DUNIA pelacuran, sebagaimana juga dunia “moralitas” kita, sejak lama jadi problematika yang tak mudah diurai. Agaknya, Synnott (2003) betul, ketika ia bilang tubuh manusia itu bukan semata fenomena biologis, tapi juga simbolis, sebuah hasil ciptaan masyarakat yang mengandung kompleksitas sosial yang rumit. Maka tubuh manusia, penuh dengan simbolisme kultural, publik dan privat, positif dan negatif, politik, agama, ekonomi, seksual, moral yang seringkali kontroversial.
Maka, dunia pelacuran, mau tak mau, telah pun “dapat tempat” dalam sejarah peradaban umat manusia di belahan dunia manapun—Terence H. Hull menyebut, bahkan pelacur sebagai profesi tertua di dunia. Dan puisi, yang juga lahir dari rahim sosial itu, dari pergulatan “tubuh sosial” itu, yang juga saya kira merupakan “karya seni” yang tertua, mau tak mau, tentu turut bersinggungan langsung ataupun tak langsung dengan dunia pelacuran.
Dunia pelacur itu, bagi penyair, tentu tak semata jadi sumber inspirasi, tetapi kerap juga menjadi pemantik bangkitnya empati kemanusiaan atas ketidak-adilan yang dialami oleh pelacur—yang memang biasanya dipertentangkan vis-a-vis dengan kekuasaan (politik, ekonomi, agama, sosial). Boleh jadi, Rendra adalah penyair yang termasuk paling lantang dan gigih membela “martabat” para pelacur ini, terutama dalam puisi “Bersatulah Pelacur-pelacur Kota Jakarta.”