"Laki-laki mencari ikan saja di laut, pakai jaring. Perempuan dilarang menangkap ikan pakai jaring. Jika di Hutan Perempuan hanya kaum pe rempuanlah yang boleh mencari udang, kerang (bia) dan kepiting. Jadi kalau sudah ada ibu-ibu di sana, laki-laki tidak bisa masuk. Kalau tetap ada laki-laki yang masuk akan dikenakan denda adat," terangnya.
Besaran denda ini pun tergantung pada siapa yang sedang berada di dalam hutan. Jika orang biasa, denda yang dikenakan berkisar Rp1 juta ditambah manik-manik (semacam perhiasaan atau harta berharga). Namun, jika kebetulan yang sedang berada di dalam adalah orang terpandang, nominal denda yang harus dibayarkan dapat melesat hingga Rp50 juta beserta manik-manik.
Denda adat yang diberikan bermacam-macam tergantung siapa perempuan yang berada di dalam hutan itu. Semakin tinggi jabatan/golongan (adat) maka semakin besarlah denda yang diberikan.Denda bisa berupa uang tunai maupun manik-manik berharga (biasa dipakai sebagai mahar untuk penikahan).
Manik-manik berwarna biru yang menjadi denda bagi pria yang melanggar hukum adat di Hutan Perempuan memiliki nilai paling tinggi. Setara Rp1 juta. Sedangkan manik-manik berwarna hijau, memiliki nilai setara Rp500 ribu dan manik berwarna putih bernilai Rp300 ribu.
"Biasanya perempuan di hutan akan bercerita dan tertawa dengan suara keras. Ini sebagai pertanda ada perempuan di sana. Kalau sudah demikian tidak ada laki-laki yang mau datang, jika nekat maka akan diberikan denda adat," terangnya.
Tidak hanya di Hutan Perempuan sanksi adat diberlakukan. Di kehidupan perkampungan juga diberlakukan. Dimana perempuan diberi pembatasan dalam hukum adat, tidak boleh tertawa tinggi-tinggi, tidak boleh maki-maki.
Bila terjadi pertengkaran dalam rumah tangga, perempuan tidak boleh memaki atau berbicara kotor/kasar. Bila dilakukan ada tetangga laki-laki yang mendengarnya maka tetangga laki-laki ini akan membuka bajunya (tanpa memakai busana) dan duduk di bawah tangga rumah perempuan yang berbicara kotor sampai si perempuan membayar denda adat. Jika sudah dibayar, tetangga laki-laki akan menggenakan pakaiannya dan pulang.
"Uang denda ini diserahkan kepada ketua adat. Nantinya dana ini akan dipergunakan untuk kegiatan adat di Kampung Enggros. Karena itu masyarakat Enggros sangat menjaga adat dan tradisi leluhur," katanya.
Dorong Percepatan Pemetaan Wilayah Adat
Direktur Perkumpulan Terbatas untuk Pengkajian dan Pemberdayaan Masyarakat Adat (PT PPMA-Papua) Naomi Marasian mendorong pemerintah provinsi untuk memperkuat posisi masyarakat adat menjadi pengelola langsung sumber daya alam yang ada untuk meningkatkan ekonomi keluarga sekaligus memastikan kelestarian dan keberlanjutannya hutan yang ada di Bumi Cenderawasih. "Sebab Undang-Undang Nomor 21/2001 dibuat dalam semangat afirmasi. Tujuannya supaya ada keberpihakan, perlindungan dan pemberdayaan terhadap orang asli Papua. Penting mendorong percepatan pemetaan wilayah adat suku-suku di tanah Papua," ujar Naomi Marasian dalam webinar "Jaga Ekosistem, Jaga Iklim: Pengelolaan Sumber Daya Alam Papua oleh Masyarakat Adat" yang digelar Yayasan EcoNusa, Jumat (22/10) lalu.
Diakui Naomi, luasnya wilayah tanah Papua menyebabkan pemetaan wilayah adat setiap suku susah-susah gampang dilaksanakan. Karena berkaitan dengan kepemilikan hak komunal sehingga dalam proses kesepakatan saat pemetaan bisa cepat, juga mungkin akan rumit, karena menyangkut hak hidup orang atau kelompok."Tanah dan hutan adalah kekayaan alam masyarakat adat di Papua," ujarnya.
Sementara itu, Ketua Kelompok Khusus DPR Papua John NR Gobai mengatakan regulasi di Indonesia sama sekali tidak disebutkan pengelolaan sumber daya alam (SDA) wajib mendapatkan izin masyarakat adat sebagai syarat perizinan dari Pemerintah.
"Padahal masyarakat adat telah ada sebelum negara hadir. Selain itu, tidak adanya pemberian kewenangan pada seluruh bidang pemerintahan kepada Pemerintah Provinsi Papua," kata Gobai.
Pemulihan Kawasan Hutan
Balai Besar Konservasi Sumber Daya Papua Resort Youtefa bersama dengan masyarakat Kampung Enggros memelihara kelestarian lingkungan alam di kawasan Teluk Youtefa. Mereka melakukan pemulihan di kawasan hutan mangrove, juga transplantasi karang di kawasan Teluk Youtefa.
Pohon mangrove selain menjadi peredam arus gelombang tsunami dan penghasil oksigen, ia juga sebagai tempat bagi ikan-ikan untuk untuk bersarang." Bukan hanya kerang, udang dan ikan juga berlindung di bawah pohon-pohon mangrove," ucap ibu guru.
Hutan mangrove yang merupakan Hutan Adat Perempuan menjadi hal penting dalam kelangsungan hidup masyarakat Kampung Enggros. Tidak adanya Hutan Adat Perempuan, sama artinya dengan hilangnya ruang bagi perempuan Kampung Enggros.
Kepala Balai Besar KSDA Papua, Edward Sembiring mengajak seluruh lapisan masyarakat untuk lebih memperhatikan kelestarian hutan mangrove di Teluk Youtefa. Pelestarian keanekaragaman hayati harus dilakukan secara terpadu agar tidak ada satu pun atau lebih komponen ekosistem yang mengalami kerusakan atau kepunahan.
"Di Papua terdapat 35 suku, kearifan lokal masyarakat Papua lah yang menjadikan hutan di sini tertap terjaga. Pendekatan kemitraan konservasi yang kita lakukan, dimana prinsipnya masyarakat sebagai subjek dalam mengelola hutan," ujar Edward kepada Riau Pos, Kamis (11/11).
Dalam kemitraan konservasi, lanjut Edward, BBKSDA Papua melihat modal sosial mereka. Saat ini ada dua kelompok yang dibentuk di Hutan Adat Perempuan. Satu satu kelompok Tongrid Messi mendorong membuat keramba kepiting. "Edukasi yang kita berikan kepada masyarakat bukan secara konvensional, kita tawarkan paket-paket minat khusus. Kelompok ini kita dampingi untuk membuat paket wisata khusus dengan menggunakan perahu dayung melewati hutan mangrove, melihat burung Cendrawasih dan makan hasil keramba. Sewa kolekole Rp175 per orang dengan kapasitas maksimal 3 orang," jelas Edward.
Sementara kelompok kedua membuat kerajinan tangan dari daun-daun (ecoprint) dan membuat sirup dari buah mangrove. Prinsip kehati-hatian harus diutamakan, bagaimana mengelola Hutan Perempuan ini menjadi kawasan hutan wisata di Papua."Mereka sudah menjaganya. Saya sangat percaya kearifan lokal bisa menjaga kelestarian hutan. Sepanjang hegemoni internasional dijaga," katanya. Target Papua mempertahankan 90 persen tutupan hutan di wilayahnya (sejalan dengan visi Gubernur Papua pada tahun 2100) bukanlah isapan jempol semata. Dimana Papua menargetkan untuk mempertahankan 90 persen tutupan hutan di seluruh provinsi seiring dengan upaya untuk mencapai tujuan pembangunan rendah karbon.
Hal ini menjadi fundamental dalam menjaga ekosistem tanah Papua Barat. Provinsi Papua Barat dan Papua sebagai penyumbang 50 persen keanekaragaman hayati di Indonesia. Papua Barat saat ini menjadi satu-satunya provinsi berkelanjutan yang mengedepankan aspek konservasi dalam pembangunan.
"Kita bisa menjaga kearifan lokal ini. Kita sebut konservasi namun adat Papua sudah melakukan hal itu secara turun temurun," imbuhnya.
Hutan perempuan yang ada di Taman Wisata Alam Teluk Youtefa merupakan kearifan lokal masyarakat Papua yang sejalan dengan tiga pilar pembangunan konservasi yaitu perlindungan, pengawetan dan pemanfaatan secara lestari. Kearifan lokal ini harus dijaga dan dilestarikan."Kami berterima kasih kepada masyarakat adat Papua yang melalui kearifan lokalnya sudah melaksanakan prinsip-prinsip konservasi dalam mengelola sumber daya alamnya sehingga kawasan hutan khususnya hutan konservasi di Papua masih relatif utuh hingga saat ini," tutup Edward.***