Dasrif (55 th) datang ke Dusun Rimba Polon (sekarang Dusun Sei Padang) Desa Pangkal Pisang Kecamatan Koto Gasib Kabupaten Siak hanya berbekal harapan. Bersama anak dan istrinya mereka hijrah dari Palembang ke Desa Rimba Polon. 53 km dari Pekanbaru ditambah 20 km ke dalam. Saking jauhnya dusun itu baru dapat aliran listrik PLN dua tahun lalu. Tepatnya 2018.
(RIAUPOS.CO) -- Sesekali tubuh ini terguncang saat ban mobil menerpa lubang di jalan tanah itu. Teriknya mentari menerbos kaca depan mobil yang kami tumpangi. Debu beterbangan setiap kendaraan berselisih jalan dengan kendaraan lain.
Memasuki jalan tanah ke Rimba Polon pemandangan kiri-kanan sepanjang jalan hanya pohon sawit. Kami harus berhenti di portal HGU PT Kimia Tirta Utama (KTU) anak perusahaan Astra Agro Lestari. Untuk mencapai Desa Rimba Polon kami harus melalui HGU perusahaan itu. Petugas security sejenak menanyakan apa keperluan kami dan hal-hal lainnya.
Setelah urusan itu selesai perjalanan pun dilanjutkan. Usai Zuhur kami sampai di Dusun Sei Padang. Di sana rumah penduduk kebanyakan sudah permanen. Dan ini yang menarik; sejumlah mobil bagus terparkir di halaman rumah dan di garasi. Dan kami berkesempatan bertemu dengan Ketua Kelompok Tani tani Tandan Bertuah, Sukamto. Di rumah Sukamto lah kami bertemu Dasrif.
“Ya pak saya sudah merantau dari Palembang ke sini sejak 1999,” ujar Dasrif memulai percakapan. Pria berdarah Jawa-Palembang itu merasa di tempat asalnya nasib tak kunjung berubah. Sampai di Dusun Rimbo Polon pertama kali menumpang di gubuk ladang milik orang Melayu tempatan. Memulai semuanya dari nol.
“Saya mocok sana mocok sini pak,” ujarnya. Ternyata maksud kata mocok itu adalah kerja serabutan. Kerja apa saja. Yang penting makan. Mulai dari menerima upah rambah belukar, kerja bangunan, berkuli di perusahaan perkebunan milik PT KTU sudah kerap dilakoninya. “Dulu kita kerja orang empat merambah satu hektar belukar upanya cuma Rp100 ribu pak,” ujarnya mengenang.
Setiap kali menerima upah merambah belukar yang akan dijadikan kebun iamelihat ramai kuli seperti dirinya antri menunggu giliran upah dari pemilik lahan. “Terpikir di dalam hati saya pak, alangkah enaknya punya lahan sendiri dan bisa bermanfaat bagi orang-orang seperti kami ini,” ujarnya lagi. Sejak itu ia bertekad ingin punya lahan sendiri. Meski harga tanah di dalam hutan Dusun Rimba Polon itu ketika itu hanya Rp2.000.000 per hektar, tetap tak terjangkau juga dengan upah kerja serabutan Dasrif. “Ya ketika itu saya sadar masih di tingkat ingin saja pak nggak tahu caranya untuk bisa dapat lahan,” ujarnya. Ia tidak berputus asa. Tetap berharap suatu saat hal itu terwujud. “Saya tetap tak putus berdoa,” ujarnya.
Hingga akhirnya kesempatan itu datang. Seorang dari Kota yang memiliki lahan di Rimbo Polon memintanya membuka lahan seluas 4 ha. Bukan itu saja. Ia ditawari ini; buka lahan itu, tanami sendiri, jaga sampai bisa produksi dan hasil bagi dua. Si pemilik hanya menyediakan bibit selebihnya Dasrif yang urus dan itu tanpa upah tanpa pupuk.
Meski kehidupan makin berat karena harus menanam, merawat dan menjaga kebun sembari mencari nafkah mempertahankan dapur agar tetap berasap, Dasrif tak menyerah. Ia harus membagi waktu untuk kebun dan untuk cari makan di luar. “Ya itu masa-masa pahit yang harus dilalui,” ujarnya.
Pemilik lahan, lanjutnya, tak mau tahu pokoknya kebun itu harus jadi. Pupuk tak ada ketika itu. Tapi Dasrif tak menyerah. “Yang penting tanaman bersih dari rumput atau tanaman liar lainnya dan hama. Saya berjuang keras agar kondisi itu terjaga karena saya sadar tak ada modal untuk pupuk,” ujarnya.
Masa-Masa Awal
Pahitnya masa-masa awal saat kebun belum produksi juga dirasakan semua pejuang sawit di semak belukar Rimbo Polon itu. Tak terkecuali Sukamto. “Samalah pak kami harus mocok sana sini untuk makan sambil terus menjaga kebun yang baru ditanam,” kenangnya. Berbeda dengan Dasrif, Sukamto ke Rimbo Polon tahun 2002. Mulai jadi petani dan turun langsung ke kebun.