Salmah Creative Writing didirikan dari kerisauan-kerisauan karena kurang berkembangnya literasi di kalangan dunia pendidikan, terutama bidang penulisan sastra. Semua digali dari potensi yang paling kecil.
RIAUPOS.CO - ZUHUR baru saja berlalu ketika dia tiba di sebuah kedai kopi di kawasan Jl Arifin Ahmad, Pekanbaru, yang padat, Rabu (17/5/2023). Siti Salmah datang sendirian sambil menenteng laptop yang katanya belum sempat dimatikannya ketika berangkat untuk janji wawancara ini. Dia tampil bersahaja dengan dress dominan warna krim, juga hijab yang dikenakannya.
Dia lalu bercerita bahwa Salmah Creative Writing (SCW) yang didirikannya sebenarnya masih seumur jagung. Sejak 2019, ketika Covid-19 datang, dia memutuskan diri keluar dari zona nyaman, dari pekerjaannya sebagai seorang guru yang mengajar di sebuah sekolah. Sebab di saat itu, dengan sistem pengajaran daring, tak banyak yang bisa dilakukannya selain berada di rumah. Bekal dia mendirikan SCW adalah jaringan yang sudah dibangunnya dengan banyak guru yang kebanyakan memang ingin belajar menulis. Genre apa saja. SCW punya beberapa lini. Ada rumah baca, komunitas literasi, namun lebih banyak bergerak di sastra anak. Belakangan dia mendirikan penerbitan, Salmah Publishing, yang lumayan mendapat banyak respon dari teman-temannya yang ingin menerbitkan buku.
Kenapa di sastra anak yang menjadi salah satu fokus saya? Berawal ketika saya menjadi guru sejak 2006, menemukan fakta banyaknya guru yang tidak mampu menulis. Jangankan menulis, mengajarkan siswanya untuk menulis bahan cerita, baik itu puisi untuk dilombakan pada kegiatan FLS2N, banyak yang kesulitan,” terang ibu dua anak ini.
Kondisi itulah yang membuat setiap tahun, ketika Festival dan Lomba Seni Siswa Nasional (FLS2N) tingkat Pekanbaru atau Riau, yang muncul sebagai pemenbang itu-itu saja. Tanpa bermaksud sombong, kata Salmah, setiap tahun yang menang banyak anak didiknya di beberapa sekolah, kemudian ada beberapa sekolah yang dipegang oleh seniman-seniman. Bermula dari kerisauan-kerisauan itu itulah dia mendirikan SCW.
Fokus SCW adalah pada pembinaan minat dan bakat. Pembinaan kepenulisan yang ditargetkan ke guru-guru dulu. Karena, kalau langsung ke siswa, setelah dia tamat, selesai. Tapi kalau yang dibina itu guru, mereka akan bertahan lama di sekolahnya sampai pensiun. Dan lumbung-lumbung literasi itu masih terus berlanjut. Guru-guru tersebutlah yang memberikan materi selanjutnya ke siswa. Dan dia juga membawa seniman lain ikut turun untuk menghaluskan karya-karya siswa yang diajar oleh guru-guru tersebut.
Kemudian, dia dan SCW terus melakukan pembinaan-pembinaan literasi secara luas, karena literasi bukan hanya baca-tulis, tetapi pembinaan yang lain. Misalnya mengajari baca puisi, mendongeng, baca syair, juga menulis dan membaca cerita anak. Kemudian ada teater anak, kepenulisan prosa (cerpen), serta orientasi minat dan bakat lainnya.
Banyak yang dia libatkan dalam proses ini Ada guru-guru, ada dosen, sastrawan, budayawan, seniman. Mereka antara lain Bambang Karyawan, Kunni Masrohanti, Murparsaulian, Rian Harahap, dll. Dari internal SCW (kepengurusan), selain dia sendiri, ada guru-guru penggera seperti Ami Andriani, Desrianti, Amelia, dan yang lainnya. Dalam kepengurusan SCW, ada nama Banmbang Karyawan, Taufik Ikram Jamil, Kunni, dan Murparsaulian sebagai penasihat.
“Apa pun yang kami lakukan selalu konsultasi dengan mereka. Target kami adalah mengupayakan menghaluskan akal budi dan meningkatkan indeks literasi Riau,” ungkap Salmah.
Di SCW, dia selalu membuat kegiatan, baik itu diskusi, bedah buku, workshop, nonton film, dan kegiatan lainnya. Hal ini mendapat respon positif dari anggota maupun di luar anggota. Mereka datang tidak hanya dari Pekanbaru, tetapi juga dari kabupaten, seperti dari Kampar. Mereka antusias mengikutinya karena pada dasarnya mereka yang ikut kegiatan-kegiatan itu adalah yang memang haus ilmu pengetahuan apa saja.
Untuk minat dan bakat fokusnya anak-anak. Untuk kepenulisan lebih ke orang dewasa, banyak guru. Rata-rata yang bergabung dengan SCW adalah penulis-penulis pemula yang dibina dari nol. Jika nanti dia sudah mampu, boleh keluar, boleh juga tetap berada dalam komunitas. SCW memberi peluang kepada anggotanya yang sudah memiliki kemampuan untuk menebarkan sayap mereka keluar.
Untuk hasil akhirnya dari apa yang dilakukan adalah mereka bisa menghasilkan berkarya sesuai minatnya. Saat ini, hasil dari kegiatan tersebut, sedang memproses penerbita buku puisi, dan yang sedang dipersiapkan juga buku cerita anak. Untuk buku cerita anak, dia berharap, kegiatan-kegiatan tersebut berdampak pada anak didik, agar lebih banyak lagi cerita anak yang terbit sebagai bahan bacaan.
Salmah mengaku, tidak mudah membantu para guru untuk menulis. Butuh kesabaran yan luar biasa. Banyak yang usianya lebih tua dari dia, tetapi tetap ingin belajar. Memang kadang seperti menatang minyak yang penuh, harus berhati-hati agar tak sampai tumpah. Harus pandai-pandai menjaga perasaan mereka. Namun sejauh ini dia dan timnya masih bisa berkolaborasi. Kegiatan-kegiatan juga harus disesuaikan dengan kegiatan mereka. Kalau mereka punya buku, didulukan bedah buku mereka agar tetap terjaga semangatnya.
“Saya punya harapan tinggi kepada teman-teman guru yang terlibat di komunitas ini. Artinya mereka harus mampu mentransfer ilmu yang sudah diberikan, kalau bisa lebih malah lebih baik. Sehingga ilmu yang mereka dapatkan tidak berhenti pada mereka sendiri,” tambah Salmah.
***
SELAIN guru-guru, ada mahasiswa, ibu rumah tangga, siswa, dan yang lainnya yang ikut di SCW. Awalnya, motivasi mereka ingin menulis saja. Yang pasti rata-rata mereka menyukai sastra, karena kegiatan SCW lebih banyak di sastra. Misalnya ada yang ingin baca puisinya bagus, bisa menulis puisi, dll. Untuk menambah wawasan mereka agar tak mentok, SCW mendatangkan mentor yang mumpuni di bidangnya. Misalnya pernah mengundang Prof Yusmar Yusuf.
Mereka kemudian diberi penugasan-penugasan sesuai bidang yang mereka inginkan dan dalami. SCW sendiri punya punya web. Untuk tahap awal, misalnya setiap hari harus menulis puisi, pantun, dan lainnya. Kemudian para mentor selalu share banyak artikel, misalnya pendidikan, sastra, dan lainnya, yang berkaitan dengan dunia mereka, supaya mereka membaca dan mempelajarinya. Kemudian ada dari mereka yang menulis dari hasil belajar tersebut, dibaca mentor, dan kalau layak kemudian siarkan di web. Kata Salmah, tidak serta-merta yang masuk dalam grup dimuat, tetap diseleksi dan kurasi.
Prosesnya dari hal kecil dan sederhana itu. Harapannya ke depan mereka terus belajar dan mampu menulis untuk media arus utama. Saat ini ada beberapa yang sudah menulis ke media massa seperti Riau Pos. Salah satunya Siti Zulaika, seorang guru, yang menulis artikel berkaitan dengan pendidikan.
“Kami selalu support mereka dan terus bertanya, passion-nya di mana. Yang puisi diajari puisi, yang cerpen atau novel tetap diarahkan dan dicarikan mentor atau editor yang benar-benar paham tentang itu,” ujarnya lagi.
Dalam bidang penerbitan buku lewat Penerbit Salmah Publishing, Salmah bersyukur sampai sejauh ini perkembangannya bagus, meski sebenarnya tak ada target, hanya mengalir begitu saja. Bahkan ada beberapa universitas yang kerja sama, meski tak ada yang MoU atau tertulis. Juga para dosennya, seperti dari UIN Suska, Universitas Bengkulu. Dia juga punya agen atau manajer di berbagai daerah seperti di Lampung, Banjarmasin, atau Padang. Mereka ikut membantu menjembatani kalau ada pihak yang ingin menerbitkan buku.
Salmah terjun ke penerbitan berawal saat melakukan pendampingan menulis. Kemudian dia berpikir, mau dikemanakan karya-karya mereka setelah jadi. Karena, kalau dilempar ke penerbit besar, pasti tak masuk hitungan mereka. Pasti dianggap karya receh. Namun bagi dia, tak ada karya yang receh. Setiap karya pasti ada pembacanya. Kalau karya gurunya pasti dibaca oleh anak-anak didiknya. Anak didik punya karya pasti dibaca teman-temannya.
Kadang dia menemukan ada penulis yang ingin menerbitkan buku, tetapi belum punya karya, dan juga belum tahu akan menulis apaa. Kemudian mereka diarahkan, dibantu dikeluarkan kemampuannya di bidang apa. Lalu dilakukan pembinaan, termasuk menyediakan editor untuk karya mereka. Karena banyak pemula, semua berproses dari bawah. Kalau pembinaan di sekolah, untuk kepenulisan, itu bisa tujuh bulan sampai setahunan. Nggak langsung sekali dua kali pertemuan langsung jadi. Untuk yang seperti itu, kata Salmah, dia belum bicara kualitas dulu, tetapi yang penting karyanya jadi dulu. Dia yakin, kalau dibaca oleh penulis besar, ya belum mumpuni, dan pasti dianggap karya nggak jelas. Tetapi jika karya itu mampu mengangkat semangat teman-teman untuk menulis, menurut dia, itu sebuah prestasi yang luar biasa.
Untuk karya-karya seperti ini, memang buku yang dicetak tidak banyak, tetapi biasanya di angka 50 eksemplar. Biasanya mereka cetak ulang 2-3 kali karena kalau guru, murid-muridnya yang beli. Kalau siswa, teman-temannya yang beli. Mereka saling memberi dukungan dengan membeli karya.
Selama ini SCW membangun jaringan dengan banyak pihak, baik dalam pelatihan-pelatihan menulis, literasi, termasuk juga penerbitan. Sering dengan Perpustakaan Soeman Hs (provinsi), Perpustakaan Tenas Effendi (Kota Pekanbaru), dengan teman-teman lintas komunitas, pegiat literasi, kampus, dan yang lainnya. Salmah mengaku semua bermodal pertemanan. Dia juga bersyukur karena banyak pihak yang kini sudah mengenal dirinya sebagai seorang penerbit.
Saat ini, SCW sedang bekerja sama dengan Perpustakaan Nasional (Perpusnas) dalam bidang Inkubator Literasi. SCW sebagai pelaksana untuk lomba esai konten kebudayaan lokal Riau berbasis ekonomi kreatif. Bagaimana kegiatan kebudayaan itu bisa meningkatkan ekonomi kreatif. Pembiayaan untuk juri dan hadiah semua dari Perpusnas. Yang sedang diusahakan sekarang adalah workshop luring.
“Alhamdulillah, ini juga hasil dari upaya bersinergi dengan berbagai pihak yang tak kenal lelah,” jelas alumni UIN Suska Riau ini.
Mengaku sudah menyukai seni sejak SD, Salmah masuk kuliah di UIN Suska pada 2002. Saat itu juga dia masuk Sanggar Latah Tuah binaan almarhum SPN GP Ade Darmawi. Di sana dia berproses dalam seni peran dan penulisan naskah. Sejak 2006 dia sudah melakukan pendampingan ke sekolah-sekolah. Melatih anak baca dan nulis puisi, melatih guru-gurunya juga.
Sebagai seorang penyair, Salmah pernah mengikuti beberapa kegiatan, baik festival sastra maupun panggung puisi. Misalnya pernah ikut Festival Sastra Gunung Bintan yang diinisiasi Rida K Liamsi, Festival Puisi Tegal Mas Lampung, Festival Sastra Tuanku Imam Bonjol di Bonjol (Pasaman, Sumatra Barat), Festival Sastra di Riau, Festival Sastra Asia Tenggara di Padangpanjang, Payakumbuh Literary Festival, Festival Sastra Banjarbaru, dll.
“Dari berbagai pertemuan sastra tersebut, saya didapatkan banyak hal. Salah satunya ilmu baru. Kemudian relasi, persahabatan, dan saudara baru. Pengalaman itulah yang membuat dia terus berkembang. Itu membangun kepercayaan diri dan jam terbang saya,” jelas Salmah mengakhiri.***
Laporan HARY B KORIUN, Pekanbaru