"Saya Salat Dhuha setiap pagi di kebun dan berdoa kepada tuhan... ya Allah apakah aku hidup harus seperti ini terus, kebunkan dirusak gajah terus. Saya punya keyakinan Allah tidak pernah tidur," ujar Parjan.
Upaya pengusiran dan penghalauan gajah agar tidak masuk dan mencabut kebun sawit warga menurutnya selalu dilakukan para petani bersama pihak perusahaan. Saat malam tiba, warga dan pekerja perusahaan sudah berkumpul dan bersiaga.
Kelompok-kelompok tim penghalau gajah dibuat, dengan 20 orang setiap kelompok. Strategi disiapkan, mulai dari membuat bunyi-bunyian, membuat lentera api hingga memasang kawat berduri di sekeliling kebun. Namun demikian, upaya yang dilakukan tak terlalu membuahkan hasil.
H Parjan yang menjadi ketua salah satu kelompok pengusir gajah, mengakui kalau gajah yang masuk ke kebun memiliki kecerdasan. Obor yang dipasang di sekeliling kebun untuk menakuti gajah, dipadamkan dengan cara dihembus menggunakan belalainya. Tak berhasil, gajah pun kembali masuk kebun, mencabut dan memakan sawit.
H Parjan berjalan di lokasi kebun sawit yang sejak awal dibangunnya puluhan tahun silam. (M ERIZAL/RIAUPOS.CO)
Upaya lain pun dilakukan, pihak perusahaan dan petani mencoba memasang kawat berduri di sekeliling kebun agar gajah tak dapat masuk. Tak dapat langsung menembus penghalang kawat yang dibuat, kawanan gajah merobohkan pohon yang ada di sekitar lahan dan meletakkan di atas bentangan kawat, menjadikan pohon sebagai titian melewati kawat. Gajah pun kembali dapat masuk kebun sawit, dan kebun sawit kembali prak-poranda. Hancur dimakan gajah.
Serangan kawanan gajah ini cukup lama berlangsung. Begitu mengetahui ada gajah yang kembali masuk kebun sawit, warga secara berkelompok langsung bergerak melakukan upaya penghalauan. Menurut H Parjan, upaya pengusiran gajah dilakukan warga dengan menggunakan bunyi-bunyian yang keras.
"Bahkan ada satu gajah yang besar saya beri nama Jambul," ucapnya.
Tak hanya dicabut gajah, hama babi hutan dan landak yang memakan umbut sawit juga menjadi ancaman serius bagi kelangsungan pohon sawit. Akibat banyaknya hama inilah, menurut Parjan, berdampak pada keseragaman tinggi pohon sawit, umur panen kebun dan ujungnya jadwal pelunasan kredit yang terkendala.
"Bagi petani yang kebun sawitnya bagus dan tidak diserang gajah, pada 1997 kredit petani sudah lunas. Dan kebun menjadi milik petani," ujarnya.
Namum hal berbeda dirasakan petani yang kebunnya kerap diserang gajah. Untuk sawit yang kerap diserang gajah yang berada di areal perkebunan di kelompok tani 04 dan 03 tempat H Parjan dan petani lainnya, baru pada 2006 dirinya dapat melunasi kredit.
Bantuan dari PT Inti Indosawit Subur untuk kebun yang dirusak gajah, menurutnya juga sudah tidak tanggung-tanggung. Untuk menyisip tanaman yang diserang gajah dilakukan sejak dari tahun 1991 hingga 2001, karena banyak sawit yang dirusak gajah, landak hingga babi.
"Bayangkan, hampir selama sepuluh tahun saya masih melakukan pekerjaan menyisip. Sementara kebun patani lain sudah panen dan menikmati hasil. Menangis saya rasanya," ujarnya.
Akibat kerap rusaknya kebun inilah, yang akhirnya berdampak pada jadwal angsuran pelunasan kredit pada pemberi kredit. Bahkan sampai datang peringatan dari pemberi kredit kepada petani untuk dapat segera melunasi kredit yang tertunggak. H Parjan yang saat itu menjabat sebagai ketua wadah kerja antar kelompok dan juga ikut mendirikan KUD Karya Bersama, kerap ditunjuk sebagai mediator dan juru bicara oleh teman-temannya untuk bernegosiasi dengan pihak perusahaan, maupun pihak lainnya.