih makan. Lagian juga untuk dipulangkan, harga tiket ke Surabaya juga tinggi,” ungkapnya.
Ia mengatakan, tugasnya meliputi penjemputan kedatangan calon PMI ilegal di Bandara Hang Nadim. Lalu, I juga bertugas memberi makan selama di Batam. “Lalu mengantarkan hingga ke Malaysia. Sesampai di Malaysia tidak kami lepas, kami antar alamat. Sebab calon PMI orang yang tidak mengerti semua,” ujarnya.
Setiap satu orang PMI nonprosedural, I mengaku hanya menerima keuntungan sebesar Rp250 ribu saja. Selebihnya untuk biaya akomodasi selama di Batam dan pemberangkatan ke Malaysia.
“Rata-rata yang saya bawa dari Surabaya,” tuturnya.
I mengaku hanya mengelola pengiriman PMI nonprosedural melalui jalur depan saja atau melalui pelabuhan resmi. Ia mengaku tidak mau ambil risiko melalui jalur belakang.
Selain itu, biaya yang dikeluarkan melalui jalur belakang juga lebih mahal. “Jalur belakang itu khusus orang yang blacklist atau RAI (bekas ditangkap di Malaysia),” ujarnya.
Jalur belakang, kata I, biasanya digunakan PMI nonprosedural dari NTB. Ia mengatakan, tipikal orang dari NTB tidak mau ribet. “Apalagi menghadapi pertanyaan dari imigrasi (mereka tidak mau),” ungkap I.
Selain Tanjung Pengelih, I mengaku pemberangkatan juga bisa melalui Stulang Laut dan Pasir Gudang.
Saat ditanya mengenai setoran atau upeti? Ia mengakui hal itu ada. Sebab, setoran inilah yang melancarkan pemberangkatan PMI nonprosedural tersebut.
“Saya setor pengutip. (Namun), sejak tiga minggu ini tidak ada yang ngutip. Lost,” ujar I.
Tim Kolaborasi mencoba mengonfirmasi mengenai rute Batam ke Tanjung Pengelih (Malaysia) ini ke Badan Pelayanan Perlindungan Pekerja Migran Indonesia (BP3MI) Kepulauan Riau.
Jawaban dari Kepala Badan Pelayanan Perlindungan Pekerja Migran Indonesia (BP3MI) Kepulauan Riau, Amingga M. Primastito sangat mengejutkan. Ia mengatakan, cukup mempercayai jalur itu khusus dilewati oleh PMI nonprosedural.
“Saya pernah ingin datang ke (Tanjung) Pengelih. Namun, banyak yang membicarakan agar tidak ke sana. Kenapa saya ingin ke sana, katanya, disana tidak begitu ketat, dibandingkan pelabuhan lainnya. Di sana lebih leluasa kabarnya,” kata Amingga, Kamis (15/12)
Amingga mengatakan, dugaannya itu bukan tanpa alasan. Ia mengatakan, Pelabuhan Tanjung Pengelih ini jauh dari keramaian. Bahkan untuk ke Johor memakan waktu kurang lebih 2 jam. Apalagi ke Kuala Lumpur, membutuhkan waktu yang cukup lama.
“Kalau memang mau wisata, berobat, pasti tujuannya Putri Harbour atau Stulang laut. Pengelih itu kawasan industri berat,” ucapnya,
Ia mengatakan, BP3MI spesifik belum membuat laporan detail mengenai Tanjung Pengelih. Namun, Amingga mengaku secara lisan sudah pernah menyampaikan ke stakeholder terkait, mengenai rute Batam ke Tanjung Pengelih ini.
Amingga mengaku baru menjabat sebagai Kepala BP3MI Kepri sejak Agustus lalu. Namun, ia sudah mendengar soal rute tersebut. “Informan saya menyebutkan, bahwa kapal (rute Batam ke Tanjung Pengelih) itu fullnya sekitar 160-an orang. Namun, sekitar 100 orangnya biasanya diisi oleh PMI nonprosedural,” ucapnya.
Kenapa tidak ada tindakan? Amingga mengaku BP3MI tidak memiliki fungsi pengusutan kasus. Namun, untuk menyelidiki dan menyampaikan informasi bisa. Soal penyelundupan ini, Amingga mengaku sudah menyampaikan. Namun, sampai saat ini belum ada tindakan tegas, untuk mengusut informasi tersebut.
Amingga mengatakan, para PMI nonprosedural sudah didoktrin sebelum berangkat. Mereka diminta menjawab agar kepergiannya ke Malaysia untuk berwisata. Namun, ia mengatakan, dari gerak gerik, sudah dapat menilai.
“Kami tak mau diskreditkan. Tapi bisa dilihat sebenarnya dari gayanya mereka,” ungkap Amingga.
Terkait pencegahan, BP3MI, kata Amingga, tidak dapat berbuat banyak. Ia mengatakan, sosialisasi sudah dilakukan, namun tetap saja masih banyak yang memilih bekerja ke luar negeri secara ilegal. Selain itu, pencegahan keberangkatan PMI nonprosedural ini tidak dapat dikerjakan satu instansi saja.
“Perlu melibatkan banyak pihak, stakeholder terkait. Beberapa stakeholder ini paham kondisi di pelabuhan, sehingga mereka dapat melakukan pencegahan juga. Sedangkan kami (BP3MI) memiliki kewenangan terbatas, tidak seluas stakeholder lainnya,” ucap Amingga.
BP3MI juga memiliki stan di beberapa pelabuhan. Namun, keberadaan BP3MI di beberapa pelabuhan itu hanya sebagai bagian dari “help desk”. Fungsi kami membantu teman-teman PMI yang pulang dari luar negeri.
“Biasanya mereka pulang cuti dan lapor ke kami. Nanti, saat proses keberangkatan kembali kami bantu secara resmi. Meskipun sampai saat ini minim yang lapor, padahal sudah kami sampaikan PMI balik dan pergi itu wajib lapor,” ungkapnya.
Saat ditanya mengenai ada dugaan setoran-setoran? Amingga tidak menutup telinga soal itu. Ia mendengarnya, namun tidak bisa mengonfirmasi apakah benar aliran-aliran uang pengelola PMI ilegal tersebut.
“Alhamdulillah, untuk BP3MI tidak ada. Saya sudah cek itu semua,” ucapnya.
Terkait rute Batam ke Tanjung Pengelih (Malaysia), Manajer Operasional Pelabuhan Feri Internasional Batam Center, Nika Astaga, menyebut bahwa rute itu sudah cukup lama.
“Lebih dari 5 tahun rasanya,” kata Nika saat ditemui di kantornya, Selasa (13/12) lalu.
Rute Batam ke Tanjung Pengelih tidak padat. Ramainya rute itu sewaktu-waktu saja. Berbeda dengan rute Batam ke Stulang Laut atau Pasir Gudang.
“Paling ramai memang Stulang Laut, karena lebih dekat kan,” ucapnya.
Saat ditanya mengenai lalu lintas PMI ilegal melalui Pelabuhan Internasional Batam Center. Nika mengaku tidak mengetahuinya. Sebab, tugasnya hanya sebagai penyedia sarana dan prasarana operasional pelabuhan.
Pengawasan tersebut merupakan tugas dan wewenang dari CIQ (Custom, Immigration, Quarantine/Bea Cukai, Imigrasi, Karantina). “BP2MI mengawasi PMI. Saya tidak memiliki kewenangan apapun,” ujarnya.
Ia mengatakan, rute Batam ke Tanjung Pengelih dilayani Kapal Alyya, ke Pasir Gudang oleh GDS dan ke Stulang Laut oleh Lintas Samudera.
Sementara itu, Kapolsek Kawasan Pelabuhan Batam, AKP Awal Sya’ban Harahap, mengaku sudah melakukan pengawasan optimal di beberapa pelabuhan. Ia mengaku sejak September sampai saat ini, sudah menangani enam kasus perdagangan orang dan perlindungan PMI.
“Total ada 20-an tersangka, dan kami menyelamatkan sekitar 70-an calon PMI ilegal,” ujar Awal saat ditemui, Rabu (14/12).
Dari beberapa kasus yang ditanganinya, penyelundupan PMI melalui jalur depan lebih mahal. Sebab, ada beberapa administrasi yang harus dilengkapi calon PMI nonprosedural.
“Ada paspor dan dokumen lainnya (tanpa visa kerja),” ujarnya.
Ia mengatakan, sejauh ini pengawasan terhadap alur keluar masuk orang di pelabuhan di Batam diperketat. Khusus pos Pelabuhan Batam Center, ada empat orang yang mengawasi lalu lintas orang.
Tim Kolaborasi menanyakan rute Batam ke Tanjung Pengelih. Namun, Imigrasi Batam melalui Kabid Teknologi Informasi dan Komunikasi Informasi Imigrasi Batam, Tessa Harumdila, mengaku tidak mengetahui ada rute tersebut.
“Pengelih, saya aja gak tau. Masa ada capnya, ada petugasnya,” kata Tessa dengan ekpresi bingung, Kamis (15/12) di Kantor Imigrasi Batam.
Keheranan dan kebingungan Tessa juga ditunjukkan dari beberapa pertanyaan ke Tim Kolaborasi. Ia menanyakan apakah ada petugas yang memeriksa rute itu. “Apa petugasnya pakai baju putih, cap paspornya ada, emang ada ya?. Harus cek lagi kalau itu? Nanti sama orang TPI, saya baru dapat informasi,” kata Tessa.
Tak puas soal rute ini, ia memastikan Tanjung Pengelih itu ke negara mana. Saat disebutkan Tanjung Pengelih itu Malaysia, Tessa lalu menanyakan soal waktu keberangkatan kapal.
Tessa mengaku tidak mengetahui soal rute Batam ke Tanjung Pengelih, Malaysia. “Taunya Pasir Gudang dan Stulang Laut. Pengelih ini kurang paham,” ungkapnya.
Saat ditanya pengawasan terhadap PMI nonprosedural, Tessa mengatakan, Imigrasi Batam sangat berhati-hati dalam menindak. Ia beralasan karena susah membedakan mana WNI yang ingin melancong atau bekerja di luar negeri secara ilegal.
Tessa mengatakan, kehati-hatian ini agar tidak menimbulkan protes jika dicegah berangkat ke luar negeri. Pencegahan dilakukan dengan cara mengecek dengan menggunakan komputer.
“Jika hasil scan masih daftar cekal, blacklist, berbuat pidana, pastinya akan kami cekal. Petugas konter juga akan melakukan wawancara singkat, demi memastikan berangkat melancong atau bekerja ke luar negeri,” tuturnya.
Namun, apabila memiliki dokumen lengkap, Imigrasi Batam tidak akan menghalangi WNI yang bekerja di luar negeri. “Ada surat dan dokumen lengkap, lalu dari BP2MI memastikan bisa berangkat. Ya, kami berangkatkan,” ujarnya.
Wawancara singkat terhadap WNI yang berangkat berkaitan dengan tujuan WNI ke luar negeri. Tessa mengatakan, selama memberikan keterangan yang benar, petugas imigrasi pastinya akan memberikan akses untuk berangkat.
Tessa mengatakan, sepanjang 2022, Imigrasi Batam menunda keberangkatan 2.278 orang diduga PMI ilegal di Pelabuhan Batam Center. Lalu, sebanyak 502 orang diduga PMI ilegal di Pelabuhan Citra Tritunas.
“Selain menunda PMI, kami juga menolak sebanyak 56 orang WNA dari September hingga November ini,” ucap Tessa.
Saat ditanya mengenai adanya upeti ke petugas. Tessa mengaku sejauh ini tidak ada temuan. Namun, ia berjanji akan memeriksa informasi tersebut.
“Benar ini ada, nanti kami cek dulu,” tuturnya.
Sumber: Batampos.co.id
Editor: E Sulaiman