Berawal dari kisah para leluhur, bisa jadi kebenaran, bisa jadi cerita moral yang menitipkan pesan untuk saling menghormati sesama makhluk ciptaan Tuhan dan belajar dengan tanda-tanda yang disyaratkan alam.
(RIAUPOS.CO) - PANGKALAN Serai, desa yang terletak di muara Sungai Subayang, kawasan Bukit Rimbang Bukit Baling, Kecamatan Kampar Kiri Hulu, Kabupaten Kampar, menyimpan keunikan tersendiri. Bukan saja letaknya yang berada di pangkal Sungai Subayang dan berbatasan langsung dengan perbukitan wilayah Sumatera Barat, tapi juga memiliki berbagai cerita moral dan sejarah. Sejarah kerajaan Gunung Sahilan yang berasal dari Kerajaan Pagaruyung pun tertoreh di sini. Terbukti dengan adanya tongkat dari Kerajaan Pagaruyung yang hingga kini masih disimpan dengan baik oleh keluarga besar kerajaan tersebut yang tinggal di Pangkalan Serai.
Kehidupan yang berkeseimbangan dengan alam, begitulah yang dijalani para leluhur. Diceritakan oleh Basirun (61), warga Desa Pangkalan Serai tentang bagaimana dulunya masyarakat sangat menghormati alam. Kisah ini pun disampaikan secara turun temurun bahwa dahulu kala seorang warga Desa Pangkalan Serai yang berasal dari Suku Domo berangkat ke hutan mencari kayu untuk bahan pembuat perahu. Setelah menemukan kayu yang sesuai, ia menebang dan membentuknya menjadi perahu. Karena sudah terlalu sore, ia bergegas kembali ke kampung dan meninggalkan pekerjaannya yang masih terbengkalai. Kayu tersebut masih dalam kondisi setengah terbelah dan ditahan menggunakan baji atau sejenis patok penahan.
Keesokan hari, seorang warga Suku Bendang berangkat ke hutan dan dari kejauhan melihat seekor harimau terjepit di perahu yang sedang terbengkalai tersebut dan meraung kesakitan. Pada awalnya dia begitu takut namun perlahan ia mendekati dan melihat harimau itu tak bisa bergerak. Setelah memastikan kondisinya aman, ia pun mendekat ke arah harimau yang terjepit.
Dikisahkan bahwa harimau yang dalam keadaan terjepit tersebut meminta pertolongan pada Pak Bendang. Dengan rasa takut, ia bersedia membantu melepaskan harimau dengan syarat harimau tidak mengganggu anak keturunan Suku Bendang dan begitu juga anak kemenakan Suku Bendang tidak akan mengganggu mereka. Harimau pun berjanji dan Pak Bendang menepati janjinya, harimau itu pun akhirnya bisa lepas dan bebas. Masyarakat Desa Pangkalan Serai meyakini kisah ini terjadi di Sungai Batang yang terhubung ke Sungai Batang Kunadi yang pada 1970-an ditetapkan sebagai Hutan Larangan Suku Bendang.
Sumpah sotie (sakti) telah lama menjadi pegangan masyarakat di sepanjang Sungai Subayang dan Batang Bio dalam bersikap dan bertindak tanduk karena sumpah ini sudah menjadi undang-undang adat. Sumpah ini merupakan janji anak manusia untuk bijak dalam bertindak dan siap menerima konsekuensi dari pelanggaran terhadap sumpah yang diucapkan. Begitu berpegang teguhnya pada janji, Sumpah Sotie ini dipersaksikan kepada harimau, gajah, buaya dan penghuni rimba raya sebagai pengejawantahan penghormatan dan penghargaan yang tinggi terhadap alam.
Seperti halnya sumpah antara harimau dan Pak Bendang, meskipun tidak bisa dipastikan kebenaran cerita ini tetapi pesan moralnya adalah janji yang sudah terucap harus dipegang dan dilaksanakan. Begitulah sumpah sotie dipegang teguh. Simbol dari janji ini adalah tradisi yang telah lama dijalankan oleh masyarakat Pangkalan Serai yakni dengan menggelar syukuran setiap tahunnya atas kondisi aman tentramnya desa mereka. Tradisi ini seperti semah rantau yang dilaksanakan oleh desa-desa lain di Sungai Subayang.
Suku Bendang melaksanakan tradisi ziarah makam Majan Baalie (batu nisan berpindah) dengan memotong seekor kambing sebagai nilai yang dinazarkan. Kegiatan ziarah ke makam leluhur ini yang berada di dalam kawasan Hutan Larangan Adat Suku Bendang di Sungai Kunadi ini dimaksudkan sebagai bentuk rasa syukur masyarakat atas hasil alam (hutan dan ladang) serta kondisi alam yang aman dari gangguan atau bencana.
Hingga kini masyarakat Desa Pangkalan Serai masih melanjutkan tradisi ziarah ini, meskipun dua –tiga tahun belakangan tidak dilaksanakan karena keterbatasan ekonomi warga. Sidar, Datuk Marajo (72), mamak Suku Bendang Kenegerian Pangkalan Kapas menceritakan bahwa tradisi ziarah makam “Majan Baalie” masih dilanjutkan hingga sekarang, apa lagi jika ada kejadian yang menimpa, misal musibah di kampung maka masyarakat Suku Bendang melaksanakan ziarah ini dan diikuti juga oleh warga dari suku lainnya.
Hutan Larangan Adat Batang Kunadi
Masyarakat Pangkalan Serai sejak tahun 1970-an telah memiliki hutan larangan adat yang berada di sepanjang Sungai Kunadi. Hal ini bermula dari keprihatinan beberapa tokoh masyrakat di kala itu ketika penduduk semakin banyak dan keperluan akan sandang dan papan semakin meningkat sehingga banyak terjadi pembukaan kawasan hutan. Lahirlah gagasan untuk melindungi sekelompok hutan sebagai tempat memenuhi kebutuhan penduduk di masa depan.
Setelah melihat kondisi hutan yang lebat dan cukup dekat dari kampung maka ditetapkanlah hutan sepanjang Batang Kunadi sebagai lokasi hutan larangan adat. Wilayah Kunadi merupakan tempat bermula kehidupan masyarakat Pangkalan Serai yang datang dari Sumatera Barat. Hal ini ditandai dengan adanya ladang warga terutama Suku Bendang yang berladang di sekitar Sungai Kunadi dan adanya makam yang dikenal dengan majan baalieh (batu nisan berpindah). Dulu konon dipercaya perpindahan arah batu nisan sebagai penanda wilayah mana yang merupakan tempat yang baik untuk bercocok tanam.
Sempat masa itu, wilayah hutan di Batang Kunadi tetap ingin dibuka oleh beberapa orang namun para tokoh masyarakat pada masa itu justru semakin menguatkan keberadaan hutan larangan adat tersebut. Digelarlah pertemuan di rumah panjang Suku Bendang, yang kini sudah tidak berbekas akibat dihanyutkan banjir tahun 1978. Pertemuan dihadiri oleh tokoh masyarakat, perangkat desa dan Kepala Desa Anwar Hamid yang waktu itu menjabat Kepala Desa Aur Kuning karena Pangkalan Serai berinduk ke Desa Aur Kuning pada masa itu. Pertemuan di Kenegerian Pangkalan Serai yang Salingkuang Tobek Sacampak Jalo (wilayah desa) itu menguatkan keberadaan Hutan Larangan Adat Suku Bendang. Hutan tersebut tidak diperbolehkan untuk dibuka, diambil atau dicuri kayunya untuk kepentingan selain papan, tiang rumah dan perahu.
Anwar Hamid (80), mantan Kepala Desa Aur Kuning periode 1963-1990 ketika ditemui di Aur Kuning menuturkan bahwa dirinya dijemput oleh perangkat adat Pangkalan Serai waktu itu untuk mengumumkan kepada masyarakat tentang Hutan Larangan Adat Suku Bendang. Dalam pertemuan itu secara resmi (pemerintahan) diumumkan larangan terhadap wilayah hutan adat tersebut kepada warga masyarakat mesikipun tidak dalam bentuk tertulis. Sejak itu berlakulah larangan mengambil kayu dan merusak hutan tersebut.
Hingga kini, hutan larangan tersebut terjaga, hutannya lebat, airnya jernih. Belum ada satu pelanggaran yang dilakukan oleh sanak kemenakan Suku Bendang dan masyarakat Pangkalan Serai.***
Laporan KUNNI MASROHANTI, Kampar