Begitu pula dengan Tien Triani punya cerita pengalaman hidup bersama sang ayah semasa hidup. Dia menilai, seorang Sattah adalah pribadi yang total dalam apa yang ditekuninya. Bertugas sebagai anggota polisi di keseharian juga ikut membentuk pribadinya yang disiplin dan teliti. Sattah, menurut Triani, sangat peka terhadap keadaan sekitar.
‘’Dia sangat teliti dan detail dalam setiap hal. Misalnya kalau kita buka buku dia, tapi tidak terletak pada posisi semula dia akan tahu. Apapun barang-barangnya yang bergerak atau tidak pas pada posisi semula, dia juga akan tahu. Ketelitian dan kedisiplinan sebagai polisinya inilah yang masuk dalam kehidupan berpuisinya,’’ sebut Triani.
Totalitas Sattah juga terlihat dalam setiap usahanya dalam berkarya di bidang sastra, khususnya puisi. Pada suatu ketika, Triani diajak sang bapak untuk jalan-jalan saat pagi Ramadan dari Jalan Kartini ke Tugu Pesawat Terbang, Tugu Zapin sekarang. Sepanjang jalan, kata Triani, sang ayah melakukan olah vokal.
‘’Waktu itu bapak sebagai seorang sastrawan namanya sudah besar. Sudah baca puisi ke mana-mana, sampai ke Rotterdam. Tapi dia masih semangat olah vokal, teriak-teriak sepanjang jalan. Kalau saya waktu itu tidak kenal, bapak pasti saya sangka macam orang gila. Namun itu yang membuat saya kagum,’’ sebut Triani.
Marni menyebutkan, Sattah semasa hidup mencoba membawa anak-anaknya masuk kedunia kesustraan yang ia tekuni. Namun entah mengapa, ketika di antara anak-anaknya ingin serius dan ikut menggelitu dunia itu, justru Sattah melarangnya. Sattah tegas dalam hal ini.
‘’Bapak suka bawa kami ke teater, dibawa pergi mengajar dan banyak aktivitasnya di bidang seni puisi. Seperti dia ingin kami mengenal dan memasuki dunianya. Tapi dia sendiri melarang kami untuk serius di bidang ini. Saya sering ikut lomba puisi dan kadang juara, tapi dia tidak gembira, ‘untuk apa? mau makan apa di sastra,’’ ungkap Triani mengulang kata-kata sang bapak.