Oleh:Khairul Umam
Dia taburkan butiran-butiran garam yang telah diberi doa barokah oleh Kiai Sa’duddin. Dia menaburnya perlahan mengikuti setiap lekuk garis pekarangannya. Senti demi senti, inci demi inci. Dia menaburnya secermat mungkin hingga tidak ada ruang yang tersisa tanpa butiran garam itu. Seperti yang telah dinasihatkan sebelum pulang, setiap menabur biji garam dia harus membayangkan anjing-anjing yang selalu mengganggu tidurnya. Dengan melafal bismillah sefasih mungkin, sambil butir-butir garam itu mengucur perlahan, diingatnya dengan lekat wajah anjing-anjing hitam itu. Ia tidak tampak seperti anjing biasa. Kepalanya bulat hapir menyerupai kepala manusia. Berwajah seperti manusia. Hampir saja dia mengingat wajah itu, namun ketika terbangun, wajah itu seperti menghilang begitu saja. Udara malam yang dingin telah membawanya raib dan entah bersembunyi di mana.
Sudah seminggu ini tidurnya tidak pernah pulas. Anjing-anjing itu selalu datang dan memburunya. Untungnya, hingga detik ini, anjing-anjing itu tidak pernah berhasil meraihnya. Entah sekadar menyentuh apa lagi menggigit. Namun, di tengah malam buta ketika suara kentongan terdengar merintih dan suara burung malam menyanyi perih, dia harus selalu terbangun dengan napas memburu dan dada bergemuruh.
Matanya!
Hanya satu hal yang sempat dan sangat dia ingat. Ya, matanya. Di antara bibir yang terus menganga dengan lidah menjulur-julur dan melelehkan air liur kental berbau busuk, dia sangat hapal terhadap matanya yang merah menyala. Seperti ada kobaran api yang mereka bawa. Mata itu begitu lebar hingga seperti hendak melesat menghunjam tubuhnya yang sudah basah oleh keringat. Di saat itulah dia selalu terbangun dengan setengah berteriak, dada bergemuruh, dan peluh memeluk tubuhnya yang tidak begitu besar.
Sejak kehadiran anjing-anjing yang tidak diundang itu, dia selalu merasa enggan untuk tidur malam. Istrinya hanya terdiam pasrah. Andai saja tidak karena kantuk yang datang menyerang dan membuatnya harus menyerah kepada kekuatannya maka dia lebih suka memilih tidur siang hari.
Sudah berbagai cara dia lakukan sebelum tidur. Bermacam bacaan dia rutinkan, berbagai wiridan dari beberapa kenalannya juga tidak luput dari perhatiannya. Namun, anjing-anjing itu seperti kebal dan masih saja menyalak dengan suara tidak biasa. Salak yang didengarnya tidak sama dengan salak anjing, bukan pula suara hewan-hewan lain yang pernah dia dengar. Salak-salak itu hampir seperti orang merintih namun juga menyerupai orang yang mengeram dendam. Ada aroma bangkai di balik salak-salak yang saling tindih itu. Namun, dia tetap tidak bisa menggambarkan dengan pasti.
“Anjing suruhan.”
Kiai Sa’duddin menatapnya tajam. Dia seperti sedang membaca tanda yang terdapat jauh di dasar sinar matanya yang temaram. Pandangan itu dirasakan seperti sedang mencari hal yang sama sekali tidak dia ketahui.
“Mereka datang untuk mencelakakan dirimu. Anjing-anjing itu jelmaan dari setan yang sengaja dikirim lewat mimpi-mimpi buruk itu.”
“Mengapa harus lewat mimpi, Kiai?”
“Saat manusia tertidur, seluruh pori-pori di tubuhnya mengembang dan menganga. Nah, saat itulah ilmu hitam yang sedang dikirimkan dengan mudah masuk lewat semua lubang yang sedang menganga tadi.”
“Hubungannya dengan mimpi?”
“Saat hendak masuk ke pori-pori ada penolakan dari khadam yang sedang menjaga tubuhmu. Maka terciptalah mimpi buruk seperti yang selalu kau alami.”
Dia kembali termenung. Memikirkan mimpi yang hampir setiap malam menderanya. Dan berakhir bangung dini hari dengan napas terengah dan dada gemuruh dengan peluh mengalir deras ke seluruh tubuh.
“Untung khadam yang ada dalam tubuhmu masih kuat dan kau masih selamat.”
Diam.
“Hati-hatilah. Selalu waspada. Jangan sampai anjing-anjing itu menggigitmu.”
“Saya sudah membaca banyak asma sebelum tidur, Kiai. Bahkan, wudu pun tak pernah lupa. Namun anjing-anjing itu selalu saja memburu dengan liur meneteskan lendir yang beraroma busuk.”
“Nah, khadam dari asma itulah yang sampai saat ini menyelamatkanmu dari serangan binatang jadi-jadian itu.”
“Apakah Kiai bisa menemukan siapa pelakunya?”
Kiai Sa’duddin tersenyum tipis hingga kumisnya yang tidak begitu tebal dan melintang terlihat mengembang dan bibirnya yang lebam oleh rokok terlihat memudar. Dia menekurkan kepalanya ke lantai beberapa lama dengan diiringin beberapa kali anggukan pelan.
“Maaf. Untuk menyebutkan sebuh nama saya tidak berani. Bisa jadi saya salah. Bisa jadi pula saya merusak kehidupan sosial yang ada. Bagaiamanapun, ilmu seperti ini tidak bisa dibuktikan.”