JAKARTA (RIAUPOS.CO) -- Pelaku bisnis online kini tak bebas lagi. Melalui PP Nomor 80 Tahun 2019 tentang Perdagangan melalui Sistem Elektronik, pemerintah resmi mewajibkan pelaku yang berjualan di e-commerce memiliki izin usaha. Dengan aturan itu, pelaku usaha atau online shop yang selama ini berjualan di Bukalapak, Tokopedia, dan sebagainya wajib memiliki izin usaha.
Ekonom Indef Nailul Huda menyebutkan, salah satu alasan pemerintah membuat aturan itu adalah merapikan administrasi dari pelaku usaha bisnis digital yang selama ini belum tertata dengan rapi. Terutama soal data.
"Nah, adanya aturan ini diharapkan ada data yang jelas bagi pemerintah," ujarnya.
Sebagaimana yang diwartakan, selain PP yang sudah terbit tersebut, pemerintah melalui Kementerian Perdagangan juga akan menerbitkan aturan turunan permendag. Dua aturan tersebut akan disosialisasikan Kemendag kepada pengusaha online 9 Desember mendatang. Targetnya, permendag itu diteken dan mulai berlaku pada awal 2020.
Menurut Huda, dampak positif bagi pemerintah dengan adanya peraturan tersebut adalah data yang bisa digunakan untuk keperluan perpajakan. Namun, di sisi lain, dampak ke pebisnis akan negatif mengingat akan menimbulkan biaya izin usaha.
"Selama ini kan pelaku usaha membuka toko online dengan biaya nol rupiah. Maka, jika ada biaya izin usaha, itu pasti akan menurunkan minat pelaku usaha di bisnis e-commerce," tambahnya.
Vice President of Corporate Communications Tokopedia Nuraini Razak menyebutkan, PP No.80/2019 itu perlu dipertimbangkan karena tidak sejalan dengan visi Indonesia. Yakni, mendorong kemudahan berbisnis dan pertumbuhan UMKM baru.
"Dengan aturan ini, artinya, yang boleh berbisnis online hanya pengusaha besar dan memiliki izin. Padahal, dengan kemudahan berbisnis online, pengusaha yang awalnya sampingan atau coba-coba, akhirnya bisa jadi usaha serius dan kemudian memiliki izin," tegasnya.
Di sisi lain, tidak jelas bagaimana tata cara penegakan aturan itu ke platform media sosial dan chat yang berisi banyak transaksi informal, tidak termediasi, dan bahkan rentan akan penipuan. "Bayangkan, lewat aturan ini, model bisnis marketplace C2C harus melakukan penyesuaian dengan hanya menerima merchant yang sudah besar dan memiliki izin," tuturnya.
Assistant Vice President of Public Policy and Government Relations Bukalapak Bima Laga menuturkan, aturan tersebut menjadi tantangan tersendiri bagi UMKM untuk memperluas jangkauan pasarnya. Menurut dia, itu menjadi hal baru yang harus diadaptasi para pelaku UMKM.
"Tapi, lagi-lagi, kami belum bisa berkomentar banyak. Sebab, kami sedang mengkaji aturan tersebut," jelasnya.
Ranger Komunitas Bukalapak Jakarta Putri Wanna menyebutkan, kabar maupun sosialisasi peraturan tersebut belum sampai pada pelaku usaha online. "Masih baru banget kan ya," ujarnya.
Putri dan rekan-rekannya berharap jika memang peraturan tersebut diberlakukan dan pelaku usaha diwajibkan memiliki izin, pengurusannya harus sederhana.
"Sebenarnya, tidak masalah selama proses registrasinya dibikin sesimpel mungkin. Jangan malah menyusahkan pelaku usaha dan online shop," katanya.
Selain itu, Putri berharap pemerintah memberikan waktu untuk sosialisasi dan masa transisi. Misalnya 6–12 bulan. Untuk mempermudah, lanjut dia, pemerintah juga perlu membuat banyak pintu untuk pengusaha mengurus perizinan. Jadi, tak hanya mengandalkan OSS.
JENIS BISNIS MERCHANT E-COMMERCE INDONESIA
Segmen | Persentase
Makanan dan wisata | 58,9
Fashion | 14,6
Furnitur & rumah tangga | 8,7
Elektronik | 8,1
Kecantikan dan kesehatan | 6,8
Lain-lain | 2,9
Editor: Erizal
Sumber: Jawapos.com