Sumsum Jantan
Aku tidak punya hujan, dalam tubuhku hujan
tidak berkembang. Aku muntah satu guci darah.
Luka tidak pernah hilang dalam tubuhku. Lalu
aku teriak pada langit, langit menjilat kupingku
dari sebuah menara. Hujan turun adalah darah,
langit (menara tidak ikut mencintaiku.) Sebagai
laki-laki aku sering pergi, sebagai cuaca bulan
mencintai adalah cara menyenangkan. Seiring
waktu, aku melihat rembulan. Cinta tak mudah
dipahami dari pusar kuda. Aku minum, puting
kuda dan darah tidak mencuri guci darah batu.
Keras dari satu sisi luka. Ataukah cinta sekeras
batu ? Hujan dan cinta ? Aku dan hujan seperti
batu ? Kasih sejati dari sebuah menara, berteriak
sekuntum kembang tidak punya hujan dan aku.
Aku berpikir bahwa Tuhan mungkin setinggi itu.
Terbang dari dua sisi gunung dan sungai-sungai
tahu kemana aku tiada. Aku inginkan rembulan
sebab aku mungkin tiada. Menari-nari, berjalan
pada kepastian yang bukan milikku kembali.
Apakah aku akan berakhir dan terlahir? Hujan
(akan mengajariku tumbuh perlahan.) Punggung
yang bertahan dari debu di atas kaki berjalan aku.
Aku tidak punya, dalam tubuhku tidak mudah
dipahami bernama pusar kuda menjilat lagi.
2014
Ibu
Darah dagingmu lepaskan seribu
tahun, menari terpana pada lautan.
Hanya akan dipersembahkan pada
wajahnya saja. Daun dari matahari
ini, betina yang menari pada airmata.
Sedangkan perhatianmu ditinggalkan
yang menanti. Maka berjalan jadi
tanah jadi menara-jadi apa yang
kamu inginkan. Kamu jadi terbiasa
untuk tidak berkata sepi untuk yang
akan hilang dan merasa menang
pada malam.
2014
Ziarah
Segalanya telah menjadi doa
bagi setiap perjumpaan dengan
teriakan ringkik punggung
penziarah. Seolah setiap langkah
menjadi jejak nubuat. Langit
berbekas kepanikan ruh dari
apa yang kita rumuskan pada
pertanyaan. Karena jalan dan
bunyi telah ditanamkan dalam
tubuh kita.
2012