PERISA YUSMAR YUSUF

Datu Bahagia

Seni Budaya | Minggu, 17 Januari 2016 - 00:49 WIB

Kebahagiaan itu terkadang bersembunyi  di dalam tanaman, pada hewan dan di dalam batu-batu. Begitulah para jelata dan orang gedongan menemukannya. Untuk menyelamatkan kebahagiaan yang tersembunyi itu, komunitas tradisional merawat hutan, memanja sungai dan pangkal gunung. Mereka memayungkan segala khazanah kebahagiaan tersembunyi ini melalui busana adat, hukum adat dan penyematan resam. Maka, muncullah kawasan adat, hutan adat, dan sederetan kelembagaan yang menaunginya demi menjaga dan meniduri kebahagiaan tersembunyi.

Tetanaman dilindungi, hewani diburu seadanya (secukupnya), bebatuan tak dihancurkan. Komunitas “kawanan” (band) yang masih bersifat nomaden itu memetik kebahagian secara “bergerak” (mobile); mereka memetik ranumnya kebahagiaan tersembunyi dari pucuk-pucuk daun, akar kekayuan, ranting dan kelopak bunga. Mereka menghidu kebahagiaan tersembunyi itu dari amis badan hewan yang berlari kencang di dalam rimba raya. Mereka menggesek kebahagiaan tersembunyi itu dari kilauan batu mulia yang bersandar di dinding-dinding gunung, memaku bukit dan menggeletak di sungai-sungai berair deras.


Kawanan dan pesukuan yang membesar dari segi populasi, kemudian memerlukan peneraju yang terkesan turun sebagai titah langit. Inilah era komunitas yang bersumbu pada keperkasaan datuk-datuk (datu@dato “chiefdom”). Era ini ditandai dengan kekuataan supranatural dan keramat yang dipanggul oleh seorang datu dalam memelihara dan merawat kebahagiaan yang tersembunyi itu. Datu agung, dibantu oleh seperangkat pembantu yang tak memiliki spesialisasi keahlian, namun berpembawan keahlian ganda (serba bisa atau serba guna) yang merupakan cikal bakal birokrasi awal (proto-birokrat), demi menjaga dan merawat kebahagiaan tersembunyi yang tersadai di dalam rimba dan terhidang di samudera. Untuk konteks kemaslahatan bersama dan ketenteraman komunitas, kedatuan mengembangkan ideologi dan identitas politik sekaligus bergayut pada nilai religius sehingga posisi dan kedudukan sang datu seakan adalah titisan langit; atas perintah Tuhan. Datu (Datuk) memiliki kewenangan yang diterima secara umum oleh masyarakat kedatuan, klaim monopoli atas hak untuk menggunakan kekerasan atau kekuatan memaksa bila diperlukan, mengambil keputusan. Kekuasaan ini dialamatkan demi merawat kebahagiaan tersembunyi baik yang ada di dalam diri manusia maupun segenap keterwakilan kehadiran dalam bentuk-bentuk aneh dan lain makhluk dunia.

Para datu dibantu oleh para penggawa (dalam hierarkhi proto-birokrat) untuk mengumpul upeti, mendamaikan segala bentuk perselisihan, melaksanakan tugas-tuigas administratif yang belum begitu komplet. Jaret Diamond, sekilas menjelaskan tentang satu dari sekian banyak inovasi yang dilakukan oleh kedatuan dalam bidang ekonomi, yang disebut sebagai ekonomi redistributif. Inovasi ini bukan sekedar pertukaran langsung antar individu, namun datu mengumpul upeti berupa makanan dan kerja rodi, yang sebagian besar di antaranya di-redistribusi-kan ke para pejuang, pendeta, dan pengrajin yang menjadi pelayan sang datu. Oelh sebab itu, menurut Diamond, redistribusi merupakan bentuk pajak yang paling arkhaik untuk menyokong kehadiran institusi-institusi baru di dalam masyarakat kedatuan. Kini, kebahagiaan tersembunyi itu tersimpan di dalam kekuasan datu.

Datu atau datuk adalah wakil Tuhan, percikan dewata dalam menata dunia dengan segenap kandungannya. Datu tidak lagi berperan selaku “khazanah tersembunyi” tetapi sudah menjadi “in actu” dalam serangkaian tindakan dan segala keputusan yang berdampak terhadap rakyat banyak. Memang, setiap orang boleh tetap beranggapan bahwa kebahiagaan sejati itu berada di balik bebatuan, maka menjadi perhiasanlah dia. Di balik tanaman, maka menjadi komoditas dalam ragam varianlah dia; sejak dari makanan, makanan olahan, industri kerajinan sampai ke teknologi pangan. Demikian pula, bahwa kebahagiaan itu berada dan terselindung di balik tubuh hewan-hewan yang berlari kencana di dalam rimba raya. Walau namanya, rimba raya, belum tentu berlaku hukum rimba. Namun, toh sistem kedatuan di kalangan masyarakat manusialah yang menerapkan hukum rimba raya itu. Era datu atau datuk-datuk telah sirna. Kini berganti dengan era yang menjunjung rasionalitas dan kesalehan sosial. Orang boleh saja menyebutnya sebagai demokrasi yang menjadi mitos dan dewa di alam modern.

Hakikat penyembunyian kebahagiaan di era datu-datu, berubah sontak. Hari ini kebahagiaan yang tersembunyi di balik pohon-pohon, di balik tanaman, di balik hewan dan bebatuan, mengalami penelanjangan luar biasa. Saban tahun, di negeri ini hutan ditebang dan dibakar, dengan alasan devisa dan peningkatan sektor pajak. Jika pajak menaik dalam grafik yang menajam ke atas, maka terjadi redistribusi kepada masyarakat jelata. Pembangunan akan merata dan kebahagiaan yang berselindung itu akan menyerbu setiap rumah tangga negeri ini dan mereka bergumal dengan penghuni rumah itu sepanjang masa, siang dan malam, saban detik dan waktu. Adakah ini sebuah utopia mengatasi utopia yang terbangun dalam rukun nan permai di era kedatuan?

Baca Juga : Berharap Hujan

Era kini adalah era penelajangan kabahagian tersembunyi itu. Setiap orang menjadi makhluk narsis, menjadi para pendaku tentang capaian dan guratan kebahagiaan yang semestinya tidak diumbar ke ranah publik. Setiap orang merasa paling wah, paling kaya, paling beradat, paling kece, paling beradab, paling ganteng, paling cantik. Ketika era pendakuan yang berterus-terang ini, siapa yang mengaku jelek dan buruk rupa akan terpelanting dari panggung narsis. Akan terhumban dari gegap gempita pasar “purba” tentang ketelanjangan hewani yang melekat pada diri manusia. Era datu-datu, kebahagiaan memang tersembunyi, namun cepat dirampas oleh para datu yang mengaku titisan langit (dewa atau tuhan-tuhan). Di era modern, yang menjadi dewa dan datu adalah diri kita sendiri. Kita mendatu-datu diri di tengah kerumunan yang juga tergila-gila minta dipanggil datu. Lalu kita hidup sebenarnya di zaman apa?***









Tuliskan Komentar anda dari account Facebook