Dan ketika Rendra berteriak, “Wahai pelacur-pelacur kota Jakarta/ Sekarang bangkitlah/ Sanggul kembali rambutmu,” ia menyadari betul, bahwa kita hidup di tengah moralitas kita sebagai sebuah bangsa terus dipertanyakan. Ketika, kian kabur pandangan baik-buruk kita terhadap realitas sosial yang terjadi, kian senjang kaya-miskin, kian jauh rasa keadilan. Ketika, “politisi dan pegawai tinggi,” tulis Rendra, “adalah caluk yang rapi/ kongres-kongres dan konferensi/ tak pernah berjalan tanpa kalian.”
Sebagaimana Rendra, Linus Suryadi AG pernah menulis puisi tentang seorang pelacur dari Magdala, bernama Maria Magdalena, dari kota Jerusalem, “Saya, Maria Magda-lena/ lonthe/ Yang dilaknat oleh Hukum Taurat/ yang dihina orang-orang Saduki/ yang digusur orang-orang Farisi/ yang dikeloni oleh kaum pendosa/ tapi tidak berdusta...” Dalam posisi tertentu, agaknya para penyair seolah telah jadi “juru bicara” para pelacur.
Penyair, ada kalanya bersuara sebagai pembela, tapi kadang juga membiarkan para pelacur itu “bicara sendiri” dalam puisi, berteriak sendiri sepuasnya tentang pikiran dan perasaanya, pun perlawanannya. “Aku cuma pelacur yang tak punya surga. kubawa tubuh kemanamana...” tulis Dorothea Rosa Herliany dalam puisi berjudul “Nikah Pelacur Tak Punya Tubuh,” “Aku cuma pelacur yang menawarnawarkan dosa, tapi kusimpan di antara ayatayat yang tak pernah dibaca, yang mencari ladang dan membajak bukitbukit...”
Begitu pula Rendra, ketika bercerita panjang ihwal perjalanan seorang pelacur bernama Maria Zaitun, yang menuju kematiannya dalam puisi “Nyanyian Angsa.” Ia seperti tengah menyuguhkan sebuah paradoks yang kerap melekat pada tubuh, antara: baik-buruk, surga-neraka, hasrat-iman, dosa-doa. Pelacur “yang kurang cantik dan agak tua,” tulis Rendra, yang setelah diusir oleh majikannya karena sakit, karena “kamu tak lagi hasilkan uang, malahan padaku kamu berhutang,” namun setelah ia mati, ia berlari memasuki taman firdaus, “dan kumakan apel sepuasku...”
Surga, dosa, ayat-ayat, Taurat, dusta, Farisi, dan seterusnya, adalah upaya (kembali) berdialog dengan agama, dengan Tuhan. Dialog, yang tak jarang berujung pada “persetubuhan” (para pelacur itu) dengan Tuhan-nya. “Pelacur Para Dewa” misalnya, karya Pranita Dewi, adalah paradoks yang lain, yang kemudian mengingatkan kita pada sebuah buku memoar karya Cal van Ray berjudul God’s Call Girl (Sang Pelacur Tuhan), sebuah kisah nyata perjalanan hidup seorang mantan biarawati yang menjadi PSK.***