Putra almarhum H M Lukminto itu mengatakan, industri kini seolah ”berjalan sendirian” dalam mengatasi masalah tersebut. Bukan hanya industri tekstil, tapi juga industri-industri padat karya lainnya. Mereka merasa kurang dibantu pemerintah.
”Akhirnya industri terpaksa menerima karyawan yang tidak sesuai dengan latar belakang pendidikannya,” tambah dia.
Dengan bekal pengetahuan yang minim, karyawan baru harus diajari industri dari awal. ”Mulai cara kerja, pemasaran, produk, hingga menjelaskan prospek industri tekstil ke depan,” ungkapnya.
Di Sritex, bahkan sampai ada pusat pendidikan khusus untuk melatih tenaga kerja baru seputar industri tekstil. ”Industri sebenarnya berharap pemerintah bisa bantu, tapi kami pun tidak boleh berpangku tangan menunggu pemerintah. Kalau kami tidak mendidik tenaga kerja kami sendiri, susah nanti produksi kami,” katanya.
Iwan mengingatkan, ancaman selain kurangnya tenaga kerja profesional dan terdidik adalah mesin. Ya, industri pada akhirnya bisa saja berpikir lebih baik menggunakan banyak mesin. ”Tidak perlu repot-repot mendidik tenaga kerja dari awal, karena toh mesin saja bisa melakukan hal yang sama. Namun, jika itu terus terjadi, risikonya penyerapan tenaga kerja akan berkurang sehingga laju perekonomian memburuk,” jelasnya.
Namun, Iwan berpesan agar perusahaan dan tenaga kerja di Indonesia tidak takut menghadapi MEA. Sebab, Indonesia pun punya kesempatan yang sama untuk bisa go global. Industri dan pengusaha bisa meraih pasar di luar negeri. Tenaga kerja di Indonesia pun bisa bekerja ke banyak negara di ASEAN.
”Tenaga kerja dari luar kebanyakan unggul di bahasa Inggris saja kok. Belum tentu mereka paham soal tekstil,” ungkapnya.
Menurut Iwan, Indonesia semestinya bisa mencapai pertumbuhan ekonomi di atas 5 persen. Namun, Indonesia harus mewaspadai harga minyak dan komoditas yang terus turun. Untuk itu, diperlukan upaya pemerintah dalam mendukung industri di luar sektor energi dan komoditas agar bisa maju. ”Industri manufaktur yang banyak menyerap tenaga kerja dan menghasilkan barang dengan added value harus didukung untuk menolong perekonomian bangsa,” tuturnya.(rin/kim)