Hingga akhirnya mereka menikah. Kepada ibu sang suami, mereka mengungkapkan keinginan untuk memiliki rumah sendiri. Tapi, keinginan itu langsung ditepis ibu mertua Cici. Sang mertua menolak mentah-mentah ide itu. Mereka harus tetap tinggal bersama orang tua suami.
Awalnya Cici keberatan. Tapi rayuan maut sang suami membuat ia menerima keputusan untuk tinggal bersama mertua.
Waktu berlalu. Hari demi hari. Bulan demi bulan. Suami Cici melihat istrinya tak tampak bahagia tinggal bersama mertua. Janji pun terlontar. Mereka akan membina rumah tangga di rumah impian mereka. Cici pun kembali semangat.
Tapi janji tinggal janji. Suaminya tetap tak bisa meninggalkan sang ibu.
Untuk menghilangkan stres, Cici kembali bekerja. Ia pergi sebelum pukul 08.00 WIB untuk mengghindari kemacetan. Otomatif pekerjaan rumah seperti bersih membersihkan tak sempat dikerjakan Cici. Ia hanya sempat memasak dan menyiapkan makanan untuk suami dan juga mertuanya.
‘’Gerak gerikku selalu diawasi ibu mertua. Pakai baju terbuka di dalam kamar tidur saja tak disukai ibu mertua,’’ kata Cici kepada sahabatnya untuk melepaskan beban di hati.
“Aku nggak tahu harus berbuat apa lagi. Posisiku sekarang serba salah. Mau minta pindah dan ngontrak di luar sama suami salah, karena orang tuanya tak ada yang menemani. Tapi kalau lama-lama aku di sana, aku juga tidak nyaman,” ucap Cici menangis.
Melihat Cici menangis, sang sahabat hanya dapat mendengarkan luapan hatinya, dan dapat memberi saran yang sewajarnya.
“Aku tahu rasanya Ci. Hanya saja aku tidak bisa ikut terlalu dalam urusan rumah tangga kamu, cobalah bicaran dengan suami mu baik-baik pasti akan ada jalan keluarnya,” sebut sahabat Cici yang terus memeluk dan membuat Cici semakin tenang.(cr2)