PAMERAN SENI RUPA "JEDA" GALERI HANG NADIM

Memaknai Waktu yang Multitafsir

Seni Budaya | Minggu, 20 November 2022 - 12:48 WIB

Memaknai Waktu yang Multitafsir
Sebuah mural berjudul Elephant in Trap di tangga menuju lantai dua Galeri Hang Nadim yang menjadi salah satu karya yang dipamerkan dalam Pameran Seni Rupa “Jeda” di Pekanbaru, Rabu (17/11/2022). (HARY B KORIUN/RIAU POS)

Galeri Hang Nadim kembali menggelar pameran. Banyak seniman muda yang ambil bagian dalam helat ini, yang menjadi salah satu barometer dan visi mereka dalam berkarya.

RIAUPOS.CO - ADA yang terasa unik saat kita sampai di depan Galeri Hang Nadim (GHN), yakni di Anjungan Kampar di kawasan Bandar Serai, Purna MTQ, Pekanbaru. Di tangga menuju ruang pameran, ada mural gajah yang terlihat mencolok kalau kita melihatnya dari bawah. Mural berjudul Elephant in Trap berukuran 480 cm x 750 cm x 90 cm ini dibuat oleh kelompok Muralist & Grafiti Artist yang terdiri dari Salman, Sigit, Bom Bom, Rads, dan Akil.


Lukisan mural ini seperti ucapan selamat datang kepada para pengungjung Pameran Seni Rupa GHN bertajuk “Jeda” yang berlangsung 12-30 November 2022. Ini adalah pameran kesekian yang dilakukan GHN. Pada akhir September 2022 lalu –yang kemudian diperpanjang hingga awal Oktober—GHN juga menyelenggarakan pameran serupa bertajuk “Ketidakseimbangan”. Jarak waktu yang tak terlalu jauh dalam menyelenggarakan pameran ini merupakan salah satu gebrakan positif bagi dunia seni rupa Riau. Masyarakat pecinta seni rupa “dicekoki” dengan karya-karya baru dalam pameran yang berdekatan.

Kepala Galeri Hang Nadim, Furqon Elwe, saat pembukaan pameran, Sabtu (12/11/2022), menjelaskan, posisi GHN dalam ekosistem seni rupa Riau yang dianalogikannya sebagai sebuah rumah besar. Sebagai siapa, di kamar mana, dan apa saja yang telah dibuat GHN di rumah besar tersebut? Dijelaskan Furqon, sejak awal berdiri pada tahun 2020 GHN sudah menaja tujuh iven pameran.

Kata dia, dengan waktu sesingkat itu, GHN hanya berani memposisikan diri sebagai “si orang rumah” yang daur kerjanya di dapur untuk memasak hidangan seni. GHN masih memerlukan dukungan dari keluarga lainnya untuk bisa berproduksi (di kamar/kasur) dan berani membersihkan (di sumur). Sehingga akhirnya berperan membangun ekosistem seni rupa Riau yang ideal. Pada pameran “Jeda” ini, “si orang rumah” menyajikan pameran yang diolah dari bahan baku terbaik yang dihasilkan oleh para perupa yang berpameran.  

“Kami menganalogikan para perupa tersebut sebagai petani, nelayan, dan peternak yang menghasilkan padi, sayur, buah, ikan, dan daging terbaik yang kami olah menjadi sajian pada pameran ini,” papar Furqon.  

Para perupa tersebut adalah Acong, Afrian, Akil aka QM07, Alza Adrizon, Bella Olivia, Bom Bom/Bless Studio, Biro Visual Artistik, Evelyn Stevie, Jati Wahyono, Junaidi, Jefri Rahmat, Raihan Geraldi, Rads, Rizqon Khoir, Salman/Gerik Jari, Sigit/Bless Studio, Simo, Tasya Shafira, dan Zul Amri. Furqon juga menyampaikan bahwa GHN menaja kegiatan pendamping selama pameran.  Yakni, selama pameran GHN juga akan menaja kegiatan pendamping seperti kuratorial tur untuk pengunjung, artist talk, sablon kaos gratis dan pekan terakhir digelar sarasehan seni rupa.

Furqon berharap pameran ini memberikan pesan positif bagi dunia seni rupa di Riau yang selama ini nyaris tak memiliki ruang untuk menyuguhkan karya kepada masyarakat. Maka, pameran-pemeran yang dilakukan oleh GHN diharapkan terus bisa mengedukasi masyarakat, baik kolektor seni rupa maupun masyarakat yang hanya mencintai. Cara ini diharapkan suatu saat nanti dunia seni rupa benar-benar mendapatkan tempat secara luas di hati masyarakat seperti di daerah-daerah lain yang tingkat apresiasi dan kecintaan masyarakatnya begitu tinggi.

***

KURATOR GHN, Fachrozi Amri, dalam kuratorialnya mendedahkan makna Pameran “Jeda” yang menjadi tema pameran kali ini. Jeda bisa saja dimaknai dalam konteks waktu dari sudut pandang seorang pelaku sebagai tindakan berhenti sejenak, dengan maksud rehat, dan setelahnya sang pelaku melanjutkan aktivitas yang telah dilakukan sebelumnya.


 Tapi “jeda” juga bisa dimaknai sebagai strategi sang seniman untuk memberi waktu jeda kepada audiens  menikmati karya awal mereka. Sang objek diberi waktu untuk pengenalan, menggali makna, mengidentifikasi awal wacana, dan isu yang ditawarkan dari karya-karya awal tersebut. Dan setelah itu, pada saatnya, sang objek akan dikejutkan dengan sensasi karya paripurna sang subjek.

“Jeda”, kata Fachrozi, secara khusus ditempatkan sebuah helat untuk seniman melihat kembali “visi kekaryaan mereka”. Jeda berarti selingan “daftar tunggu” untuk memperlihatkan kesungguh-sungguhan seniman dalam mengekplorasi ide-ide mereka dalam karya. Atau bisa diartikan persiapan dan bertujuan untuk para seniman Riau dalam memperlihatkan “visi berkarya” yang mana karya-karya pada “Jeda” menjadi ukuran penilaian kesiapan seniman Riau dalam menyongsong dan melihat perubahan dan perkembangan zaman kini (khususnya seni rupa di dunia), bahwa pergerakan seniman saat ini dapat menjadi irisan berkarya. Makna “jeda” menjadi multitafsir.

“Harapan lainya, para seniman akan memberikan sumbangan pikiran yang baru, berciri mandiri, berkarakter, sebagai proses pengenalan, proses penggalian makna, proses identifikasi isu/wacana adalah langkah awal untuk seniman diberikan waktu “jeda”, yang mampu tertoreh di visual mereka. Apa yang sedang mereka perjuangkan sebagai visi berkarya untuk masa mendatang bagi khalayak luas dan tujuan karya yang mereka buat untuk kehidupan,” kata Fachrozi kepada Riau Pos, Kamis (17/11).

Alumni ISI Yogyakarta ini  menambahkan, secara filosofis, pihaknya mengibaratkan “jeda” sebagai sebuah proses untuk mengukur kemampuan yang kompetitif pada masing-masing karya yang hadir. Pada  helat ini, memang wacana “jeda” tidak secara khusus gamblang mempertontonkan atau mempersoalkan isu-isu terkini, dan seniman masih bebas menentukan arah kekaryaan. Mereka hanya dituntut menguraikan kekaryaan sesuai keinginan mereka melihat “jeda” mereka sendiri, entah dari kejadian-kejadian yang mereka rasakan selama pandemi, entah juga mereka merasakan “jeda” adalah refleksi waktu atas kejadian, pembacaan fenomena kekinian, misalnya politik, ekonomi, sosial, lingkungan, dll.

Dalam helat Pameran “Jeda” ini lebih banyak diikuti oleh anak muda di bawah umur 40 tahun, akan tetapi sejumlah penggilan yang dilakukan (panggilan terbuka/open call dan undangan)  tidak pernah memandang umur dalam melihat produktivitas si pelaku seni di Riau kendati nyata banyak yang terpanggil untuk dapat mengikuti pameran ini anak muda. Dan yang lebih mengejutkan lagi, jelas Fachrozi, ada di antara mereka baru kali pertama mengikuti pameran dan GHN memberikan kesempatan tersebut untuk mereka yang secara khusus sedang bersemangat berkarya.

“Ada sekitar 7 dari 19 seniman yang  baru pertama kali mengikuti pameran seni rupa. Ini terlihat dari jejak profil dari aktivitas pameran seni mereka.  Kami tidak menutup untuk seniman senior di Riau pada helat kali ini. Salah satu yang terpanggil di pameran kali ini, di antara seniman yang lain dan dianggap senior adalah Pak Zul Amri,” jelasnya lagi.

Banyak keragaman dari karya-karya tampil berbeda yang sebelumnya (pameran galeri sebelumnya) hanya didominasi dari karya-karya lukisan, kaligrafi, dan kriya. Yang berbeda atau salah satu yang ingin disampaikan dalam pameran kali ini diantaranya ada karya seni instalasi dari seniman undangan dari kelompok kolektif (Biro Visual Artistik), dan ada kolektif  seniman mural dan graffiti dalam merespon medium anak tangga menuju galeri seluas lebih kurang 36 m2 (750 cm x 490 cm x 90 cm) yang mengabungkan aliran dan gaya mural dan grafiti masing-masing karakter senimannya.

Kemudian ada  tiga karya yang  belum pernah tampil dari beberapa helat di galeri, diantaranya grafiti (tong sampah, dan Freedom dengan medium gypsum), grafis (woodcut), dan stensil (media: plat seng bekas). Menurut Fachrozi,  aktivitas berkarya dengan gaya outdoor/street art masuk ke dalam galeri menjadi salah satu keunikan yang perlu diapresiasi di ruang pamer yang lebih layak.

Dalam pameran ini juga  menawarkan beberapa rangkaian kegiatan, di antaranya Curatorial Tour, yakni upaya memberi keterangan helat ini kepada pengunjung dan memberikan langkah-langkah dalam membaca karya dengan cara yang mudah melalui pandangan umum dan khusus (tinjauan seni) melalui pemaparan langsung kurator.

"Tepatnya kurator akan mendampingi pengunjung untuk melihat, memahami, dan memaknai setiap karya seniman dalam helat  'Jeda', yang akan dilaksungkan pada  19, 20 dan 27 November  pukul 14.00--21.00 WIB," ujar Fachrozi..

Kemudian ada Artists Tour, yakni upaya penjelasan oleh seniman kepada pengunjung untuk mengetahui beberapa hal terkait karya-karya yang mereka buat, baik itu pemaparan konsep, produksi, material, dan gaya/aliran karya mereka secara langsung. Para seniman akan siap menjawab pertanyaan seputar kekaryaan mereka apabila ada pengunjung yang bertanya. Akan dilaksungkan pada tanggal 19, 20 dan 27 November pada pukul 14.00--21.00 WIB.

Yang ketiga adalah Sablon Live. Yakni kegiatan praktik sablon langsung oleh salah satu seniman “Jeda”. Seniman juga akan memaparkan secara langsung cara kerja menyablon baju dan pengunjung juga boleh membawa baju mereka untuk disablon. Pengunjung juga diperbolehkan untuk mempraktikkan secara langsung di bawah bimbingan seniman sablon. Ini akan berlangsung pada setiap Sabtu dan Ahad, 19-20  dan 26-27 November.

Dan yang terakhir akan diadakan Sarasehan Seni Rupa. Kegiatan ini adalah diskusi non-formal yang tentang kekaryaan yang sedang dipamerkan, lini masa seni rupa Riau, dan mengagendakan sejumlah rangkaian kegiatan dan program dari GHN. Kegiatan ini akan menghadirkan sejumlah pembicara diantaranya Kepala GHN, kurator, seniman senior, dan akademisi, yang akan diselengagrakan pada Sabtu (26/11/2022).

Fachrozi merasa senang karena antusiasme masyarakat pecinta seni sangat besar dalam kegiatan ini, salah satunya saat pembukaan. Menurutnya,  ini pameran dengan pengunjung pembukaan terbanyak, yakni lebih dari 200 pengunjung yang datang. Mereka rela antri untuk dapat masuk ke dalam galeri saat malam pembukaan, Sabtu (12/11), dikarenakan terbatasnya ruang di dalam galeri. Para pengunjung juga merasa senang karena  mereka merasa baru kali ini melihat karya-karya tersuguh dengan rapi kendati masa yang datang cukup rame dan padat.

Dijelaskan Fachrozi, meski begitu, aktivitas pengunjung masih terlihat normal, yang mana mereka datang untuk berselfi bersama-teman, membuat konten, dan ada juga dari beberapa sekolah (SMA 8)  dan universitas (Umri) menjadikan pameran “Jeda” sebagai tugas-tugas akademik mereka.

“Sebatas ini pameran di  Riau masih jarang dan hadirnya helat-helat di Galeri Han Nadim menjadi salah satu tujuan mereka untuk berkujung. Waktu yang cukup ramai adalah waktu akhir pekan, yakni Jumat, Sabtu, Ahad. Baru memasuki hari ke-5, pengunjung sudah mencapai 300 orang dari berbagai kalangan,” ungkapnya lagi.

***


SELAIN Elephant in Trap yang berada di luar ruangan, beberapa karya lainnya juga punya ciri khas.  Misalnya karya berjudul Live in Between karya Alza Adrizon. Dalam pengantar karyanya, Azla menjelaskan bahwa manusia memiliki hubungan tak terpisahkan dengan alam dan selalu menjaga keselaran dengan alam dalam menghadapi perubahan zaman demi terciptanya keseimbangan. Lukisan ini menggambarkan bagaimana seseorang berada di antara makhluk lainnya seperti burung, kupu-kupu, kijang, harimau, tumbuh-tumbuhan, dan sebagainya.

Lalu ada karya berjudul Interval, sebuah instalasi karya Biro Visual Artistik yang digawangi oleh Acong, Antirender, BD Rauf, dan Jurais Muzafa. Dalam penjabaran konsepnya, karya ini dijelaskan bahwa sebuah masa antara dua kejadian yang bertalian. Dalam matematika, interval merupakan himpunan bilangan yang memuat semua bilangan real dalam himpunan tersebut. Sebuah interval lebih dari interupsi oleh hal yang terlihat; ia adalah reorganisasi ruang dan waktu pada tingkat yang paling halus dan masif secara bersamaan, sebuah data tentang gerakan mikro yang tidak terlihat tetapi bisa dirasakan. Memang, ada hubungan yang konsisten antara kedekatan dan interval yaitu variasi yang berkelanjutan.

Karya ini merupakan representasi dari peristiwa Covid-19 yang semua mengalami dan hubungannya dengan apa yang kita rasakan sekarang. Ruang-ruang berjarak yang berusaha didekatkan dengan 299.792.458 m/detik teknologi cahaya di layar-layar led dan 343 m/detik suara yang mendarat di gendang telinga manusia. Jarak memberikan inteval terhadap realitas yang terjadi dalam suatu himpunan kejadian dalam sejarah umat manusia.


Dengan menyedian ruang segi empat, pengunjung yang masuk ke ruang tersebut akan merasakan sensasi yang bisa dirasakan sendiri, baik dari lampu-lampu yang menyala maupun getaran suara yang dimunculkan. Kita akan merasakan ada relasi antara diri kita dan ruang yang penuh cahaya dan suara tersebut.

Lalu, dalam karya berjudul Can We Turn Back Time? (Bisakah Kita Memutar Waktu?), Evelyn Stevie membuat lukisan abstrak dengan campuran pasir dan cat akrilik. Dalam karya ini, Evelyn menggambarkan perjalanan waktu seperti jam pasir yang terus mengalir hingga ke detik terakhir dalam perkembangan teknologi di dunia yang kacau ini.

“Namun, bagaimana jika teknologi terus berkembang, apakah seni akan digantikan oleh AI? Akankah kita hidup damai di dunia yang penuh dengan kekacauan? Terkadang, jiwa kecil kita hanya butuh waktu dan jeda untuk menyembuhkan dunia dan diri kita sendiri, bukan?” tulis Evelyn.

Pertanyaan yang dilontarkan dalam lukisan ini adalah sebuah proses mengingatkan bahwa waktu terus berjalan ke depan tak pernah menoleh ke belakang. Tak ada mesin waktu yang membuat manusia bisa kembali ke masa lalu untuk memperbaiki keadaan karena penyesalan atas apa yang sudah terjadi di hari ini. Ini seperti mengingatkan kita agar selalu berpikir segalanya jika akan melakukan sesuatu.

Lukisan berjudul The Power of Sarung karya Jati Wahyono juga memberikan makna yang dalam dan menarik. Dalam penjelasan konsep karyanya, Jati menjelaskan bahwa bangsa Indonesia diberkahi dengan berbagai macam kebudayaan, baik benda maupun non-benda. Sarung merupakan bagian dari kebudayaan di banyak daerah Indonesia, dan penggunaannya pun juga beragam. Mulai dari untuk hias semata, sebagai pelengkap pakaian adat,  bahkan sering juga dijadikan alat untuk menutup aurat jika hendak salat bagi laki-laki. Dengan banyaknya manfaat sarung tersebut juga kita hendaknya dapat lebih memperhatikan sarung tersebut sebgai sebuah identitas kebangsaan kita.

“Sarung juga tidak bisa lepas dari kehidupan sehari-hari kita mulai dari motif sarung dan fungsi sarung tersebut,” kata Jati.***


Laporan HARY B KORIUN, Pekanbaru

 









Tuliskan Komentar anda dari account Facebook