“Okelah menjual, tapi harganya dinaikkan. Karena itu kita perlu memperkuat energi dalam negeri,” tegasnya. Pengembangan kapasitas kilang disebutnya bakal berdampak pada likuidasi aset.
Di kawasan kilang Pertamina Balikpapan saat ini, mulai Stadion Persiba, SMA Patra Dharma, Masjid Istiqlal, GPIB Maranatha dipastikan menjadi korban. Menurutnya, itu adalah risiko. Tapi, pengorbanan tersebut akan sia-sia jika Pertamina juga tidak melakukan pembenahan kebijakan internal. “Yaitu melakukan efisiensi. Untuk apa bangun kilang tapi tak efisien,” sebut Afiudin.
Efisiensi yang dimaksud adalah, tenaga kerja dan pengoperasian kilang. Sehingga harga produk minyak dalam negeri bersaing dengan harga impor. “Pertamina tahu kok cost-nya apa saja. Jangan sampai harga impor lebih murah harganya,” pintanya.
Terkait kapasitas kilang yang mampu produksi 360 ribu barel per hari pada 2019 mendatang, Afiudin menyebut itu bakal melebihi kapasitas kilang UP IV Cilacap, Jawa Tengah dengan kapasitas 348 ribu barel per hari.
Lantas, apakah peningkatan kapasitas produksi kilang ini akan berdampak pada kemungkinan turunnya harga jual minyak dalam negeri? Lagi pula penggunaan dolar ditekan.
Namun, menurut Afiudin hal itu tidak serta-merta begitu saja. “Kita tidak bisa lepas dari dampak ekonomi global. Karena minyak kita sekarang antara keperluan dalam negeri dengan eksplorasi tidak cukup,” katanya.
Eksplorasi hanya 800-900 ribu barel per hari sedangkan keperluan dalam negeri 1,6 juta barel per hari. “Berarti kita harus impor 500 sampai 600 ribu barel per hari,” ulasnya.
Di sisi lain, pemanfaatan energi gas juga harus digenjot sehingga penggunaan minyak bisa dihemat. Sisi positif lain dari pengembangan kilang ini adalah Balikpapan akan menjadi pusat kilang Indonesia wilayah tengah. “Pemain utamanya kita (Balikpapan). Dampaknya, ekonomi tumbuh,” bebernya.