Selesai menamatkan pendidikan Aliyah, pada 1982 Parjan yang saat itu masih bujang mencoba peruntungan dengan merantau ke Jakarta. Namun selama di Jakarta justru kehidupan keras yang ia dapatkan, pendidikan setingkat aliyah yang ia miliki tak dapat ia andalkan untuk menaklukkan ibukota.
"Segala pekerjaan kasar saya lakukan hanya sekadar untuk dapat makan,"ujar Parjan menerawang.
Menyerah dengan kerasnya ibukota. Parjan pun memutuskan untuk pulang kembali ke Sragen, dan ikut membantu usaha meubel milik kakaknya di Jepara, hingga dirinya pandai seni ukir kayu.
Transmigrasi ke Sumatera
Akhirnya, titik balik terjadi pada diri Parjan. Usai melaksanakan Salat Subuh dan pengajian di sebuah musalla pada tahun 1987, dirinya diberitahu dan diajak sahabatnya Madio untuk ikut program pemerintah saat itu, yakni program transmigrasi.
"Namun syaratnya harus sudah berkeluarga. Padahal pada saat itu saya bersama teman-teman lainnya masih bujang," ucapnya tersenyum.
H Parjan melihat tandan buah segar (TBS) sawit yang baru dipanen pekerja di kebun di Desa Air Mas, Kecamatan Ukui, Pelalawan, Selasa (21/1/2020). Foto: M Erizal
Untuk dapat memenuhi syarat tersebut, menurut Parjan dirinya bersama kawan-kawan lain yang berjumlah 10 orang, memutuskan pada hari itu juga untuk bersama-sama mencari calon istri semua agar dapat ikut transmigrasi.
Usai menikah, dari kesepuluh orang ini akhirnya hanya sembilan orang yang jadi berangkat transmigrasi pindah dari Sragen. Tiga mendapatkan penempatan di Riau, tiga ke Jambi dan selebihnya ke Pulau Kalimantan, dan hanya satu orang yang akhirnya tak jadi berangkat.
Saat pertama kali menjejakkan kaki di Pulau Sumatera, tepatnya di daerah yang kini masuk dalam wilayah Kecamatan Ukui, Kabupaten Pelalawan pada 1987 silam, Parjan yang masih pengantin baru dan berusia 22 tahun mencoba memulai babak baru dalam sejarah hidupnya.
Areal lahan seluas dua setengah hektare yang merupakan jatah dari pemerintah bagi mereka yang mengikuti transmigrasi, ia coba tanami jagung dan singkong.
"Pada masa itu di Ukui tak seperti pada saat ini, masih banyak binatang buas yang berkeliaran. Harimau, gajah apalagi babi hutan tiap hari berkeliaran di sekitar pemukiman kami. Saat itu kami belum menanam sawit, namun masih menanam palawija,"ujarnya.