JAKARTA (RIAUPOS.CO) -- Dampak penguatan rupiah yang terjadi beberapa pekan terakhir harus diantisipasi. Anggota Komisi XI DPR Indah Kurnia menuturkan, penguatan rupiah bagi importir memang menggembirakan. Tapi, bagi eksportir, itu malah meresahkan.
"Saya lihat kenaikan kurs ini bukan semata-mata kinerja rupiah, tapi secara global kecenderungan dolar AS melemah," ujarnya di gedung DPR, Jakarta, Senin (27/1).
Berdasar data Bloomberg pada perdagangan Senin (27/1), nilai tukar rupiah di pasar spot dibuka stagnan pada level Rp13.583 per dolar AS. Namun, pada akhir perdagangan, rupiah melemah 32 poin atau 0,24 persen ke level Rp13.615 per dolar AS.
Anggota Komisi XI Sarmuji juga mempertanyakan penyebab penguatan rupiah. Menurut dia, pergerakan kurs rupiah saat ini sudah jauh dari range paling rendah yang ditetapkan pemerintah pada kisaran Rp14.200 per dolar AS. Dia juga ingin agar BI memberikan proyeksi pergerakan ke depan.
"Kami minta sebabnya apa karena bagi pasar yang penting kepastian. Kalau ketidakpastian tinggi, mereka kesulitan memperkirakan biaya utamanya yang disebabkan transaksi internasional," tuturnya.
Menanggapi pertanyaan-pertanyaan itu, Gubernur Bank Indonesia (BI) Perry Warjiyo menuturkan, BI terus berada di pasar untuk memantau pergerakan nilai tukar. Menurut Perry, jika apresiasi rupiah bisa memberikan dampak kontraproduktif bagi ekonomi RI, BI siap melakukan intervensi.
"Namun, penguatan rupiah sejauh ini masih berdampak positif dalam berbagai aspek," ujarnya.
Selain itu, arus modal asing (capital inflow) semakin membanjiri Indonesia. Tercatat, capital inflow sepanjang 2019 mencapai Rp224,2 triliun. Mayoritas dana masuk melalui obligasi pemerintah.
Hal itu mengakibatkan nilai tukar rupiah yang sempat tembus Rp14.800 menguat menjadi Rp13.800. Bahkan, Perry menyebut adanya dampak positif dari penguatan rupiah, terutama kepada penerimaan negara. Dia menjelaskan bahwa devisa ekspor dari produk komoditas terpantau baik.
Penguatan rupiah juga diyakini memberikan sentimen positif bagi industri manufaktur. Menurut dia, industri manufaktur justru akan bergairah karena biaya produksi lebih rendah dan iklim yang kompetitif. Oleh karena itu, ekspor elektronik, garmen, dan komoditas mesin meningkat.
Chief Economist Bank Mandiri Andry Asmoro mengatakan, perlu ada sinergi antara investor, pelaku usaha, dan pemangku kepentingan agar mampu menangkap peluang investasi yang dapat mendukung upaya meningkatkan pertumbuhan ekonomi Indonesia.
"Untuk mengakselerasi investasi, perlu sinergi seluruh pihak. Untuk itu, Bank Mandiri berkomitmen membantu memfasilitasi kebutuhan tersebut agar pertumbuhan ekonomi Indonesia yang baik dan berkelanjutan dapat dicapai," kata Andry di Jakarta, Senin (27/1).
Riset Office of Chief Economist Bank Mandiri memprediksi pertumbuhan ekonomi Indonesia pada 2020 akan mencapai 5,06 persen atau sedikit melambat jika dibandingkan dengan 2019. Perlambatan terjadi sebagai dampak menurunnya pertumbuhan ekonomi dunia akibat perang dagang.
Meski demikian, perlambatan yang dialami Indonesia relatif lebih baik dibandingkan sebagian besar negara emerging market lainnya. Tahun ini pemerintah Indonesia menargetkan pertumbuhan ekonomi 5,3 persen. Pada 2020, lanjut dia, ada beberapa sektor ekonomi potensial untuk berinvestasi. Di antaranya, sektor manufaktur, pariwisata, infrastruktur, dan pendidikan.
PERGERAKAN RUPIAH TERHADAP DOLAR AS
Tanggal | Kurs
20 Januari | Rp 13.639
21 Januari | Rp 13.669
22 Januari | Rp 12.646
23 Januari | Rp 13.639
24 Januari | Rp 13.582
27 Januari | Rp 13.615
Sumber: Bloomberg
Sumber: Jawapos.com
Editor: Rinaldi