PAMERAN SENI "DIBUANG SAYANG"

Menyatukan Desain, Arsitektur, dan Seni Rupa

Seni Budaya | Minggu, 10 Desember 2023 - 12:19 WIB

Menyatukan Desain, Arsitektur, dan Seni Rupa
Talkshow Perlindungan Hak Cipta Karya Desainer dan Seniman dalam pameran seni “Dibuang Sayang” di Pekanbaru, belum lama ini. (JADIRUANG UNTUK RIAU POS)

Dalam pameran ini, desain interior dan arsitektur yang terkesan kaku dan dingin, disatukan dengan seni rupa yang bebas, plastis, dan kreatif, dalam sebuah ruang yang akan membangun penafsiran berbeda.

RIAUPOS.CO - SEBUAH pameran seni yang tidak biasa digelar di Pekanbaru. Sebuah pameran yang memadukan desain (interior), arsitektur, dan seni rupa. Pameran ini bertajuk “Dibuang Sayang” yang diselenggarakan oleh Jadiruang Manajemen. Mereka menyebunya pameran mix media, yang memadukan beberapa media dalam sebuah pameran. Tempatnya di  Tangkelek Coffeshop, kawasan Gobah, Pekanbaru, 24 November hingga 1 Desember 2023 lalu.


Ketua paniti pameran, Rizky Arnando ST, menjelaskan, pemikiran awal  pameran mix media ini berawal dengan konsep pameran desain arsitektural dan interior. Untuk lebih menjadi dinamis, pihaknya mengundang para seniman, fotografer, dan penggiat dunia kreatif lainnya untuk ikut partisipasi dalam pameran ini. Karena, menurutnya, dalam dunia desain arsitektural dan interior, memiliki unsur nilai seni visual, bentuk, hingga warna yang dapat membentuk sebuah karakter.

Para peserta pameran teridiri dari desainer arsitektur dan interior, seniman , fotografer mahasiswa Jurusan Arsitektur dari Jakarta, dan  Jurusan Desain Interior dari beberapa perguruan tinggi di Pekanbaru. Beberapa nama perupa Pekanbaru seperti Cak Winda, Yelmi Nanda, dan beberapa nama lainnya, juga terlibat dalam pameran ini.

Nama-nama lain yang karyanya dipamerkan dalam kegiatan ini, yakni Aliya Roesli, Andrie Herdiansyah, Angkasa Architects, Dedi Ariandi, Dodi Studio (David Nangas dan tim), Dieni NU, Heidy PP, Gandhi Thaiba, Isrina Indah, Tesa Beta Hariandini, Al Iman, Kaikal Hafsan, Nanda Putri Ardana, Meliana Yulianti, Prase Rachellia Batubuaya, Masda Ulfa Arianti, M Iqbal Zuchri, Musni Suhana, Nathael Nareswara Nugroho, Sisca Pramudya, Novi Seprima, Sheila Majdi, Studio Aruca, WAYPI, Yaseri Dahlia Apritasari, Jesslyn Winata, Jonathan, Joey Mentari, Henry Surya Alexander, Kenny Tanumihardja, Yaseri Dahla Apritasari, Shirleen Crestella, James Kevin Dwiputra, Tania Delfina Helen Amalia, Fernando, dan Zainul Dzakwan Arabi.

Menurut Rizky,  pameran mix media sudah pernah ada dari beberapa komunitas lainnya di Pekanbaru. Namun pihaknya dari awal ingin lebih mengutamakan sebuah pameran kolaborasi antara  teknologi dan karya kreatif. Seperti pameran perdana yang mereka lakukan pada Desember 2021, yang memakai sistem AR (augmented reality) dalam menampilkan visual desain 3 dimensi.

“Pameran koloboratif seperti ini sebenarnya bukan hal baru, tetapi memang jarang dilakukan. Kami mencari dimensi-dimensi yang berbeda, yakni bagaimana agar teknologi bisa selaras dengan karya seni (karya kreatif, red) dalam satu ruang yang sama,” kata  Kepala Bidang Keprofesian IAI (Ikatan Arsitek Indonesia) Provinsi Riau  2022-2025 ini kepada Riau Pos, Jumat (9/12/2023) ini.

Lelaki yang juga Ketua Jadiruang Management ini menambahkan, dengan mengadakan iven pameran seperti ini, dapat menjadi inspirasi bagi para profesional dan penggiat dunia kreatif lainnya agar lebih berani untuk sharing dan expose karya, edukasi, dan diskusi. Menurutnya ini penting untuk membangun ekosistem seni yang cakupan ruangnya lebih luas, yakni kolaborasi dengan bidang lain untuk melahirkan model-model berkesenian lainnya.

“Begitu juga bagi kami di bidang arstitektur dan desain interior, dengan pameran kolaborasi seperti ini, ruang berkarya kami tidak kaku dan monoton, tetapi lebih dinamis,” jelas lelaki kelahiran Duri 36 tahun lalu ini.

Managing Director Studio SEVENPIXEL Photography and Artwork ini mengaku senang karena pada pameran ketigakalinya yang dilakukan Jadiruang Management ini pengunjung pameran memberi apreasiasi yang sangat baik. Ini, katanya, bisa dilihat dari cara mereka menyampaikan beberapa pertanyaan, pandangan, dan opini terhadap sebuah karya yang terpajang. Terlebih lagi dengan tema “Dibuang Sayang” ini juga memberi pengunjung inspirasi saat di dalam maupun di luar ruang pameran.

Dalam pameran ini, Jadiruang Management bekerja sama dengan berbagai pihak, salah satunya Tangkelek Coffeshop. Kata Rizky,  konsep areanya sudah mendukung kegiatan pameran karya dan aktivitas  kreatif lainnya. Dalam pameran ini, selain sesi talkshow oleh para pameris,   juga ADA beberapa workshop seperti  basic rendering image with enscape, clay workshop, dan

sustainable art. Juga diadakan talkshow edukasi tentang “Perlindungan Hak Cipta Karya Desainer dan Seniman”.

Pada bagian lain, kurator pameran, Parlindungan Ravelino ST MDs, menjelaskan mengapa tema yang diambil dalam pameran ini adalah “Dibuang Sayang”. Kalimat  itu, katanya, sering kita dengar sebagai ungkapan yang menggambarkan suatu hal yang membuat kita berada dalam posisi serbasalah.

Karya yang kita ciptakan, kata Parlindungan,  sering kali tidak sesuai dengan keinginan dan kemauan pemberi tugas atau klien. Nilai yang dianggap baik, benar dari segi fungsi maupun estetika tidak akan selalau bertemu takdir rasa orang lain, meskipun  sudah sudah ada perjanjian yang mengikat.

Pameran ini mencoba memberikan peluang menyalurkan rasa untuk menghadirkan karya-karya yang rasanya sayang untuk diabaikan oleh diri pekarya, baik itu masih berupa konsep yang masih di awang-awang ataupun karya yang sudah menjadi rupa, baik itu desain interior, arsitektural, grafis, mix-media, maket, instalasi, dan dalam bentuk lain.

“Agar tidak sayang untuk dibuang, mari bersama-sama kita memberikan sedikit rasa manis di pameran ini agar rasa pahit yang akan ditelan tidak sia-sia,” jelas lelaki yang juga Ketua Program Studi Desain Interior Universitas Lancang Kuning (Unilak) tersebut.

Parlindungan berharap, pameran tersebut akan menjadi warna lain dari pameran-pameran yang sudah dilakukan berbagai komunitas atau lembaga lainnya, salah satunya di Galeri Hang Nadim (GHN). Menurut dia, semakin banyak lembaga atau komunitas yang menggelar pameran seni rupa, akan semakin baik. Sebab hal itu akan menghidupkan ekosistem seni rupa di Pekanbaru dan Riau secara luas.

Kartunis senior Riau yang juga Ketua GHN, Furqon LW, sangat mengapresiasi pameran ini. Dia hadir di semua pameran yang diselenggarakan Jadiruang Management, termasuk “Dibuang Sayang”. Dalam dua pameran sebelumnya, “Nyempil” (2021) dan “Saru” (2022), Furqon juga datang dan memberi apresiasi. Dari ketiga pameran tersebut dia membaca sebuah benang merah yang selalu dihadirkan penyelenggara.

Ketiga pameran ini, kata Furqon, selalu menawarkan konsep dengan memaksimalkan apa yang ada pada penyelenggara --dengan segala keterbatasannya-- sehingga konsep pameran tersebut sampai ke audiens. Seperti pada “Nyempil”, pameris diminta membuat rancang desain bangunan di lahan sempit yang berada di tepi sebuah jalan di Pekanbaru. Ketika dipamerkan, audiens kalau mau lihat desain yang detil dipaksa memindai sebuah barcode dan akan dapat mengunduh file highres tiga dimensi. Konsep adalah segalanya.

Pada “Saru”, desainer diminta membuat desain bangunan dengan konsep menyarukan (menyamar), sehingga menimbulkan multipersepsi pabila melihat desain bangunan tersebut.  “Saya sendiri secara bebas mempersepsikan ‘saru’ itu akronim dari ‘salah ruang’. Maksudnya saya bisa salah sangka (salah masuk ruang, red) terhadap sebuah desain yang dipamerkan,” kata Furqon.

Pada “Dibuang Sayang”, jelasnya, desain arsitektur yang dipamerkan mengeksekusi konsep keinginan desainer yang mencoba memberi nilai terbaik berdasarkan fungsi dan estetika pada desain, walaupun itu tak diterima klien pemberi order. Jadi display boleh minimalis, yang penting konsep kekaryaan tersampaikan ke audiens.

Ketiga pameran tersebut selalu bertempat di kafe yang ruangannya terbatas. Pada “Nyempil” ruang pameran pun di-display sempit berkelok-kelok di antara karya yang digantung di dinding dan kayu panel. Suasana tak nyaman ini justru memperkuat persepsi audiens terhadap kata “Nyempil” itu. Pada “Saru”, display ruang seolah tak beraturan. Masuk di mana keluar ke mana. Pokoknya pameran berhasil menyaru seolah-olah bukan pameran.

Begitu pula pada  “Dibuang Sayang”. Menurut Furqon, karya berupa desain yang dicetak pada lembaran vinyl dipajang di lorong sepanjang lebih-kurang 10 meter dan lebar dua meteran di kafe tersebut. Di sana juga lukisan karya perupa Cak Winda dan Yelmi Nanda, fotografi karya Aliya Roesli, dan ilustrasi digital perupa cilik Nathanael Nareswara (5 tahun) dipajang.

“Kita seolah dipersilakan lewat satu arah, mau melihat karya di kiri-kanan  boleh,  tidak lihat pun tak apa. Tapi rasanya sayang pula kalau tak dilihat,” ujar Furqon berusaha memahami konsep pameran terkait lokus pameran.

Ditambahkannya, karya-karya yang dipamerkan mayoritas desain arsitektur yang merupakan eksekusi terhadap tema pameran. Karya lain seperti lukisan, foto, digital art, yang dipamerkan seolah pelengkap saja di ruang pamer.

Dari tiga poin tersebut, dia membaca  selain semangat eksistensialisme (baca: kami berpameran karena itu kami ada) adalah semacam kenakalan --atau semangat bermain-main?-- untuk mendobrak mindset bahwa pameran seni rupa adalah  pameran karya-karya fine art-nya seni rupa dua dimensi (lukisan) dan tiga dimensi (patung) yang dipamerkan di galeri atau gedung pameran yang luas, nyaman, dan representatif.

“Ini seolah menjelaskan bahwa seni desain (arsitektur, red) pada sudut pandang tertentu bukanlah sekadar seni terapan,” jelas Furqon lagi.***

Laporan HARY B KORIUN, Pekanbaru

 









Tuliskan Komentar anda dari account Facebook