Kematian Laut
Bagaimana rasanya asin dan rasanya terbang di atas permukaan. Ke mana arah mercusuar atau tubuh payah memendam pasir. Siapakah tahu surga ada di mana, matahari panas dan bulan dingin sempoyongan, rindu buta masa silamku memeras? Atau kapan mata angin pulang tabah melepas punggung legam (sebab karang terumbu, sirip ikan hiu memotong bunga padi). Siapakah tahu neraka ada di dalamnya, terdapat kanjut pisang dan sebatang bambu apabila paham birunya langit. Mungkinkah ini hidup tenang setangkai mawar seperti rajungan dan caladi batu?
Oh tolong hentikan kebenaran dunia.
2014
Melihatku
Hidup dengan cinta seperti ini adalah kemboja. Maka hidup dengan kesakitan adalah kamelia. Meski aku hanyalah kekosongan. Tolong jangan beri aku kusuma. Aku muak, pada cinta begini hidup dari satu luka. Atau hidup akan kutegak dari nadiku terdapat cemara, biota laut serta muka purnama. Aku muak pada cinta begini. Pada hari, pada kasuari. Terbang aku dan jangan lagi menjelma kuning belati. Mengerti? Karena aku bertanya = aku selipkan satu jendela. Matahari, pelangi adalah peristiwa gelap yang masuk pada jati. Di sini, di dalam puisi.
2014
Belati
Hidup yang tumbuh dari sebuah perayaan. Kedalam tubuh ialah bermata kaki, barangkali batu. Dan mati dari satu keadaan ialah peristiwa yang payah, barangkali meledak dari sanubari batu menjadi perayaan-perayaan. Sebagai kaki, tubuh biru-laut yang melihat dengan cuaca menjadi hidup. Pada bongkahan melintas kedalaman halmahera dan kemarau terpanjang. Sebagai kaki yang patah. Sebagai ekor-hitam terkadang. Barangkali hidup yang tumbuh suatu kali enggan pulang di balik matahari serupa tanah tertua dan tak lagi ragu.
Yaitu aku dan kamu kerap dibunuh dan inginkannya lagi.
2014