Sebelumnya pria berdarah Jawa-Medan ini hanya mendanai adiknya yang pekerja ladang di sana. Dapat rezeki di Medan ia belikan tanah 4 ha. Kebun itu sementara waktu dikelola adiknya. Hingga akhirnya ia bersama keluarga memutuskan hijrah ke Rimbo Polon mengurus langsung kebun itu.
“Mengapa tertarik ke sini bukankah ini masih rimba belukar waktu itu?” ujar saya bertanya. “Abang saya yang jadi petani sawit KKPA lewat program transmigrasi juga di Riau berhasil pak. Jadi ini membuat saya ingin seperti dia makanya saya ke sini,” ujarnya. Di masa-masa awal hingga kebun berbuah pasir belum produksi keperluan hidup serang macet. “Syukurlah sering dibantu abang saya juga untuk beli beras,” kenangnya.
Di masa awal-awal itu mereka di Rimba Polon selalu berjalan kaki kemana-mana. “Dulu di masa awal itu kalau ada keperluan belanja kami harus berjalan kaki dari Rimbo Polon ke jalan aspal Desa Kuala Gasib dengan jarak tempuh hingga 15 Km,” kenangnya.
Mulai Berproduksi
Seiring dengan berjalannya waktu dan kerja keras mereka hari demi hari kebun pun mulai berproduksi. Perubahan ekonomi mulai terasa sedikit demi sedikit. “Alhamdulillah tak pernah kekurangan makan lagi lah,” kenang Sukamto. Ini semua menambah semangat mereka semua terus merawat dan menjaga kebun.
Mulai pada masa-masa awal produksi inilah mereka mulai bisa beli sepeda. Itu pun bekas. Dan tak jarang butut pula. “Tapi rasanya senang sekali,” ujar Dasrif yang mendampingi Sukamto. Kala itu, lanjut Sukamto, mereka hanya murni jadi petani sawit. Hasil produksi mereka dibeli oleh pedagang pengumpul (pengepul) untuk kemudian dijual lagi oleh pengepul ke Pabrik Kelapa Sawit (PKS). Namun karena hasil produksi terus meningkat Sukamto kemudian berfikir mengapa harus menjual kepada pedagang pengumpul. Para petani kemudian bermusyawarah. Hasilnya; cari cara agar bisa langsung jual ke PKS perusahaan terdekat yakni PT KTU.
“Saya memberanikan diri membawa aspirasi ini ke asisten kebun perusahaan,” ujarnya. Asisten kebun merespon dan meneruskan pada pimpinan perusahaan. Ternyata mendapat sambutan positif. Meski waktu itu belum terbentuk kelompok tani karena orangnya juga tidak seberapa. “Alhamdulillah pimpinan kebun merespon positif,” ujarnya.
Lalu angkutan sawit para petani swadaya itu dibantu oleh PT KTU ketika itu. Biayanya dipotong dari hasil penjualan sawit mereka. Pendapatan mereka semakin besar karena tidak lagi lewat pedagang pengumpul. Kerja sama itu semakin meningkat. Tahun 2006 berdirilah Kelompok Tani Tandan Bertuah yang dipimpin oleh Sukamto. Anggota ketika itu baru sekitar 50 KK.
Mereka mengajukan pinjaman dana ke PT KTU untuk keperluan pupuk. Perusahaan mengabulkan sebesar Rp70 juta pinjaman lunak tanpa bunga dengan angsuran delapan bulan. Petani semakin bersemangat. Hasil produksi pun semakin meningkat. Juga pendapatan. Bahkan dibawah kordinasi Sukamto kelompok tani mereka melunasi pinjaman sebelum tenggat waktu delapan bulan.