DARI DISKUSI FORUM PEMRED RPG II BERSAMA GAPKI

Sawit, Primadona yang Ditekan di Sini-sana

Sumatera | Kamis, 03 Desember 2015 - 11:28 WIB

Sawit, Primadona yang Ditekan di Sini-sana
Chairman RPG H Rida K Liamsi (kiri) menyerahkan cenderamata kepada Ketua Kompartemen Komunikasi GAPKI Tofan Mahdi yang jadi narasumber dalam Forum Pemred RPG di Hotel Harmoni One, Batam, pekan lalu.

‘’Komoditas sawit juga berperan sebagai key driver pertumbuhan ekonomi daerah,’’ kata Tofan.

Permintaan produk sawit dunia yang mengalami pertumbuhan 6 juta ton per tahun, kata Tofan, juga menjadi peluang terbuka bagi Indonesia untuk memenuhinya. Begitu strategisnya posisi komoditas ini sehingga ada negara besar yang justru resah karena mereka tidak mendapatkan apa-apa. Apalagi minyak fosil yang jadi andalan sudah semakin menipis dan biofuel yang jadi lirikan, justru berbahan baku sawit.

Baca Juga :Sampaikan Pesan Pemilu Damai ke Nelayan yang Sedang Melaut

Keresahan pihak luar inilah yang kemudian memunculkan strategi pelemahan komoditi unggulan tersebut, dalam bentuk kampanye terus-menerus dengan berbagai isu. Termasuk kebakaran, berbagai bentuk sertifikasi keberlanjutan. Termasuk upaya pemerintah negara pengimpor membuat regulasi ‘non-tarif, plus tekanan perdagangan melalui supply chain.

Diingatkannya, tekanan pihak luar membuat perusahaan besar menjadi sasaran utama. Sehingga langsung berdampak pada supply chain yang menengah-kecil, berpotensi menimbulkan dampak beban biaya sehingga kurang efisien, yang berisiko menjadikan pertumbuhan produksi sawit menurun. Produksi Indonesia stagnan, hingga sampai pada kondisi di mana Indonesia menjadi importir sawit. Seperti cerita komoditi unggulan masa lalu: rempah, tebu, tembakau dan kakao.

‘’Kami sendiri berprinsip, karena kami ada di Indonesia dan tunduk atas undang-undang yang berlaku. Kami memakai regulasi yang ada di Indonesia, seperti ISPO, untuk terjaminnya perkebunan sesuai tata kelola lingkungan,’’ tegas Tofan.

Di Indonesia, kata Tofan, pelaku budidaya kelapa sawit ini, 58 persennya merupakan grup perusahaan besar, perusahaan menengah dan perusahaan kecil. Sisanya, 42 persen, merupakan petani plasma (2 Ha/KK), petani swadaya-kecil, dan petani swadaya menengah-besar, di mana dua yang terakhir mendominasi. Sekitar 60 persen.

Lalu, terkait titik api yang menyebabkan terjadinya bencana kabut asap beberapa waktu lalu, Tofan menjelaskan, kurang dari delapan persen berasal dari areal perusahaan konsesi sawit, 20 persen hutan tanaman industri (HTI) dan yang terbesar adalah lahan masyarakat dan area konservasi.

Diakuinya, ada anggota GAPKI yang terindikasi terlibat dan untuk membuktikan bersalah atau tidak, sedang menjalani proses hukum. ‘’Kami hormati proses hukumnya. Jika terbukti akan dikeluarkan dari GAPKI. Karena kami tak ingin dicemari oleh satu atau dua oknum itu,’’ kata Tofan.

Sejumlah pertanyaan pun muncul untuk didiskusikan :Apakah kebakaran hutan/lahan (karhutla) bersifat spesifik Indonesia, spesifik ekosistem atau spesifik lokasi? Apakah kebakaran hutan secara sistematis terkait dengan perkebunan kelapa sawit? Apakah perusahaan perkebunan kelapa sawit sebagai penyebab atau korban kebakaran?

Ternyata, dari data yang disertakan Tofan, fenomena karhutla terjadi di berbagai tempat, bukan spesifik Indonesia. Karhutla Indonesia bukan spesifik karena gambut, karena jumlah hutan/lahan non-gambut yang terbakar hampir sama besarnya (berdasarkan data Global Forest Watch). Bahkan hutan di luar Indonesia yang berupa hutan sub-tropis juga mengalami kebakaran hebat. Dicontohkan bagaimana masyarakat Amerika Serikat dan Eropa yang memiliki disiplin dan kepedulian tinggi pada lingkungan. Namun faktanya, karhutla tetap terjadi setiap tahun.

‘’Padahal, Amerika dan Eropa memiliki sistem antisipasi kebakaran hutan terbaik di dunia. Dengan peralatan dan teknologi canggih, sumber daya manusia yang tangguh dan dukungan anggaran yang besar. Namun, data menunjukkan kebakaran tetap terjadi,’’ jelas Tofan.

Di Indonesia sendiri, masalah karhutla begitu kompleks karena lokasinya ada yang di dalam konsesi perusahaan, di luar konsesi perusahaan. Yakni lahan masyarakat dan lahan kawasan hutan, serta kebakaran pada areal konsesi tapi di luar areal tanam. Juga pihak-pihak yang terkait di sana, mulai dari perusahaan, masyarakat/individu, hingga pemerintah dalam hal proses perizinan, dan regulasi.

Dipaparkan juga beberapa indikasi yang menjadi penyebab terjadinya karhutla. Dari yang tak sengaja seperti membuang puntung rokok ke hutan/ladang, membuat api unggun, hingga yang  terindikasi disengaja. Yakni membuka lahan dengan membakar (baik karena alasan legal maupun ilegal), areal bermasalah dibakar dengan tujuan areal tersebut status quo dan masyarakat/oknum mengambil lahan tersebut; sengaja membakar lahan perusahaan dengan tujuan agar perusahaan dipersalahkan dan izin/HGU perusahaan dicabut. Lahan yang telah ditetapkan perusahaan dianggap lahan menganggur sehingga dibakar dan berusaha ditanami oleh oknum; petani padi membakar jerami sisa panen untuk membersihkan lahan, dan sebagainya.









Tuliskan Komentar anda dari account Facebook