ALINEA - FATMAWATI ADNAN

Sejuta Kata

Riau | Minggu, 12 Juli 2020 - 10:39 WIB

Sejuta Kata
Fatmawati Adnan

SEBUAH lukisan mengandung sejuta kata. Kalimat ini diucapkan entah oleh siapa, tetapi dapat “diyakini” kebenarannya. Lukisan adalah karya seni yang proses pembuatannya dilakukan dengan alat kuas lukis, pisau palet, atau peralatan lain dengan memulaskan berbagai warna sehingga membentuk sebuah “gambar” tertentu.

Lukisan jauh lebih tua dari tulisan, hal ini dibuktikan dengan peninggalan manusia zaman prasejarah. Mereka menyampaikan kisah, pengetahuan, berita, dan sebagainya dengan lukisan yang digores di dinding-dinding gua.


Sejuta kata yang termuat dalam sebuah lukisan tentunya diperoleh melalui pemaknaan terhadap pesan dan simbol yang disampaikan dalam lukisan itu. Makna yang didapat disinyalir sangat individual bergantung pada perspektif yang memengaruhi interpretasi si pemakna.

“Night Watch” karya agung pelukis Belanda, Rembrandt Harmenszoon van Rijn (1606-1669), yang dibuat tahun 1642 dimaknai secara berbeda oleh orang-orang yang “dirinya” ada dalam lukisan itu. Bahkan, perbedaan makna dalam menginterpretasi adegan aktivitas malam yang misterius itu menimbulkan perselisihan di antara mereka.

Tidak hanya menimbulkan perselisihan, ternyata memaknai sebuah lukisan juga dapat memicu tragedi yang merenggut jiwa. Rahasia senyum Monalisa karya “masterpiece” Leonardo Da Vinci, tak mampu dimaknai oleh seniman Perancis Luc Maspero. Ia lebih memilih kematian daripada harus memahami misteri di balik senyuman misterius perempuan pada lukisan itu.

Vincensius Prio Sumonggo (2014) mengkaji dan memaknai lukisan yang mengandung polemik kaum marjinal sebagai refleksi realitas sosial dalam penciptaan karya seni lukis. Sebelumnya, Aprilia Ramadhina (2011) membedah lukisan pelukis Bali I Gusti Ayu Kadek Murniasih dengan menggunakan perspektif Luce Irigaray untuk memaknai hasrat perempuan melalui lukisan.

Sejuta kata dari pemaknaan terhadap sebuah lukisan tercipta karena kemampuan manusia dalam berpikir dan berbahasa. Manusia mampu berpikir karena dibekali akal yang mendorong mereka untuk memahami sesuatu. Hasil pemikiran itu diwujudkan dalam bentuk bahasa. Sejuta kata dalam memaknai sebuah lukisan merupakan bahasa yang sedang difungsikan.

Aitchinson (1999) menunjukkan bahwa bahasa dan pikiran mencirikan manusia, karena dengan bahasa manusia dapat mengamati dan merenung. Benveniste (1971) mengemukakan bahwa bahasa berbeda dengan semua sistem tanda karena ia dapat menafsirkan dirinya, semua sistem komunikasi lain, dan menjadikan dirinya objek telaah ilmiah.

Bahasa diperkirakan mulai secara bertahap mengubah sistem komunikasi antarprimata sejak zaman hominid. Primata kemudian mulai memeroleh kemampuan untuk membentuk suatu teori pikiran dan intensionalitas. Banyak ahli bahasa berpendapat bahwa struktur bahasa berkembang untuk melayani fungsi sosial dan komunikatif tertentu. Perkembangan itu terkadang diperkirakan bersamaan dengan meningkatnya volume otak. Bahasa diproses pada banyak lokasi yang berbeda pada otak manusia, terutama di area Broca dan area Wernicke (Wikipedia, 2019).

Perbedaan pemaknaan pada awal “Night Watch” muncul terjadi di antara orang-orang yang “foto” dirinya dilukis Rembrandt pada kanvas itu. Harfiah dan realistis.

Hingga saat ini, lukisan yang dipajang di Rijks Museum Amsterdam itu masih “dipandangi” oleh jutaan orang setiap tahunnya. Pemaknaan pada masa sekarang, 378 tahun kemudian, tentunya tidak lagi harfiah dan realistis. Manusia sekarang “mencari-cari” makna setiap simbol, warna, ekspresi, atau apa pun yang bisa dipahami sebagai sebuah kode atau isyarat. Pemaknaan yang dihasilkan menggunakan sejuta kata yang tidak sekadar melayani fungsi sosial dan komunikatif, tetapi melibatkan filosofi dan estetika.

Trask (2007) mendefinisikan bahasa sebagai sebuah sistem formal isyarat yang tunduk pada berbagai aturan tata bahasa untuk menyampaikan suatu makna. Definisi ini menekankan bahwa bahasa manusia dapat dijelaskan sebagai sistem terstruktur tertutup yang terdiri dari aturan-aturan yang menghubungkan isyarat tertentu dengan makna tertentu.

Berkaitan dengan makna yang akan disampaikan dan operasi-operasi kognitif yang dibentuk darinya, bahasa manusia juga unik karena mampu mengacu pada konsep abstrak dan berimajinasi atau menciptakan kejadian-kejadian, baik kejadian-kejadian yang terjadi pada masa lalu maupun yang mungkin terjadi pada masa depan (Trask, 1999).

Bahasa mengekspresikan makna dengan mengaitkan sebuah isyarat dengan maknanya atau isinya. Bentuk isyarat haruslah sesuatu yang dapat dipersepsi, contohnya, dalam suara, gambar, atau gerak isyarat, dan kemudian berhubungan dengan makna tertentu sesuai konvensi sosial. Terkait hal ini dapat dikatakan bahwa manusia itu individual dalam memaknai, tetapi tidak terlepas dari muatan normatif kelompok sosial yang menghidupinya.

Sejuta kata untuk memaknai lukisan berasal dari penyingkapan makna yang termuat pada objek, warna, garis, simbol, dan lain-lain. Relasi dasar dari makna bagi kebanyakan isyarat-isyarat linguistik didasarkan pada konvensi sosial, maksudnya konvensi tersebut terbentuk secara sosial dan berdasarkan sejarah. Dengan kata lain, makna yang ada pada objek, warna, garis, dan simbol; dipahami oleh seseorang berdasarkan kesepakatan yang terbentuk secara sosial, bukan melalui relasi alami antara suatu bentuk tertentu dan maknanya.  

Bila dijelaskan sebagai suatu sistem dari komunikasi simbolik, bahasa secara tradisional terdiri dari tiga bagian: isyarat, makna, dan suatu kode yang menghubungkan isyarat dengan maknanya. Isyarat-isyarat dapat dibentuk dari suara, gerak, huruf-huruf atau simbol, bergantung pada apakah bahasa tersebut diucapkan, diisyaratkan, atau ditulis, dan mereka dapat digabungkan menjadi isyarat kompleks seperti kata-kata dan frasa. Pada ranah inilah semiotik dimainkan sebagai ilmu yang “menolong” manusia untuk memaknai isyarat dan simbol.

Kemampuan manusia untuk menggubah sejuta kata pada sebuah lukisan tidak terlepas dari daya pikir manusia dalam memahami sesuatu. Pemahaman itu sangat dipengaruhi oleh kedewasaan intelektual, emosional, dan sosial. Tidak heran, karena perbedaan kemampuan pemahaman itu, para pemerhati yang memaknai lukisan menghasilkan makna yang beragam. Tentunya pemaknaan yang sesuai dengan “selera” masing-masing. Dan, semua itu sah-sah saja karena pemaknaan bersifat interpretatif dan individual. Namun, tetap saja individu tersebut berada dalam “tekanan” sosial dan sejarah yang melingkunginya.

Sebagai makhluk Tuhan yang memiliki keistimewaan dengan anugerah bahasa, sudah sepantasnya manusia berterima kasih atas “kado” terindah itu. Tentunya disadari dengan pasti bahwa tiada kata-kata yang mampu mencapai makna terdalam untuk menyatakan ungkapan syukur kepada Sang Khalik, meskipun dengan sejuta kata.*

 









Tuliskan Komentar anda dari account Facebook