JAKARTA (RIAUPOS.CO) - Meski menawarkan berbagai kemudahan, masyarakat harus cermat dalam meminjam uang melalui jasa fintech. Saat ini hanya ada 78 fintech yang terdaftar di Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Masih ada ratusan fintech lain yang ilegal atau tidak terdaftar.
Ketua Dewan Komisioner OJK Wimboh Santoso mengatakan, fintech memang dapat memberikan akses keuangan yang tidak mengharuskan calon nasabah untuk datang ke kantor. Juga, tak perlu memberikan agunan. Namun, masyarakat harus berhati-hati. “Sebab, fintech tidak boleh bohongin nasabah, harus transparan,” ungkapnya.
Dia meminta, jika ada fintech yang tidak terdaftar, jangan dipilih. Jika ada yang merasa dibohongi, Wimboh meminta agar melaporkan. Sehingga website-nya bisa diblokir. OJK hanya bisa mendorong fintech transparan kepada masyarakat. “Kalau pilih fintech yang tidak terdaftar, risikonya besar,” imbuhnya.
Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta menyebut, OJK sebenarnya gagal memahami permasalahan fintech peer-to-peer (P2P) lending. Sebab, OJK hanya menyalahkan korban, tidak memahami tugas pokok dan fungsinya sebagaimana diperintahkan undang-undang. LBH Jakarta telah membuka pos pengaduan korban pinjaman online sejak 5 November hingga 24 November 2018.
Selama pos dibuka, ada 1.330 korban yang sudah mengadukan pelanggaran hukum dan HAM yang mereka alami. Dari 78 fintech yang terdaftar, 25 di antaranya dilaporkan nasabah ke LBH Jakarta.
Pengacara publik LBH Jakarta Jeanny Silvia Sari Sirait mengatakan, fungsi pengawasan dari OJK berlaku, baik yang terdaftar maupun yang tidak terdaftar. Menurut dia, OJK lepas tangan pada permasalahan di fintech yang tidak terdaftar. “Dari tiga pasal itu, OJK punya tanggung jawab, baik terdaftar maupun tidak terdaftar,” ungkapnya.
Jenis pelanggaran yang dilaporkan ke LBH adalah perlindungan data pribadi. Masyarakat paham dengan adanya fintech yang terdaftar dan tidak. Namun, menurut dia, fintech yang terdaftar tidak menjamin tidak adanya pelanggaran yang dilakukan.
LBH juga meminta OJK membuat batasan maksimal terkait bunga fintech. Rata-rata satu orang yang mengadu meminjam ke satu sampai lima aplikasi pinjaman online. Ada juga yang meminjam ke puluhan aplikasi pinjaman online untuk menutup bunga dari pinjaman-pinjaman sebelumnya. “OJK harus mengatur bunga maksimal,” pintanya.
Wakil Ketua Asosiasi Fintech Syariah Indonesia Harry KW Haryono menyampaikan, untuk mengurangi risiko gagal bayar, fintech mengajukan sistem penilaian kredit (credit scoring) pada OJK. “Banyak yang menggunakan modus untuk meminjam, tapi tidak membayar. Tidak ada sentral credit scoring. Perlu inovasi keuangan digital untuk mengembangkan itu,” paparnya.
Dari fintech payment industry, BI telah mengatur berbagai hal mengenai keamanan bertransaksi. “Kalau dari regulasi, semua sudah kami atur dengan syarat keamanan yang ketat. Jadi, kami juga mendorong supaya pelaku industri payment ini mengedukasi nasabahnya agar tidak mudah kebobol,” ucap Direktur Eksekutif Departemen Kebijakan Sistem Pembayaran BI Onny Widjanarko.(nis/rin/c25/jpg)