Begitu kental aroma tradisi di Desa Cipang Kanan. Segala sesuatu diselesaikan secara adat. Sedang tradisi turun temurun ke banyak zuriat.
(RIAUPOS.CO) - DUSUN Kubang Buaya, Desa Cipang Kanan, Kecamatan Rokan IV Koto, Kabupaten Rokan Hulu, merupakan daerah tertua di Desa Cipang Kanan yang dulunya bernama Koto Melintang. Hingga kini, Kubang Buaya menjadi pusat atau ibu desa dengan aktivitas masyarakatnya yang beragam. Sejarah kemunculan Kubang Buaya juga sangat panjang. Menurut cerita para tokoh Desa Cipang Kanan, Datuk Robinson bergelar Datuk Menaro Sati, menyebutkan, penduduk Kubang Buaya berasal dari Pagaruyung, sekitar abad 17. Waktu itu, ada rombogan satu keluarga yang berjalan kaki dari Lubuk Sikaping kemudian menuju Koto Durian Tinggi, Petok Rao dan Koto Rajo.
Sesampainya di sana tidak ada hutan yang bisa dijadikan tempat tinggal. Di sini mereka meminta gelar. Gelar didapat, tapi tempat duduk tidak ada. Sebagian mereka ada juga yang berada di Soriak lalu menuju Koto Sawah atau Pasaman (disebutkan juga perjalanan mereka bermula dari muara Sungai Sialang menuju Bukit Jambanglobiah, menurun ke pusaran, terus menuju Bukit Gadusimolombu).
Dikabarkan juga, dari Pagaruyung ini ada dua datuk, yakni Datuk Bagindo Sati tinggal di Koto Sawah meski di sana tidak ada tanah. Waktu itu, di tempat ini ada Kerajaan Muara Tais yang dipimpin Sultan Malenggang. Seperti yang diucapkan Datuk Robinson, Bagindo Sati Bilang, ‘’Ikuti Sungai Limako sampai ke Tibawan hingga sampai ke hilir air berpusing, lalu naik ke darat, di sana ada kuburan besar, lalu mulailah berkebun.’’
Setelah ratusan tahun, Raja Rokan yang berkuasa waktu itu mengetahui keberadaan mereka. Diutuslah Dubalang untuk mencari tahu. Mereka dipanggil dan menghadap raja yang dipimpin Datuk Sakti. Diundang juga Datuk Manaro Rokan, Datuk Bendahara Sati Pendalian, Datuk Bendahara Sikebau, Datuk Bendahara Lubuk Bendahara, Datuk Rum Raja Mentawai dan lain-lain. Kepada mereka disampaikan bahwa orang ini dari Pasaman dan dari Rao, datang untuk minta gelar kepada raja. Pengumuman ini disampaikan ketika kenduri dilaksanakan. Maka, waktu itu, rombongan yang dipanggil datang dengan membawa kerbau, emas, bumbu gulai dan perlengkapan untuk makan kenduri.
MENJUNJUNG KAYU: Kaum perempuan di Desa Cipang Kanan memiliki kebiasaan mencari kayu dan membawa kayu itu dengan menjunjungnya di atas kepala.
Sesudah kenduri, lalu dilantik Datuk Sakti oleh raja yang diberi gelar Datuk Bendahara Sati (Menaro Sati). Hutan ulayat yang diberikan kepadanya dari Gadusimolombu sampai turun ke bawah Muara Gagak, lalu menuju pematang Bukit Ular Tidur sampai Bukit Kumba, turun ke bawah sampai Toreh Tounjam sampai ke mudik ke Lubuk Sarang Tapah lurus ke Bukit Lumping turun Sungai Pegadis. Sepanjang Sungai Pegadis bermuara ke Sungai Tibawan terus ke Sungai Sialang menuju Bukit Jambanglobiah kemudian ke Gadusimolombu. Kawasan inilah yang disebut dengan Cipang Kanan. Sedangkan Datuk Rum (Raja Mentawai) yang juga diundang dengan tanah ulayatnya di sepanjang Sungai Mentawai diubah menjadi Cipang Kiri.
Koto Melintang sendiri diambil dari nama Datuk Melintang bergelar Datuk Bendaharo Sati orang petama yang membuka kebun di Kubang Buaya. Istrinya bernama Maripah. Waktu itu Maripah menangguk ikan di Sungai Tibawan, tapi dapat anak buaya. Lalu dibawa ke rumah dan diternakkan dalam botol. Makin lama makin besar, lalu diletakkan dalam baskom. Semakin besar lagi dan diletakkan dalam kancah (kuali besar). Mimpilah Maripah bahwa anak buaya itu minta dipindahkan ke Lubuk Batu Sungai Tibawan dan diberi tanda kalung ijuk di lehernya. Lalu ia dipindahkan ke lubuk tersebut. Dalam mimpi itu disebutkan, jangan sekali-kali mencuci kunyit di Sungai Tibawan karena mata buaya itu akan perih. Kalau menambatkan rakit dari bambu, talinya juga jangan dibuat dari ijuk.
Sejak itulah, nama Koto Melintang diubah menjadi Kubang Buaya. Sesudah buaya besar tak mungkin berdiam di lubuk sebab kepala dan ekor sudah panjang, memenuhi sungai dari seberang hingga seberang sebarang. Lalu pindah ke muaro sako tempat pertemuan Sungai Rokan Kiri dan Rokan Kanan. Kemudian Maripah bermimpi lagi. Dalam mimpi itu buaya berkata, ’’Kalau melihatku, taburkan beras kuning dan yang menaburkan harus asli orang Kubang Buaya.’’
Waktu terus berjalan, Kubang Buaya terus berkembang, Desa Cipang Kanan juga semakin banyak penduduknya. Lalu lahirlah undang-undang desa Nomor 5 tahun 1969 tentang pemekaran desa dan Desa Kubangan Buaya diubah menjadi Dusun Kubang Buaya. Selain Dusun Kubang Buaya juga ada Dusun Kersik Putih dan Kampung Batas. Penduduk Dusun Kampung Batas ini berasal dari Kubang Buaya yang membuat kebun di sana. Tiga dusun inilah sekarang yang menjadi daerah di Desa Cipang Kanan.
Cipang Kiri awalnya bernama Tjipangkiri yang merupakan wilayah Datuk Rum atau Raja Mentawai. Sedang wilayah Datuk Menaro Sati diberi nama Tjpangkanan. Setelah itu menjadi wali negri Tjipang Kanan dan Tjipang Kiri. Setelah itu berubah menjadi Desa Cipang Kanan dan Cipang Kiri sesuai dengan undang-undang tentang desa Nomor 5 tahun 1969, sampai sekarang. Baru tahun 2000 Cipang Kanan mekar menjadi dua yakni dengan Desa Tibawan. Di Kersik Puttih juga ada satu datuk bergelar Datuk Kali Sati yang ditanam (diberikan) oleh Datuk Menaro Sati Kubang Buaya.
Kepala Desa (Kades) Cipang Kanan, Abadi, menyebutkan, luas wilayah Cipang Kanan 12.052, dengan jumlah Kepala Keluarga (KK) 439 atau 1.505 jiwa per Januari 2018. Di desa juga dilengkapi dengan berbagai fasilitas pelayanan masyarakat seperti pusksmas (1 unit), SD (3 unit), SMP (1 unit) TK (3 unit) dan PAUD (3 unit). Berbagai fasilitas umum berada di tiga dusun yakni, Dusun Kubang Buaya, Kersik Putih dan Kampung Batas. Dari tahun ke tahun fasilitas umum baik bidang pendidikan, kesehatan, listrik mau pun yang lainnya juga mengalami peningkatan.
Ada banyak suku di Desa Cipang Kanan. Di Dusun Kubang Buaya ada Suku Pangkut, Melayu dan Paduko Majo Lelo. Di Dusun Kersik Putih ada suku Kandang Kopuah dan Melayu. Sedangkan di Dusun Kampung Batas ada Suku Melayu, Pungkut, Pitopang dan Mandailing.
Di Desa Cipang Kanan belum semua jalan diaspal. Sementara panjang jalan yang ada di desa ini 14,3 kilometer. Sebagian jalan ada yang aspal, pengerasan, dan sebagian yang lain masih jalan tanah. Sangat buruk. Rusak. Jika hujan sulit dilewati. Panjang jalan parah ini berada di Dusun Kampung Batas dengan panjang sekitar 3 kilometer. Padahal jalan ini menghubungkan langsung dengan Kecamatan Rao, tepatnya Desa Rumbai, Provinsi Sumatera Barat. Antara keduanya dibatasi oleh Sungai Gagak dengan jembatan aspal berpagar besi yang melintas di atasnya. Sangat nampak perbedaan Antara Kampung Batas dengan Desa Rumbai, karena begitu masuk Desa Rumbai, akan langsung ditemui jalan aspal mulus.
Penghasilan penduduk masyarakat Cipang Kanan 90 persen karet, 2 persen sawit dan selebihnya bermacam-macam. Ada pedagang, karyawan, guru atau PNS. Desa ini pula dibelah oleh banyak sungai. Di antaranya Sungai Tibawan, Pegadis, Kersik Putih, Limako, Golopuoog dan Sei Laut. Berbagai tradisi masih terawat dengan baik. Seperti Lubuk Larangan, Semah Rantau, Turun mandi dan lain sebagainya. Tak heran jika desa ini juga dikenal dengan desa adat, Kubang Buaya bukan kubang biasa.***
Laporan KUNNI MASROHANTI, Rohul