JAKARTA (RIAUPOS.CO) – Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dan Asosiasi Fintech Pendanaan Bersama Indonesia (AFPI) menetapkan batas maksimum tingkat bunga fintech lending. Yakni, sebesar 0,4 persen per hari. Rate itu hanya ditujukan untuk pinjaman multiguna/konsumtif dan jangka pendek.
"Misalnya, tenornya kurang dari 30 hari. Sementara, bunga pinjaman produktif sekitar 12 persen sampai 24 persen per tahun. Bergantung tingkat risikonya," ujar Kepala Eksekutif Pengawas Industri Keuangan Nonbank Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Ogi Prastomiyono, Selasa (27/9).
Penetapan bunga maksimum 0,4 persen per hari, lanjut dia, telah melalui berbagai pertimbangan. Hasil riset OJK pada 2021, rate ideal maksimum berkisar 0,3 persen hingga 0,46 persen per hari. "Itu sudah termasuk biaya-biaya lainnya," katanya.
Ogi menegaskan, tidak ada pinjaman multiguna/konsumtif dengan tenor panjang. Misalnya, sampai setahun. Untuk mendukung penetapan manfaat ekonomi, saat ini dilakukan kajian komprehensif dan pembahasan dengan asosiasi. Termasuk mengenai bunga yang bersifat indikatif. "Kajian dan pembahasan diharapkan dapat menghasilkan ketentuan yang menyeimbangkan kepentingan lender maupun borrower. Tujuannya, menjaga industri fintech lending tetap sehat, kuat, dan berkelanjutan," jelasnya.
Sementara itu, Direktur Eksekutif AFPI Kuseryansyah menyampaikan bahwa pihaknya meningkatkan proyeksi penyaluran pinjaman online (pinjol) sepanjang 2022 menjadi Rp250 triliun dari sebelumnya Rp225 triliun. Penyaluran pinjaman pada periode Januari–Juli telah mencapai Rp130 triliun. Dengan outstanding pinjaman aktif di masyarakat sebesar Rp45,7 triliun. Secara kualitas, tingkat keberhasilan bayar 90 hari masih terjaga di level 97,33 persen.
Terpisah, Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira Adhinegara menyatakan, bunga maksimum 0,4 persen per hari sebenarnya masih cukup tinggi. Seharusnya bunga pinjaman bisa lebih rendah lagi. "Karena situasi dengan bunga yang ada saat ini, pinjaman macet (lebih dari 90 hari) menjadi Rp1,21 triliun. Naik 177 persen secara year-on-year (YoY) dari Rp430 miliar pada Juli 2021," ungkapnya saat dihubungi JPG tadi malam.
Berdasar data OJK, angka pinjaman macet fintech lending lebih pesat jika dibandingkan dengan pertumbuhan outstanding pinjaman sebesar 88 persen. Per Juli 2022, industri pinjaman online merugi Rp145 miliar secara total. "Berkebalikan dengan Juli tahun lalu yang membukukan laba bersih Rp75 miliar," ujarnya.
Ada beberapa faktor penyebab naiknya kredit macet fintech lending. Salah satunya, kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) sehingga kemampuan bayar peminjam menurun. "Kesulitan bayar karena penurunan pendapatan hingga naiknya biaya hidup. Terutama masyarakat kelas menengah bawah yang menjadi basis peminjam fintech lending," terangnya.(han/c14/dio/jpg)