Triani semakin yakin sang bapak tidak mau anak-anaknya menjadi seniman. Keyakinan itu nyata ketika salah seorang kakaknya yang pintar dalam bidang akademis memilih melanjutkan studi bidang sastra. Namun Sattah melarang itu. Triani sejak itu mengira, kengganan Sattah melihat anaknya menjadi seniman karena kegetiran yang dilihatnya pada kehidupan seniman pada masa itu.
‘’Dia lebih bangga pada prestasi akademik kami. Mungkin dia merasakan getir dan sedih nasib sastrawan pada masa itu yang tidak dihargai. Sastra pada masa itu mungkin menurut dia tidak bernilai apa-apa bagi ekonomi,’’ sebutnya.
Triani sendiri sangat berterima kasih kepada Sagang. Karena menurutnya selama ini hanya Sagang-lah yang benar-benar tunak memberikan apresiasi dan mengangkat marwah seniman dan budayawan di Riau.
‘’Salut kepada mereka yang ada di belakang Sagang. Saya berharap Sagang mampu menghidupkan lagi berbagai kegiatan seni dan budaya di Riau. Karena penilaian saya saat ini, dibandingkan dengan pemerintah daerah dulu, pemerintah sekarang lebih sepi kegiatan budaya. Saya berharap Sagang dapat mendorong itu,’’ ujarnya.
Rasa terima kasih juga diucapkan si bungsu Wira Sattah. Penghargaan ini menurutnya merupakan apresiasi atas eksistensi sang bapak. Menurut Wira, Sattah yang merupakan anak jati Anambas, Kepulauan Riau nampaknya belum begitu diakui di tanah kelahirannya. Justru apresiasi itu datang dari Sagang yang notabene dari Riau. Wira menyebutkan, sudah seharusnya sastrawan di daerah ini lebih dikenal di daerahnya masing-masing. Hingga di buku-buku pelajaran di sekolah-sekolah tidak hanya nama-nama seperti Chairul Anwar atau Rendra saja yang dipelajari. Sebagai catatan Rendra adalah salah satu teman dekat Sattah, seperti diutarakan Tien Triani, Rendra pernah menghabiskan waktu di rumahnya semasa sang ayah masih hidup.***