ALINEA - FATMAWATI ADNAN

Menghilangtimbulkan Huruf "H"

Seni Budaya | Minggu, 07 Juni 2020 - 11:57 WIB

Menghilangtimbulkan Huruf "H"
Fatmawati Adnan

SEORANG siswa SD tiba-tiba bertanya tentang penulisan kata baku dalam bahasa Indonesia. Pertanyaan itu muncul di kepalanya setelah menemukan sebuah kata yang ditulis dalam dua versi. Ia mempertanyakan bentuk baku yang tepat, hutang atau utang? Pertanyaan ini langsung menggelitik hati dan menjentik rasa penasaran.

Pada berbagai teks, mulai dari iklan sampai surat resmi, yang sering tertulis adalah hutang. Sangat jarang menemukan kata utang. Untuk mendapatkan jawaban pasti, KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia) menjadi tumpuan.


Ketika ditulis kata hutang pada kotak pencarian, kamus memberi jawaban dengan tanda panah menuju kata utang. Artinya, KBBI menyarankan agar mengetik kata utang. Pencarian pun diteruskan karena rasa penasaran pada kedua kata itu. Penasaran yang terpicu oleh keingintahuan seorang siswa SD yang memiliki ketertarikan pada “kasus” itu.

Ketika diketik kata utang, kamus pun memberikan jawaban. Bentuk tidak baku kata utang adalah hutang. Selanjutnya kamus memberikan definisi kata utang, yaitu (1) uang yang dipinjam dari orang lain dan (2) kewajiban membayar kembali apa yang sudah diterima. Tidak tanggung-tanggung, kamus juga memberikan kata turunan dari kata utang, seperti berutang, memperutangi, memperutangkan, mengutangi, mengutangkan, pengutang, perutangan, dan utangan. Tidak cukup sampai di situ, kamus juga menyajikan gabungan kata yang mengandung kata utang yang dikenal dalam bahasa Indonesia, yaitu utang budi, utang dagang, utang dana, utang jangka panjang, utang jangka pendek, utang luar negeri, utang nyawa, utang usaha, dan sebagainya. Masih ingin memanjakan pengguna, KBBI juga menyertakan peribahasa yang mengandung kata utang, contohnya sia-sia utang tumbuh; utang emas boleh dibayar utang budi dibawa mati; utang selilit pinggang.  

Penjelasan yang sangat lengkap dalam KBBI menunjukkan bahwa kata yang baku adalah utang, bukan hutang. Akan tetapi, mengapa lebih sering digunakan kata hutang yang diawali dengan huruf [h]?

Kasus serupa juga ditemukan pada kata imbau, andal, dan iba, ketiga kata ini diragukan kebakuannya karena adanya kata himbau, handal, dan hiba (menghiba). Kembali KBBI dijadikan tumpuan untuk menghilangkan keraguan. Ketika diketik kata himbau dan handal, jawaban yang diberikan kamus adalah tanda panah ke kata imbau dan andal. Artinya, bentuk baku yang “disahkan” KBBI adalah imbau dan andal. Ketika diketik kata hiba, jawaban KBBI terkesan tegas: entri tidak ditemukan. Pertanyaannya adalah mengapa lebih sering digunakan kata himbauan, menghimbau, handal, menghiba, dan penghiba? Mengapa huruf [h] dimunculkan pada awal kata-kata itu?

Memunculkan huruf [h] juga terjadi pada akhir kata, seperti kata rapih dan silah. Kedua kata ini merupakan bentuk tidak baku dari kata rapi dan sila. Penggunaan bentuk tidak baku, yang menambahkan huruf [h] di belakang kata, lebih sering ditemukan pada teks lisan dan tertulis dibandingkan kata baku tanpa huruf [h]. Merujuk pada kamus, ketika mencari makna kedua bentuk tidak baku itu maka tanda panah menuju kata rapi dan sila akan muncul sebagai jawaban.

Huruf [h] memang memiliki fenomena tersendiri dalam bahasa Indonesia. Selain memunculkan huruf [h] yang memupus kebakuan sebuah kata, pada kasus lain huruf [h] justru dihilangkan. Meskipun frekuensi penggunaan kata yang menghilangkan huruf [h] tidak terlalu tinggi, tetapi “kasus” ini terjadi dalam penggunaan bahasa Indonesia terutama pada teks lisan. Kata baku “hutan, hidup, dan habis” sekadar contoh kata berawalan huruf [h] yang dihilangkan dalam pengucapannya sehingga lebih sering terdengar [utan], [idup], dan [abis]. Pengucapan tanpa huruf [h] memang tidak mengubah makna, tetapi mengalihkan pengguna pada kata tidak baku.

Penghilangan huruf [h] juga terjadi pada akhir kata. Peristiwa ini juga terjadi pada bahasa lisan. Kata merah lebih sering diucapkan [mera], putih cenderung disebut [puti], dan payah sering diucap [paya].

Pengecekan pada KBBI untuk kata [mera] menghasilkan jawaban: entri tidak ditemukan. Berarti, bentuk baku untuk kata yang bermakna “warna dasar yang serupa dengan warna darah” adalah [merah] dengan membunyikan huruf [h] di belakang kata itu.

Kata [putih] dan [puti] memiliki makna yang berbeda, jika pengguna bermaksud menyebutkan kata [putih] yang bermakna “warna dasar yang serupa dengan warna kapas”, “murni; suci; tidak ternoda’, atau “pucat (tentang wajah)” tentu saja pengucapannya harus membunyikan huruf [h] pada suku kata terakhir. Sebab, jika diucapkan [puti] tanpa bunyi [h] maka akan bermakna “panggilan kepada wanita keturunan raja-raja; putri”.

Demikian juga halnya dengan kata [payah] dan [paya]. Jika pengguna bermaksud menyebut kata dengan makna “lelah, penat” atau “sukar, susah” maka pengucapannya seharusnya menyuarakan bunyi huruf [h]. Lain halnya jika pengguna bermaksud menyebut kata yang bermakna “rawa”, pengucapannya tanpa bunyi huruf [h].

Permasalahannya adalah pengguna bermaksud menyebut kata merah, putih, dan payah; tetapi diucapkan [mera], [puti], dan [paya]. Kasus penghilangan huruf [h] terjadi pada ketiga kata itu dalam pengucapannya. Untungnya lawan bicara tetap mengerti dengan makna yang dimaksud karena dibantu konteks linguistik dan paralinguistik yang melatari kalimat yang mengandung kata-kata itu.

Secara fonologis huruf [h] dikategorikan sebagai konsonan, yaitu fonem yang dihasilkan dengan menggerakkan udara keluar dengan rintangan. Dalam hal ini, yang dimaksud dengan rintangan adalah terhambatnya udara keluar oleh adanya gerakan atau perubahan posisi artikulator. Apakah kasus “menghilangtimbulkan” huruf [h] itu disebabkan oleh faktor proses dihasilkannya huruf itu? Tentu membutuhkan kajian Fonologi yang lebih mendalam, kajian itu akan semakin lengkap jika dibandingkan bahasa lain.

Secara sederhana, pengetahuan dan sikap bahasa dapat dijadikan sebagai pemicu kebiasaan “menghilangtimbulkan” huruf [h]. Mungkin pengguna bahasa tidak mengetahui bentuk baku dan tidak baku kata-kata itu, itu kemungkinan pertama. Kemungkinan lainnya adalah pengguna mengetahui tetapi telanjur terbiasa sehingga sulit mengubah. Bisa juga karena pengguna mengetahui tetapi enggan untuk mengubah kebiasaannya. Bisa jadi juga karena sistem dan strategi mengajarkan bahasa yang tidak tepat sejak awal pengguna mempelajari atau memeroleh bahasa Indonesia.

Terlepas dari berbagai kemungkinan yang menjadi penyebab kasus “menghilangtimbulkan” huruf [h], kasus kesalahan berbahasa Indonesia memang sangat banyak ditemukan dalam penggunaannya, baik secara personal maupun komunal. Simpulannya adalah kita memang harus banyak belajar tentang bahasa Indonesia, baik pengetahuan maupun penggunaannya. Sebab, kekayaan pengetahuan dunia bahasa (Indonesia) senantiasa bertambah dan terus bertambah.*  

Fatmawati Adnan, Balai Bahasa Riau

 









Tuliskan Komentar anda dari account Facebook