Pewaris Jong Katel

Seni Budaya | Minggu, 31 Mei 2020 - 11:41 WIB

Pewaris Jong Katel

Permainan tradisi yang terus terjaga. Inilah Jong Katel. Sayangnya, jumlah pewaris yang pandai membuat dan memainkannya, semakin langka.

(RIAUPOS.CO) - JUNG adalah sampan kecil. Sedangkan katel adalah penyeimbang sampan. Kalau tak ada penyeimbang, jung akan  tumbang. Jadi jung katel adalah sampan kecil yang seimbang dan diberi layar. Tidak ada yang membedakan antara jung katel satu daerah dengan daerah lain selain bentuk sauknya (kepala jong katil). Rata-rata bentuknya seperti pauh burung. Ada pauh onggang. Ada juga berbentuk naga, bahkan seperti kepala gitar gambus.


Setidaknya ada delapan jung katel. Layarnya bermacam-macam.  Ada merah, biru, ping, hitam, atau perpaduan warna antara pink dan biru, dan masih banyak lainnya. Ukurannya beraneka macam. Rata-rata antara 1-2 meter. Ada 1,7 meter, ada 1,5 meter.  Panjang layar dari atas ke saut (ujung Jung), rata-rata 2,5 meter.

Jung terbuat tidak dari kayu sembarangan. Jung hanya bisa dibuat dari kayu yang bisa mengapung. Pulai, adalah kayu yang paling pas untuk membuat jung ini. Tak semua orang pula pandai membuatnya. Hampir putus, hampir hilang generasi yang pandai membuat jung. Begitu juga dengan cara memainkannya. Tak semua orang bisa. Salah main, salah layar, jung bisa pecah. Salah dibawa angin, jung juga bisa hancur berantakan.

Permainan jung, merupakan salah satu permainan tradisional di tengah masyarakat Melayu Pesisir. Orang zaman dulu, khususnya yang tinggal di daerah pesisir, tidak banyak memiliki permainan. Jung katel inilah yang dekat di tengah mereka. Bermain sampan-sampanan tak bernakhoda, dilepaskan bebas ke tengah sungai atau laut, itulah permainan mereka saat itu. Permainan inilah yang kemudian dikenal dengan jung katel. Tidak hanya di Riau tapi juga di Kepulauan Riau. Tidak hanya di Teluk Meranti, tapi juga ada di Bengkalis, Dumai dan daerah pesisir Riau lainnya.

Semakin lama, jung katel semakin hilang seiring dengan perubahan zaman. Tidak ingin kehilangan masa lalu, warisan dan kebudayaan nenek moyang, sebagian masyarakat melestarikan jung katel dengan berbagai cara. Festival jung katel di Teluk Meranti ini juga merupakan salah satu cara yang dilakukan masyarakat, pemuda dan segenap orang yang peduli agar tetap diingat dan terjaga hingga nanti.

’’Satu.. dua.. tiga!!’’ Jung dilepas dalam sebuah festival di Teluk Meranti, Kabupaten Pelalawan, beberapa waktu lalu.


Ada yang berlayar lurus persis ke batas garis akhir. Ada juga yang keluar jalur. Empat Jung terbaik ditetapkan sebagai pemenang. Jung kemudian diangkut ke daratan. Dipajang dan dipamerkan.  Inilah saatnya pengunjung berfoto di depan jung. Bebas dengan berbagai gaya.
Tidak lama kemudian, perlombaan kembali digelar untuk mencari juara satu hingga harapan. Pegunjung semakin tidak sabar. Semakin merapat. Pemilik Jung juga semakin berdebar. Apalagi satu orang ada yang memiliki dua jung. Maklum saja, karena tak banyak yang pandai membuat Jung. Tak banyak pula yang bisa memainkannya dengan baik.

Di Teluk Meranti, kata Junaidi, tokoh pemuda dan juga Ketua Badan penyelamat Wisata Tirta Bono, Community Rescue dan Penanggulangan Bencana (Balawista Bono SBR-PB), hanya ada beberapa orang saja yang pandai membuat jung. Jumlahnya hanya sekitar 10 orang. Mereka inilah yang membuat jung tersebut, baik Jung berukuran besar yang diperlombakan, maupun jung kecil untuk suvenir.

‘’Jung katel ini merupakan suatu kebiasaan orang dulu. Dulu tak ada semacam perlombaan, ya hanya untuk main-main saja.  Murni permainan tradisional Melayu Riau pesisir. Tidak hanya dari Teluk Meranti, di Bengkalis juga ada. Batam juga,’’ beber Junaidi.

Mengapa jung harus diperlombakan? Jawabannya cukup sederhana; supaya jung Katel tetap bisa dilestarikan. ‘’Kenapa diperlombakan, salah satunya untuk menarik wisatawan. Tapi lebih dari itu, supaya warisan leluhur ini tetap bisa dilestarikan. Apalagi yang bisa membuat jung tidak banyak. Kita takut akan hilang begitu saja nantinya,’’ sambung Junaidi.

Selain itu, jung katel sekarang sudah menjadi industri masyarakat dan bisa menghasilkan uang. Bisa menjadi sumber perekonomian. Maka, jung juga patut dimunculkan agar wisatawan tahu tentang kebudayaan tradisional di Teluk Meranti. Kebudayaan itu dimunculkan dalam bentuk karya tangan yang nyata. Artistik. Menarik. Sehingga pengunjung yang datang membeli  sebagai kenang-kenangan.

‘’Selain menciptakan karya tangan berupa jung ini, kami juga harus berusaha keras terus mengundang dan menarik wisatawan sebanyak-banyaknya kemari. Kalau sudah banyak yang datang, mereka belanja. Kalau mereka belanja, pendapatan masyarakat bertambah. Perekonomian yang kreatif berputar. Sementara kebudayaan dan kesenian tradisional juga tetap terjaga dengan baik,’’ sambung Junaidi.***


Laporan KUNNI MASROHANTI, Pelalawan

 









Tuliskan Komentar anda dari account Facebook