Dedaun Alam "Dokter" Warisan

Seni Budaya | Minggu, 27 Maret 2022 - 11:15 WIB

Dedaun Alam "Dokter" Warisan
Masyarakat mengandalkan Sungai Subayang yang membentang di kawasan Rimbang Baling untuk berbagai kegiatan sehari-hari. (KUNNI MASROHANTI/RIAU POS)

Belajar dari bentang alam, adalah warisan leluhur dari nenek moyang bagi masyarakat Rantau Kamparkiri. Memanfaatkan tanaman hutan sebagai obat, masih terus diamalkan oleh masyarakat Riau hingga saat ini.

(RIAUPOS.CO) - MELIMPAH. Bukit Rimbang Bukit Baling di Kecamatan Kampar Kiri Hulu, Kabupaten Kampar, menyimpan kekayaan alam melimpah; hutan, sungai, perbukitan dan segala isinya. Kehidupan masyarakatnya pun kaya akan kearifan lokal yang tidak lekang oleh waktu walaupun beberapa di antaranya sudah tidak dijalankan lagi karena berbagai faktor. Alam bagi masyarakat Bukit Rimbang Bukit Baling penyedia berbagai kebutuhan hidupnya tidak hanya sebagai sumber pangan dan papan tetapi sumber obat-obatan.


Secara turun temurun, masyarakat Indonesia memanfaatkan tumbuhan di sekitarnya untuk obat-obatan, demikian juga masyarakat yang hidup di bentang alam Bukit Rimbang Bukit Baling. Menggali potensi kekayaan pengetahuan tentang tanaman obat ini, tim peneliti dari Laboratorium Sistematika Tumbuhan Fakultas Biologi-UGM melaksanakan kajian etnobotani dan eksplorasi potensi ekonomi flora lokal di kawasan ini pada pertengahan November 2017. Penelitian ini bekerjasama dengan Program Konservasi Harimau Terpadu yang dilaksanakan oleh  WWF, Yapeka dan Indecon atau dikenal dengan Program Imbau. Kajian yang mengambil sampel di tiga desa yakni Desa Batu Sanggan, Aur Kuning dan Koto Lamo, Kecamatan Kampar Kiri Hulu, Kampar.

Penelitian ini difokuskan pada inventarisasi tumbuhan obat dan tanaman pangan, dan tumbuhan untuk ritual adat dan budaya. Sebanyak 71 spesies tumbuhan obat yang tergolong dalam 43 famili berhasil diidentifikasi lewat penelitian ini. Famili yang memiliki spesies tumbuhan obat terbanyak adalah Piperaceae atau kelompok sirih-sirihan yakni sebanyak lima spesies, Kemudian diikuti dari famili Zingiberaceae, kelompok temu-temuan atau jahe dan sejenisnya. Beberapa penyakit yang diketahui dapat diobati menggunakan rimpang Zingiberaceae antara lain penyakit kulit, saluran pencernaan, saluran pernapasan, demam dan nyeri sendi.  Daun  banyak dimanfaatkan untuk pengobatan karena relatif tersedia sepanjang tahun dan lebih mudah untuk diekstraksi.

Sementara untuk tumbuhan yang digunakan pada ritual adat dan budaya sangat beragam mulai dari rimpang, umbi, batang, kulit batang, daun, bunga, buah, hingga biji. Bagian yang paling banyak digunakan adalah daun. Daun menjadi bagian tubuh tumbuhan yang paling banyak dimanfaatkan dalam ritual adat karena mudah didapat dan tersedia banyak dan tidak mengenal musim, tingkat regenarasi tinggi.

Terdapat sejumlah tumbuhan yang digunakan lebih dari satu bagian organnya untuk ritual adat yakni dari kelompok kelapa, pinang dan pisang. Bagian tumbuhan kelapa yang digunakan meliputi daun, minyak, biji dan buah. Sementara dari pinang adalah buah, batang, dan sabut.

Penggunaan bagian dari tumbuhan untuk obat-obatan dan ritual merupakan kearifan lokal yang telah berkembang di masyarakat. Namun untuk ketersediaan tanaman ini tentu perlu diperhatikan prinsip kelestariannya. Penggunaan daun sebagai bahan obat tidak berdampak buruk bagi kelangsungan hidup tanaman tersebut. Namun jika yang diambil bagian akar tentu akan berdampak buruk bagi kelangsungan hidup tumbuhan karena ketika akar diambil, maka tumbuhan tersebut terancam mengalami kematian.  Berbeda dengan daun, akar tidak mudah mengalami regenerasi.  Pemanfaatan akar tumbuhan secara terus menerus dalam jumlah banyak dan waktu yang lama dikhawatirkan akan menyebabkan kepunahan tumbuhan tersebut. Salah satu spesies yang dapat terancam punah karena pemanfaatan akarnya adalah pitalo bumi (Eurycoma longifolia), namun menurut penelitian tersebut di atas, masyarakat di kawasan bentang alam Bukit Rimbang Bukit Baling lebih banyak memanfaatkan daunnya untuk pengobatan tradisional. Pitalo Bumi dimanfaatkan sebagai obat malaria yakni dengan meminum air rebusan daunnya.

Hal senada juga diungkap dalam penelitian yang dilaksanakan oleh tim dari Fakultas Biologi- Universitas Nasional Jakarta dalam Studi Kekayaan Hayati Kawasan Bentang Alam Rimbang Baling, Riau yang dilaksanakan pada Juni 2016. Studi yang dilaksanakan di tiga desa di kawasan Bukit Rimbang Bukit Baling yakni Desa Tanjung Belit, Muaro Bio dan Batu Sanggan, mendapatkan 63 jenis tumbuhan obat yang biasa dimanfaatkan oleh masyarakat. Masyarakat menggunakannya dengan cara diminum air rebusannya, ditempel, dimakan, dioles, digosok dan ditetes.

Daun salam (Syzygium polyanthum) misalnya dimanfaatkan untuk obat tekanan darah tinggi. Daunnya direndam dalam air panas, kemudian diminum. Daun galinggan besar (Cassia quaderialata) dimanfaatkan untuk obat sakit kulit (panu). Daunnya ditumbuk dan ditambah getah lengkuas kemudian digosokkan ke kulit yang terkena panu.

Ada juga tanaman yang biasa digunakan perawatan selama kehamilan dan pasca kehamilan. Misal anak pisang batu yang dipotong-potong ditambah air kemudian dibalurkan ke perut dimaksudkan untuk mempermudah persalinan. Selain itu akar pasak bumi direbus dan diminum airnya dimaksudkan agar bayi yang dilahirkan bersih.

Melestarikan Warisan nenek Moyang

Buyauni (57) warga Desa Tanjung Belit, dikenal sebagai orang yang paham akan berbagai jenis tumbuhan obat. Sebanyak 107 jenis tumbuhan di sekitarnya dikenalinya sebagai tanaman yang berkhasiat untuk menyembuhkan berbagai macam penyakit.

Berawal dari ibunya yang juga paham akan tumbuhan obat, Buyauni sedari kecil sudah dikenalkan oleh ibunya tentang tumbuhan obat-obatan di sekitar kampungnya. Ia sering diajak ibunya untuk berkeliling desa atau masuk ke hutan mencari tanaman untuk dijadikan obat bagi warga yang sakit. Minat Buyauni untuk lebih mengenal tanaman obat semakin tinggi karena kondisi pada saat itu cukup susah mencari obat sementara masyarakat memanfaatkan tanaman di sekitar untuk pengobatan.

“Senang rasanya tahu tanaman-tanaman bisa dimanfaatkan untuk obat,’’ ujarnya.  

Ini yang memotivasi Buyauni hingga akhirnya di umur 15 tahun ia sudah mengenal berbagai jenis tanaman obat. Ditambah lagi kakaknya yang seorang bidan desa juga memanfaatkan tanaman obat untuk membantu pasiennya.

Obat untuk demam, keteguran, sakit kepala, sakit kuning atau orang lokal menyebutnya biring adalah keluhan yang dirasakan warga dan minta Buyauni untuk mencarikan. Buyauni dikenal sebagai salah satu yang ahli dalam mengenali tanaman obat. Di sepanjang Sungai Subayang, Kampar Kiri Hulu, tidak jarang warga  desa tetangga juga datang padanya untuk dicarikan tanaman obat. Bagi warga Bukit Rimbang Bukit Baling, sedari nenek moyangnya, pengobatan dilakukan oleh dukun kampung, orang yang diakui kemampuannya untuk mengobati berbagai penyakit yang disebut “Atuk” atau Datuk. Lewat saran “Atuk”  biasanya pasien diminta mencari  berbagai jenis tumbuhan untuk membantu menyembuhkan penyakit yang diderita pasien. Banyak warga yang dalam massa pengobatan datang pada Buyauni  untuk dibantu carikan tanaman dimaksud untuk menyembuhkan penyakitnya.

“Daun-daun, batang,akar, bagian yang sering digunakan untuk obat. Ada juga jenis air, ada tujuh, belum lagi  berbagai jenis jeruk limau,’’ kata Buyauni.

Untuk sakit kuning, Buyauni mencarikan tanaman kacang piwuk, akar yung dadi dan punko galeme. Untuk sakit kepala daun bunga raya, daun sugi dan daun kapuk. Sejauh ini obat-obatan tersebut manjur hal ini terbukti warga yang mencari obat akan datang minta bantuan Buyauni  lagi  dengan kondisi penyakit yang terus membaik dan akhirnya sembuh. Memang tidak hanya Buyauni yang memiliki kemampuan dalam mengenali tumbuhan obat ini, ada beberapa warga lagi di sepanjang Sungai Subayang, mungkin ada belasan atau puluhan.

“Dulu tidak perlu jalan jauh untuk cari tanaman obat, cukup keliling kampung ketemu  tanaman yang dicari. Sekarang harus jauh jalan ke dalam hutan, bahkan harus naik ke punggungan bukit yang seharusnya bisa didapat di sekitar,”  keluh Buyauni.

Salah satu tumbuhan yang digunakan untuk pengobatan tetapi sudah cukup jarang dijumpai adalah gadung. Menurutnya gadung susah dicari sekarang karena banyak diincar orang karena dapat dijual untuk bahan makanan. Untuk menjaga tanaman obat tetap ada,

 Buyauni menanam beberapa tanaman tersebut di pekarangan rumahnya. Sediktinya ada 15 jenis tanaman obat yang sudah tumbuh dan dirawat baik olehnya. Selain itu ia juga menyebarkan beberapa tanaman obat tersebut untuk ditanam oleh tetangganya. Hal ini un direspon positif oleh beberapa warga yang mau menanam berbagai tanaman obat di sekitar rumah.

Sebagian tanaman sulit didapat di dekat kampung karena dimakan ternak.  Selain itu banyaknya babi yang masuk ke perkampungan  juga berdampak terhadap tanaman obat.

“Belum sempat tumbuh besar, tanaman itu sudah diseruduk babi,” keluh Buyauni.

Buyauni berharap  tanaman obat di sekitarnya  tetap terjaga karena dapat membantu kehidupan masyarakat. Selain itu tanaman tersebut dapat dikembangkan dan diolah menjadi bentuk obat-obatan yang dikenal oleh masyarakat.***


Laporan KUNNI MASROHANTI, Kampar









Tuliskan Komentar anda dari account Facebook