FESTIVAL TEATER SUMATRA

Suku Seni Akan Pentaskan “The Terubuk” di Palembang

Seni Budaya | Rabu, 10 November 2021 - 07:08 WIB

Suku Seni Akan Pentaskan “The Terubuk” di Palembang
ILUSTRASI. (SUKU SENI FOR RIAUPOS.CO)

Selain itu, banyak penelitian menemukan, juga disebabkan oleh penangkapan dengan mengunakan alat yang tidak selektif dan penangkapan di muara saat memijah, serta penangkapan ikan yang berlebih (over fishing) saat ikan beruaya atau mencari makan.

"Maka tekanan ganda bagi ikan terubuk, yaitu akibat penangkapan secara terus-menerus terhadap terubuk guna diambil gonad matangnya (telur) dan kecenderungan degradasi lingkungan (terutama disebabkan oleh serbuk kayu, red) pada daerah habitat utama ikan tersebut," jelasnya lagi.


Bentuk upaya dalam menyelamatkan keberadaan ikan terubuk dari kepunahan adalah dengan diterbitkannya KepmenKP nomor KEP. 59/MEN/2011 tanggal 12 Oktober 2011, tentang Penetapan Status Perlindungan terbatas jenis ikan Terubuk (Tenualosa macrura) yang memperkuat PerBup Bengkalis nomor 15 tahun 2010 tanggal 20 Juli 2010, tentang Suaka Perikanan Ikan Terubuk di Kabupaten Bengkalis.

Sebagai antisipasi pemekaran wilayah Bengkalis dikeluarkanlah Pergub Nomor 78 tahun 2012 tanggal 28 Desember 2012 tentang Suaka Perikanan Ikan Terubuk di Provinsi Riau yang mencakup wilayah Kabupaten Siak, Meranti dan Bengkalis.

Berdasarkan gambaran tersebut, pertunjukan ini diolah. Menurut Marhalim, pertunjukan teater ini hendak menawarkan sebuah tafsir kreatif atas fenomena ikan terubuk sebagai salah satu pintu masuk untuk menelisik kompleksitas nilai peradaban laut masyarakat Melayu Riau, khususnya masyarakat Bengkalis, Siak, Kepulauan Meranti, dan sekitarnya.
Tafsir tersebut dilandaskan pada setidaknya dua sumber utama sebagai titik mula eksplorasi, yakni "Syair Ikan Terubuk" dan tradisi ritual Semah Terubuk, serta mengelaborasinya dalam kelindan persoalan sosial mutakhir yang menyertainya, terutama dalam merespon berbagai kerusakan lingkungan yang terjadi.

Presentasi simbolik (ikan) kemudian dipilih sebagai sebuah tawaran ekspresi estetik yang memungkinkan terbukanya ruang tafsir lain yang lebih luas atas kompleksitas nilai ikan terubuk.

“Keberpihakan dan keprihatinan atas degradasi lingkungan menguat dalam teks-teks puitik dalam pertunjukan diolah dari puisi saya berjudul 'Sejarah Rempah dan Kisah Orang Lapar' (dimuat Kompas, 20 Desember 2015). Sehingga antara permainan simbol dan gagasan ideologis diharapkan saling bertukar-tangkap makna, dan memantik lahirnya gagasan kritis yang lain,” jelas Marhalim, yang juga Ketua Umum Asosiasi Seniman Riau (Aseri) ini.

Sajian pertunjukan The Terubuk; Migrasi Ikan-ikan Menuju Tuhan boleh jadi hanya sebuah kolase atau montase dari letupan gagasan kritis tersebut. Ikatan tematik tentang "jalur rempah"--yang sesungguhnya serta-merta mengemuka ketika bicara soal jalur perdagangan dan dunia maritim di Riau, pun Sumatra dan Sriwijaya --menjadi penguatan historis sekaligus metaforis.

Ia selalu ada, meskipun kadang nampak tiada. Sebab, betapa tak dapat disangkal bahwa laut Riau (pun Kepulauan Riau dan sejarah kerajaan yang menyertainya) sejak berabad lampau memang telah menjadi jalan-raya bagi lalu-lintas perdagangan dunia.  

"Maka rempah dalam pertunjukan ini bersebati dalam kepulan asap kemenyan, dan rasa gambir, cengkeh, pedas kapur dalam merah sirih yang senantiasa disepah ke laut oleh para tetua saat hendak merapalkan ingatan tentang Tuhan," ujar sutradara dan penulis naskah pementasan teater Tun Teja ini.

Pertunjukan kali ini Suku Seni didukung empat pemain yakni Baharsyah Setiaji, Joni Hendri, Adek Feisal Usman, dan Ratna Iri Rahmayani.

“Pertunjukan ini, selain ditampilkan di Palembang, juga akan tayang dalam versi lain pada Wave 21 Festival di Malaysia yang diselenggarakan oleh Pusat Pengajian Asasi Seni Kreatif Aswara Kuala Lumpur,” jelas Marhalim mengakhiri.

Laporan/Editor: Hary B Koriun









Tuliskan Komentar anda dari account Facebook