JAKARTA (RIAUPOS.CO) - Salah satu muara dari pemanfaatan Dana Ketahanan Eenergi (DKE) adalah anggaran untuk pengembangan energi baru dan terbarukan (EBT). Energi yang lebih bersih itu punya banyak macamnya. Mulai dari panas bumi, tenaga surya, angin, air, sampai nuklir. Meski masih menimbulkan pro dan kontra, pengembangan nuklir juga diharapkan bisa ikut dikembangkan.
Direktur Aneka Energi Baru dan Energi Terbarukan Kementerian ESDM Maritje Hutapea menjelaskan, dana untuk menggarap sektor EBT memang sangat besar. Dia lantas memberikan contoh peranan EBT dalam mega proyek pembangkit 35 ribu MW. Meski hanya dipatok 8.750 MW, dana yang diperlukan menembus Rp400 triliun.
’’Itu hanya sampai 2019. Belum ke tahun-tahun berikutnya,’’ jelas Maritje.
Adanya DKE, disebutnya bisa mempercepat pembangunan infrastruktur EBT selain untuk eksplorasi minyak dan gas bumi. Dia memastikan, pemerintah tidak akan gegabah untuk menjalankan rencana pengumpulan DKE tanpa payung hukum yang jelas.
’’Belum matang prosesnya. Ada yang mempertanyakan dasar hukumnya, ini masih mau diperdetil lagi,’’ tuturnya.
Meski demikian, dia membantah kalau pengumpulan DKE menunjukkan pengembangan EBT di Indonesia oleh swasta tidak laku. Jadi, pemerintah harus turun tangan sendiri melalui DKE.
’’Bukan tidak laku. Buktinya, di proyek 35 ribu MW sampai Rp400 triliun,’’ katanya.
Pengembangan EBT lanjut Maritje, memang selalu perlu banyak biaya. Salah satunya, karena EBT tidak bisa ditransportasikan. Jadi, dikembangkan langsung di lokasi munculnya sumber daya.
Selain itu, dia berharap agar momen pengembangan EBT bisa ikut mempopulerkan peranan nuklir. Selama ini, nuklir selalu menjadi opsi terakhir pengembangan energi.
’’Akan kami perjuangkan supaya masuk Rencana Umum Energi Nasional (RUEN),’’ ujarnya.