Arnold van Gennep, tak lebih dari sebuah nama. Ya, hanya sebuah nama. Tapi, di belakang nama ini terpelanting beberapa pendaman menghunjam yang selama ini senyap dan misteri. Gennep membongkar, lalu mendedahkannya kepada dunia; tentang pasase dan rangkaian inisiasi (upacara) yang menyertainya dalam tahap-tahap transisi kehidupan manusia di muka bumi. Upacara ini seakan gerak siklik yang hampir berlaku secara universal. Dan itulah yang dikenal sebagai “rite de passage” (ritus-ritus masa transisi kehidupan).
Sastra amat lemak
menggauli wilayah transisional ini. Sastra amat cerdik dan lihai
mengolah arena ini. Karena di sini ada serangkaian upacara,
prinsip-prinsip dramaturgi, ada teater kehidupan yang dijalankan secara
alami oleh setiap suku bangsa atau etnik apa pun di muka bumi. Di sini,
terhidang kekuatan ‘sastra lisan’ (bisa dalam bentuk mantra atau doa,
cuca dan wafak suara). Pasase ini mengalami ‘pensucian’ ketika disauk
oleh peristiwa gereja, dilaksanakan dalam kenduri berbasis Islam,
dikemudikan oleh seorang resi di sebuah biara, seorang rabi dalam
sinagoge, di kuil dan di tapak-tapak suci (bisa sungai dan rendamannya);
bisa pula laut nan bergolak. Dan inilah yang dimaksud sebagai ‘wilayah
kritis’ (critical area) dalam fase-fase kehidupan manusia.
Persamaannya dalam garis waktu adalah maghrib sebagai wilayah transisi
dari siang ke malam hari. Atau saat fajar (dari gelap ke benderang
siang). Sastra tinggi dan kuat, terlahir dari wilayah-wilayah
“transisional” ini. Sebuah wilayah yang bergolak, tak rendam-perbani.
Ritual
transisi adalah ritual yang dijalani anak manusia untuk meninggalkan
situasi yang lama, dan masuk dalam situasi yang baru (serba baru). Ada
ritual setelah kelahiran (aqiqah, baptis dan pemberkatan air suci dalam
tradisi agama-agama). Diikuti dengan pengguntingan rambut atau cukur.
Ini sebagai penanda kesiapan bayi masuk dalam kehidupan sosial setelah
kelahiran. Selanjutnya, masa transisi dari kanak-kanak ke masa pubertas
(akil baligh). Ritual perkawinan (pernikahan); pada saat itu baik pria
muda dan remaja puteri hilang dari bursa jodoh. Membangun unit sosial
mungil dalam buana sosial bernama keluarga. Pada sistem patrilineal,
mempelai wanita malah berganti marga, masuk dalam klan kaum pihak suami.
Selanjutnya ada lagi ritual pemakaman; transisi dari kehidupan “maya”
di dunia ini untuk masuk ke alam barzakh (alam antara). Wah…. Sastra
mendatanginya dengan lemak, lewat sajak, cerpen, lewat cerbung atau
malah novel, roman, naskah drama dan seterusnya. Juga dilambung dan
hayun lewat seloka, talibun, pantun dan gurindam. Sastra memahkotakan
diri di atas fase-fase itu. Bak rajawali, namun tetap dalam misi burung
dara (pasifis). Karena pada setiap pasase transisional ini ada cinta.
Sastra adalah medianya cinta.
Ritual transisi di seluruh
dunia mengikuti pola yang sama. Tahap pertama, ritual ‘perpisahan’.
Ritual ini memikul tugas untuk memisahkan orang yang bersangkutan dengan
kehidupan lamanya secara simbolik (dalam bentuk bercukur dan pemotongan
rambut). Ada pula lewat pemukulan dan penyiksaan jasmani; sebagaimana
dulu para pelaut dan bangsawan Bugis membawa si bayi berlayar ke tengah
laut menggunakan perahu kecil. Setiba di tengah laut, lalu melemparkan
bayi itu ke tengah gelombang atau sekedar dicelupkan ke permukaan laut.
Wah… teringat nama Arenawati dengan memoir Enda Gulingko (1991). Bayi,
mengalami “kematian simbolis”. Masa aqiqah, juga biasa pula muncul
kejadian si bayi menangis keras, menjerit kuat tanpa dikasi asi dalam
beberapa menit selama penabalan nama; juga mengalami “kematian
simbolis”. Sebuah kematian yang memisahkan alam lama dengan alam baru
yang akan disongsong.
Dalam permandian Katholik, seorang bayi
pada masa lalu sengaja direndam kepalanya beberapa saat dalam bak mandi,
sehingga nafas terhenti beberapa jenak. Ihwal ini juga menggambarkan
kematian sekilas. Seorang pendeta yang ditahbis, juga harus menjalani
“diam” beberapa menit di depan altar. Juga simbol kematian untuk
memasuki alam yang baru. Dulu, dan dulu lagi, seorang tua bernama
Zakaria (Zacarias; pamanda Siti Maryam @Maria), mengalami “kematian
lidah”, tak bisa bertutur beberapa hari; juga sebagai penanda
transisional bakal dianugerahkan seorang bayi bernama Yahya (Yohanes
sang pembatis dalam tradisi Kristen). Dialah Nabi Zakaria yang renta,
(mengulang kisah Ibrahim dan Sarah yang renta mendapat hadiah anak
bernama Ishaq), lalu dianugerahkan seorang bayi di usia senja, bernama
Yahya. Dan Yahya (Yohanes) inilah yang dalam kepercayaan Kristen yang
memandikan Yesus (Nabi Isa) di sungai Yordan. Ihwal ini, juga
mendedahkan silhouette panjang tentang “kematian simbolik” itu. Inilah
fase yang dikenal sebagai fase liminal. Seseorang dianggap maut (mati)
secara simbolis. Terasa kejam? Wah sifatnya hanya sementara. Jelang
menjalani fase normal dalam dunia dan alam yang baru.
Ada
pula ritual yang berpembawaan memandu. Seseorang dengan sadar dipandu
untuk memasuki kehidupan yang baru. Kenduri pernikahan, dilaksanakan
dalam beberapa hari dengan maksud untuk memandu pasangan baru menakhodai
bahtera perkawinan di samudera maha luas dan tak bertepi. Walau
terkesan menghambur-hambur biaya, namun ini hal ini masih dilakukan.
Demi sebuah pemanduan transisional. Dulu upacara itu memakan waktu
hampir satu minggu. Kini dipersingkat jadi dua hari. Sebab, orang-orang
kaya Eropa juga mengalami ugahari atas simpanan dan tabungan mereka yang
akan goyang di Bank. Apatah lagi kita di dunia ketiga ini. Namun,
sastra bisa mendatangi kisah dan ihwal pesta perkawinan ini sebagai
gejala kematian bank, fenomena kewafatan harta orang tua yang mengawini
anak. Apakah ini masuk dalam kematian simbolis? Terserah Anda
mengolahnya. Dulu kenduri nikah-kawin, sekarang berubah sontak menjadi
pesta perkawinan. Dilaksanakan di hotel-hotel bintang. Mengambil sebuah
ballroom yang biasa dipakai untuk sebuah seminar internasional dan
konferensi tentang keuangan dunia. Apakah liminal sastrawi? Jilat dan
jelajahlah!!!***