BOGOR (RIAUPOS.CO) – Kabar meninggalnya mantan Duta Besar Swiss Djoko Susilo meninggalkan duka mendalam. Kepergian Djoko terbilang mendadak, karena terjadi saat mantan wartawan Jawa Pos itu tengah bertemu dengan koleganya di kawasan Jagakarsa, Jakarta Selatan.
Saat ditemui di kediaman di kawasan Sentul City, Bogor, anak kedua Djoko, Mirza Zahiruddin Akbar Susilo menyebut bahwa sang Ayah sedang akan bertemu dengan salah satu temannya. Dia tidak menyangka jika bapaknya tiba-tiba mendapat serangan jantung. Saat dilarikan ke rumah sakit Ali Sibro di Ciganjur, Djoko sudah tak tertolong. “Bapak sedang ada urusan bisnis waktu itu,” kata Mirza kepada Jawa Pos (Jawa Pos Group), Selasa (26/1).
Dia menyatakan mendapat kabar meninggal bapaknya dari pamannya. Djoko yang lahir di Boyolali, 6 Juli 1961 itu dinyatakan meninggal sekitar pukul 12.30 WIB. Saat itu, hanya Mirza yang berada di rumah, sementara Musfiroh S Badrie, ibunya tengah berada di Surabaya. “Ibu sedang dalam perjalanan ke sini,” kata Mirza.
Menurut Mirza, saat di rumah sakit, Djoko ditemani oleh kakaknya, Muhammad Riza Zafiruddin Susilo. Sementara sang adik, Victoria Adelila Izzati masih berada di Belanda. “Adik kuliah disana, saya masih coba menghubungi dia,” kata Mirza.
Jenazah baru tiba di rumah duka sekitar pukul 17.00 WIB. Saat tiba di rumah duka, jenazah Djoko sudah dimandikan dan dikafani. Jenazah langsung dibawa ke ruang utama kediaman Djoko. Tampak sudah menunggu, sejumlah sahabat Djoko seperti anggota Dewan Pertimbangan Presiden Sidharto Danusubroto, mantan Wakil Ketua MPR Hajriyanto Thohari, dan staf khusus Menpora Gatot S Dewobroto. Menyusul hadir kemudian adalah Menteri Sekretaris Negara Pratikno dan owner Jawa Pos Dahlan Iskan.
Juru bicara keluarga Djoko, Happy Bone Zulkarnain meminta kepada para sahabat Djoko untuk memberikan testimoni mereka. Dahlan Iskan saat diberi kesempatan menyatakan, dirinya akrab menyebut Djoko dengan panggilan khas. “Saya selalu memanggil dengan sebutan Bung Djoko,” kata Dahlan.
Dahlan menyebut Djoko adalah generasi intelektual pertama di Jawa Pos. Saat itu, kata Dahlan, Jawa Pos belum menjadi koran besar, belum bisa menggaji sarjana. “Jawa Pos saat itu miskin, saudara Djoko angkatan pertama yang saya rekrut,” kata Dahlan.
Ternyata, dalam perjalanan, kata Dahlan, sosok Djoko mendua. Ini karena, Djoko saat bekerja di Jawa Pos juga menjadi dosen di salah satu Perguruan Tinggi Negeri di Surabaya. Secara aturan, hal tersebut sejatinya tidak diperbolehkan. “Waktu saya tanya kenapa jadi PNS, ternyata Bung Djoko berkeinginan pergi keluar negeri,” kata Dahlan.
Mendengar hal itu, Dahlan memberi jaminan kepada Djoko bahwa wartawan Jawa Pos juga bisa keluar negeri. Negara pertama yang dikunjungi Djoko saat berstatus wartawan Jawa Pos adalah Libya. “Waktu itu juga ada agenda bertemu pemimpin tertinggi Libya, Muammar Gaddafi, beliau sangat excited sekali,” ujarnya.