MEMBACA BUKU PAKAN BAROE: NADI SUMATRA YANG TERLUPAKAN 1800-1950 (1)

Ketika Sarjana Teknik Menulis Sejarah Pekanbaru

Seni Budaya | Minggu, 25 Juni 2023 - 11:59 WIB

Ketika Sarjana Teknik Menulis Sejarah Pekanbaru
Bayu Amde Winata memperlihat buku yang ditulisnya di Pekanbaru, Kamis (22/6/2023). (HARY B KORIUN/RIAU POS)

Bayu bekerja keras dalam menulis buku ini. Dia menggunakan biaya pribadi untuk riset dan menerbitkannya, tanpa bantuan dari pemerintah, Riau maupun pusat.


"SAYA lebih asyik membaca arsip-arsip dan menuliskannya menjadi tulisan sejarah ketimbang bekerja dalam bidang yang saya pelajari saat kuliah: teknik sipil…"


RIAUPOS.CO - Bayu Amde Winata bukanlah akademisi yang menghabiskan hidupnya di kampus untuk meneliti dan menuliskan teks-teks sejarah secara akademis. Gelar akademisnya malah tak ada hubungan apa pun deng arsip dan sumber-sumber sejarah. Dia lulusan Teknik Sipil di Fakultas Tekni Universitas Gadjah Mada (UGM). Lulus pada tahun 2010. Namun, setelah itu dia tidak mencari pekerjaan di bidang teknik. Justru dia menjadi jurnalis dan fotografi, yang kelak menuntunnya bertemu arsip-arsip sejarah dan memindahkannya dalam buku setebal 245 + xl. Judulnya: Pakan Baroe: Nadi Sumatra yang Terlupakan (1800-1950).

Buku yang diterbitkan oleh Soega Publishing ini dijual secara indie. Hingga kini sudah terjual lebih 300 eksemplar. Tergolong kecil dalam industri buku. Namun, untuk pasar indie, dengan model penjualan lewat media sosial dan dari mulut ke mulut tanpa display di toko buku, buku Bayu ini lumayan berhasil. Pembelinya adalah orang-orang yang punya minat terhadap sejarah, terutama Riau dan Pekanbaru, yang selama ini tak banyak ditulis.

Penulisan dan penerbitan buku ini memerlukan proses yang lumayan panjang. Bayu berkisah, pada tahun 2020 saat Covid-19 melanda, dia ikut Bimbingan Teknis Penulisan Sejarah yang diadakan Kementerian Pendidikan Kebudayaan Riset dan Teknologi (Kemendikbudristek). Syaratnya harus mengirimkan esai sepanjang 15 halaman yang disertai dengan judul dan sumber yang jelas. Ketika itu dia bingung menentukan judul dan sudut pandang penulisan. Karena aktif di Pekanbaru Heritage Walk sejak 2017, kemudian istri menyarankan kenapa tidak mencoba membuat narasi tentang sejarah Pekanbaru 1800-1950. Akhirnya dia mengambil tema Pekanbaru sebagai pelabuhan dagang penting pada saat itu dengan judul yang kemudian menjadi buku tersebut.

Kemudian esai itu lolos dari 275 orang se-Indonesia yang ikut melamar. Tulisannya masuk dalam 75 naskah yang lolos dan ikut bimtek. Bimtek itu diadakan secara daring karena corona. Selama satu bulan mereka diberi materi oleh beberapa dosen dari Universitas Indonesia (UI). Dari situlah memulai belajar menulis sejarah secara metodologi. Artinya ada struktur dan kaidah keilmuan yang kalau  bicara sejarah, suka tidak suka, hal itu sebagai salah satu acuan. Penulisan sejarah ilmiah.

Di akhir bimtek selama satu bulan itu, oleh para mentor, esai mereka diuji. Dari 15 halaman dinaikkan untuk menulis 35 halaman sesuai sumber dan data acuan yang ada. Mereka juga diuji, salah satu pengujinya Dr Bondan Kanumoyoso, sejarawan UI yang juga Dekan Fakultas Ilmu Budaya (FIB UI).

"Dr Bondan bilang ke saya, ‘Sayang data kamu jika tidak dijadikan buku karena selama ini orang tahu pantai timur itu hanya Aceh, Medan/Deli, dan Palembang’. Dia bilang ada yang hilang, bahwa Pekanbaru memegang peranan pada saat itu. Dari situlah kenapa akhirnya dijadikan buku, karena sayang juga data yang banyak terkumpul itu jika tidak dimatangkan," kata Bayu saat ngobrol dengan Riau Pos, Kamis (22/6/2026) sambil ngopi.

Akhirnya, proses satu tahun penulisan dan satu tahun editing, terbitlah buku. Namun prosesnya panjang karena sang editor, Attayaya Zam dari Dinas Perpustakaan Pekanbaru --yang meskipun bukan full seorang editor, tetapi dia mengerti penulisan secara metodologis— juga  bekerja keras dalam menyunting, akhirnya pada tahun 2022, buku sudah bisa diluncurkan.

Mulai dari mencari data hingga penulisan, Bayu memerlukan waktu dua tahun, 2020-2022. Mencari datanya sekitar 1 tahun. Juli 2020 selesai ujian bimtek, Agustus 2020-Agustus 2021 untuk nyari data dan sudah terkumpul menjadi sebuah draf. Namun karena editornya melihat secara keseluruhan bahwa naskah  kurang menarik dan masih banyak bolongnya, akhirnya dibongkar lagi. Jadi prosesnya bertambah satu tahun lagi karena ada pembongkaran dan tambahan data baru untuk memperkuat data-data untuk diselaraskan sehingga menjadi menarik.

Saat pandemi melanda dunia, hampir semua perpustakaan digital di dunia bisa diakses dengan mudah termasuk perpustakaan di negara-negara Eropa juga sedang lockdown. Dari situlah dia mulai mengumpulkan arsip-arsip, terutama yang berhubungan dengan  Pantai Timur Sumatra dan Semenanjung Malaya,  karena suka tak suka antara Sumatra dan Malaysia itu tak bisa dipisahkan satu sama lainnya, karena sudah terhubung sejak zaman dulu. Arsip digital kebanyakan didapat dari Belanda, Singapura, dan Malaysia. Dari situlah  mulai mengumpulkan sumber-sumber primer yang menjadi pijakan dari buku ini.

Bayu menjelaskan, salah satu rujukannya dalah buku Cristine Dobbin, Kebangkitan Islam dalam Ekonomi Petani yang Sedang Berubah: Sumatra Tengah, 1784-1847 menjadi salah satu pintu masuk penelitiannya. Dalam bab 5 atau 6 buku Dobbin menceritakan perjalanan arus dari pantai barat seperti kopi dan gambir, tidak hanya melewati Padang sebagai pelabuhan utama tapi mereka mencoba lewat Sungai Siak mencoba menuju ke Malaka, Singapura, dan Penang. Dobbin dalam bukunya menjelaskan tentang Perang Padri dan segala akibatnya, tetapi  beberapa narasi di bukunya menceritakan bagaimana arus barang (perdagangan) memiliki kearifan lokal bahwa daripada harus memutar melewati Aceh, mending lewat Sungai Siak yang relatif dalam dan aman dari gelombang Bono. Dari situlah narasi dari buku Dobbin menjadi acuan dalam buku ini juga.

Dalam buku ini, Bayu bicara tentang masa lalu Pekanbaru sebagai pelabuhan penting di Sumatra Timur, tetapi juga menjadi penting bagi pedagang dari Sumatra bagian barat, terutama dari 50 Kota, yang  membawa barang dagangan mereka menuju ke Semenanjung Malaya seperti Penang, Singapura, dan Malaka. Pekanbaru dianggap penting karena berada di pinggir Sungai Siak, memiliki akses ke Taratak Buluh (akses Sungai Kampar), sehingga menjadi titik poin penting yang menghubungkan antara dua wilayah, yaitu Pantai Barat dan Pantai Timur menuju ke Semenanjung Malaya dengan membawa komoditas beragam mulai dari gambir, emas, timah, dan kopi. Dan itu sejak dulu yang dibawa ke Semenanjung Malaya, sampai kemudian Pekanbaru yang kita kenal sekarang menjadi sebuah kota yang sayangnya kita sendiri tidak mengenal sejarah kita, tetapi di sumber dan buku-buku lama menjelaskan peran vitalnya Pekanbaru sebagai jalur perdagangan saat itu.

Pekembangan Pekanbaru sebagai sebuah kota yang multi dalam banyak hal, juga digambarkan meski belum terlalu detil. Menurut Bayu, rencananya di Edisi III  nanti, akan diperkuat lagi karena ketemu beberapa arsip tentang pedagang-pedagang Tionghoa, Bugis, Pantai Barat, dan lainnya, yang tiba di Pekanbaru tahun 1700-an. Mereka membangun sebuah lokus dan itu menjadi titik penting perdagangan dari Pantai Barat menuju Pantai Timur, menuju Semenanjung Malaya.

Menurut Bayu, antara Edisi I dan II ada perbedaan yang membuat buku Edisi I tak jadi dilempar ke pasar. Sebetulnya Edisi I setelah direview ulang kemudian disepakati bersama dengan editor belum layak jadi buku untuk dikonsumai masyarakat. Perlu waktu setahun untuk membaca ulang Edisi I. Sang Editor, Attayaya, bilang bagusnya dirombak lagi agar lebih baik lagi. Maka yang Edisi II inilah yang layak dibaca oleh masyarakat karena sudah dilakukan penambahan data dan perbaikan di sana-sini.


"Nanti Edisi III akan ada penambahan data lagi. Yang sampai ke pembaca yang Edisi II. Yang Edisi I hanya dicetak 8 buku sebagai dummy," ujar Bayu.

Saat proses riset dan penulisan buku ini Bayu berhubungan dengan orang-orang yang punya ilmu sebagai sejarawan, namun tidak banyak. Sebagian besar adalah mereka yang menjadi pembimbing dan pengujinya. Karena fokus buku ini berasal dari studi kearsipan, dia banyak bicara dengan teman-teman dari daerah lain dan pembimbing atau penguji. Mereka hanya menjadi pembanding yang mendukung dan mencari jalan dari mana masuknya data. Tapi dalam proses pembuatan buku, diskusi, terutama  ngobrol sama sejarawan, lumayan intens, terutama dari daerah lain. Tapi tidak ada yang dari Riau.

Alasannya bukan karena tidak ada sejarawan yang mumpuni di Riau. Mungkin karena basic-nya bukan dari akademisi,  jadi ada rasa kurang percaya diri dalam diri Bayu. Takutnya, kata Bayu, mereka nanti bilang, "Ini anak nulisnya bener, nggak?" Sungkan, kalau tak mau disebut minder, karena mereka mungkin punya kesibukan masing-masing yang tak bisa diganggu dan ditinggalkan. Jadi dia tak terlalu banyak ngobrol dengan akademisi sejarah yang ada di Pekanbaru. Juga, karena ini interpretasi arsip, dia banyak ngobrol dengan kawan-kawan di luar Riau. Misalnya, dengan kawan-kawannya di Bangka dia bertanya: "Kalau periodesasi tahun sekian apa yang terjadi di Bangka, atau Kalimantan, dan sebagainya…" (Bersambung)


Laporan HARY B KORIUN, Pekanbaru

 









Tuliskan Komentar anda dari account Facebook