RIAUPOS.CO - PENYAIR Ibrahim Sattah mulai dikenal ketika puisi-puisinya dimuat dalam majalah sastra Horison sekitar tahun 70-an. Kemudian dalam acara Pertemuan Sastrawan Indonesia 1974, dia jadi pusat perhatian karena penampilannya membaca puisi yang unik dan segar. Alhasil karya-karyanya cepat mendapat tempat di hati pecinta sastra. Karya-karya Sattah sendiri banyak mengingatkan orang pada karya-karya Sutardji Calzoum Bachri.
Sattah yang tercatat sebagai anggota Polri ini adalah seorang penyair yang telah mengangkat nama Riau ke jenjang nasional dan internasional. Dia lahir 12 Desember 1945 di Tarempa, Pulau Tujuh (Riau), dan meninggal 19 Januari 1988.
Tahun 1975, Ibrahim Sattah membacakan puisi-puisinya di Den Haag, Belanda. Di musim panas 1976 ia terpilih menjadi peserta Festival Puisi Antar-Bangsa di Rotterdam, mengikuti program ASEAN Poetry Reading International.
Dandandid adalah kumpulan puisinya yang pertama (1975), di antaranya telah diterjemahkan oleh Jan Eijkelboom ke dalam bahasa Belanda dan oleh Sapardi Djoko Damono bersama McGlinn ke dalam bahasa Inggris. Kumpulan puisinya yang berjudul Ibrahim terbit tahun 1980. Kumpulan puisi ini disiapkan dalam perjalanannya ke Semarang, Jogjakarta, Singapura dan Malaysia. Kemudian Haiti kumpulan puisinya yang terakhir terbit pada tahun 1983.
Pada 2006, penerbit Unri Press menerbitkan kembali kumpulan sajak-sajak Dandandid, Ibrahim dan Haiti dalam buku bertajuk Sansauna. Meskipun tidak secara jelas-jelas Sattah menyatakan kembali pada mantera, tapi sumber penciptaannya tidak lain dari kekuatan yang terkandung dalam mantera itu. Menurut pengakuannya (1974), menulis puisi bermula dari ‘’main-main’ dan berakhir dengan tertegun, sebagaimana ia melihat sesuatu dengan kebencian, tetapi berakhir dengan rasa cinta yang mendalam, intens dan akrab. Ia juga mengatakan bahwa menulis puisi memindahkan sesuatu dalam “kata-kata”. Sesuatu yang mungkin tidak mudah dimengerti, dan dengan ‘’kata’’ sesuatu telah terjadi.
Tentang puisi dia berpendapat bahwa puisi tidak hanya sekadar suasana hati, bukan sekadar cangkir untuk menuang sesuatu dalam diri manusia. Dan manusia yang menemukan puisi adalah manusia yang berada paling puncak dari misteri kehidupan itu sendiri. Dengan kata lain, Sattah hendak meninggalkan paham tentang kesadaran antara bentuk dan isi dalam karya puisi.
Di mata keluarga, anak-anaknya, Sattah adalah seorang bapak yang tegas dan keras, disiplin, rapi dan sangat pembersih. Akrab dan humoris dengan anak-anak. Tapi sekaligus sangat ditakuti dan disegani keluarga.