Suarakan Keresahan lewat Teater

Seni Budaya | Minggu, 18 Agustus 2019 - 12:09 WIB

Suarakan Keresahan lewat Teater
Pementasan teater "Padang Perburuan" produksi Lembaga Teater Selembayung (Riau) di tiga kota, Jambi, Palembang, dan Bengkulu. Teater Selembayung for Riau Pos

Lain halnya dengan pertunjukan "Padang Perburuan" di Kota Bengkulu pada 23 Juli. Jika di Jambi dan Palembang pertunjukan di auditorium, maka di Kota Bengkulu digelar di ruang terbuka. Ratusan penikmat seni, berkumpul di situs sejarah Benteng Marlborough, menikmati suguhan berteman angin laut di malam hari.

Para kreator Kota Bengkulu sekitarnya mengakui, pertunjukan serupa "Padang Perburuan" menjadi suguhan baru. Perdebatan sekitar penamaan genre karya juga mencuat dari beberapa kreator. Bahkan salah seorang kreator Edi mempertanyakan, mengapa ada dua genre dalam satu karya seperti realis dan non realis? Masih banyak hal lain yang tentunya menjadi wacana dalam pembahasan.


Menanggapi ada unsur realis dan non realis dalam "Padang Perburuan", Fedli Azis mengatakan, hal itu sangat biasa terjadi dalam penciptaan karya seni, terutama teater. Bahkan, selama 11 kali "Padang Perburuan" digelar, audiens memberi label macam-macam seperti teater esai, teater tubuh, teater mini kata, teater tari, dan lainnya. Tentu saja, setiap yang melabeli-nya punya alasan tersendiri yang menarik untuk dikaji lebih dalam. "Palingtidak, apa yang kami suguhkan juga punya alasan-alasan yang sudah dipertimbangkan sedemikian rupa sehingga hasilnya bisa ditafsir bervariasi. Itulah karya seni, setiap kepala punya tafsir atas apa yang dilihat, dirasa, dan dinikmatinya. Yang pasti, pesan yang disampaikan, diharapkan mampu ditangkap secara baik oleh para penikmatnya," papar Fedli.

Secuil Tentang Karya

Karya "Padang Perburuan" yang ditulis dan disutradarai Fedli Azis bersama komunitasnya Lembaga Teater Selembayung (Riau) berangkat dari sebuah riset. Karya eksploratif ini awalnya terinspirasi dari sebuah esai budayawan Riau, UU Hamidy yang berjudul, "Riau, Nasibmu Kini sebagai Padang Perburuan". Dalam penciptaan karya, sang sutradara mengambil sampel pembangunan PLTA Koto Panjang di Xlll Koto Kampar, Kabupaten Kampar.
Dari hasil penelusuran, baik turun ke lapangan bertemu masyarakat yang terdampak langsung, maupun melalui studi literasi, terungkap bahwa pembangunan waduk raksasa itu berdampak buruk bagi masyarakat. Selama 27 tahun beroperasi di kawasan itu, masyarakat senantiasa diteror oleh banjir yang terjadi hingga berkali-kali dalam setahun.

"Jika dulu PLTA membenamkan 10-12 kampung, maka setelah pembangunan, saat curah hujan tinggi maka ratusan kampung akan tenggelam akibat pembukaan pintu waduk agar tidak jebol karena debit air yang besar. Sementara itu, pihak pengelola (Jepang, red) bersama pemerintah tidak pernah punya solusi atas bencana tersebut. Masih banyak turunan persoalan yang terjadi bagi masyarakat tempatan yang sangat merugikan itu," ujar Fedli. Dalam penciptaan karya kreatifnya, Fedli mengutip beberapa unsur budaya lokal untuk diolah sesuai keperluan pemanggungan. Misalnya, mengambil unsur silat dan sastra lisan yang masih hidup di kawasan itu. Kedua unsur itu begitu melekat secara artistik sehingga memberi kesan mendalam atas ingatan kolektif masyarakat tempatan.

Dikatakan Fedli, pembangunan PLTA Koto Panjang di XIII Koto Kampar, Riau, menjadi sumber malapetaka bagi rakyatnya. Waduk raksasa itu tidak saja menampung air di pusar Bukitbarisan, tepat di pusat Pulau Sumatera. Waduk itu, juga menampung air mata yang tak kunjung kering hingga puluhan tahun lamanya. Waduk itu, juga menampung luka dan kepiluan tak tertanggungkan.

Warga yang terdampak pembangunan waduk itu, tak berdaya dan tak punya kuasa mengadili sesiapa yang harus bertanggung jawab atas nasib mereka. Tak tahu siapa yang akan dituntut atas peristiwa itu. Meski begitu, tak sedikit pula dari mereka yang peduli, dan terus saja menyuarakan pada dunia. Berbagi kesusahan, sekadar meringankan beban dengan cara tak biasa.  Mereka menertawakan nasib buruk, kemiskinan, kebodohan, ketakberdayaan, kekalahan, rasa kemanusiaan, keangkuhan, kebohongan, keadilan, bahkan mencemooh waktu yang berlari kencang.***

Laporan GEMA SETARA, Pekanbaru

 









Tuliskan Komentar anda dari account Facebook