JAKARTA (RIAUPOS.CO) -- Revisi Undang-Undang (UU) Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (Minerba) saat ini masih dalam tahap penggodokan oleh DPR RI. Sebab, yang menginisiatif adanya revisi adalah DPR. Pemerintah pun menunggu hasil dari inisiatif DPR tersebut.
Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR) Fabby Tumiwa pun berharap DPR bisa segera menyelesaikan revisi tersebut dan segera mengesahkannya. "Kita tahu pembahasan revisi Minerba intensif dilakukan tiga tahun terakhir. Ada rencana UU Minerba disahkan periode DPR yang lalu (2014-2019), tapi di saat-saat terakhir UU ini tidak jadi disahkan dan masuk Prolegnas DPR 2019-2024," jelasnya di Balai Kartini, Jakarta, Senin (20/1).
Menurutnya, poin-poin yang terdapat di dalam UU tersebut cukup mendesak direvisi. Bukan hanya dalam konteks pertambangan tapi kebijakan energi nasional. "Di mana UU energi pada dasarnya mengoptimalkan sumber daya alam di Indonesia untuk memenuhi kebutuhan energi nasional dan buat Indonesia mandiri secara energi. Batu bara diarahkan jadi memberikan nilai tambah ekonomi. Tidak hanya batubara tapi bahan tambang lain," ungkapnya.
Fabby pun menyoroti tiga hal yang menjadi poin penting revisi UU Minerba. Pertama adalah perubahan pemanfaatan energi yang saat ini beralih ke energi terbarukan. Kedua, tata kelola seperti pengawasan, pengendalian, dan pembinaan pertambangan minerba.
"Ketiga adalah hilirisasi, pemanfaatan batu bara untuk kebutuhan energi domestik dan saat ini pembahasan itu dalam dua bulan terakhir sangat intensif karena persoalan current account deficit (CAD) itu disebabkan oleh impor BBM kita tinggi. Maka ada wacana atau rencana yang disiapkan untuk memanfaatkan batu bara untuk memproduksi gas sebagai pengganti LPG," ujarnya.(jpg)