ALINEA - TEGUH WIBOWO

Bahasa Umpatan di Sekitar Kita

Pekanbaru | Minggu, 02 Agustus 2020 - 11:33 WIB

Bahasa Umpatan di Sekitar Kita
Teguh Wibowo


Kata-kata umpatan telah tumbuh dan mengakar kuat pada suatu masyarakat. Bersanding dengan percakapan sehari-hari. Misalnya, umpatan ‘jancuk’ yang telah menjadi komunal di masyarakat Jawa Timur.

Istilah ‘jancuk’ menjadi umpatan yang kadang diucapkan begitu saja oleh seseorang karena marah atau emosi, karena kesal terhadap aksi orang lain, atau pengaruh objek di sekitarnya. Kendati alasannya karena spontanitas atau sesuatu yang sudah telanjur lumrah, tetap saja menimbulkan kesan negatif bagi pendengarnya. Terlebih bagi orang yang mendapat umpatan, akan merasa risih atau justru balik menyerang.


Kata-kata umpatan bisa jadi lazim karena pergaulan. Menjadi akrab dalam percakapan ketika cangkruk atau nongkrong, misalnya saja dalam pergaulan anak punk, geng, alay. Juga menjadi rasis antarsuporter bola. Namun, ada pula anggapan bahwa istilah ‘jancuk’ sudah mengalami perluasan makna. Bisa mengarah ke pemaknaan negatif atau positif, bergantung konteksnya.

Kata ‘jancuk’ memiliki bentuk lain: dancok, jancok, ancok, ancuk, coeg, atau cok. Dalam bahasa Inggris ‘fuck’, sejenis umpatan (pisuhan). Kata ini sudah familier dan menjadi ciri khas komunitas masyarakat. Di Surabaya, ‘jancuk’ berarti ungkapan kekesalan atau sapaan keakraban bagi kalangan muda. Bahkan, di sebuah hotel di Surabaya menyediakan menu nasi goreng jancuk. Disebut jancuk lantaran saking pedasnya, orang yang makan jadi mengumpat.

Menurut Kamus Daring Universitas Gadjah Mada, istilah “jancuk” memiliki makna “sialan, keparat, brengsek”. Sejarah kata ini masih terbilang rancu. Kemunculannya banyak ditafsirkan karena adanya pelesetan oleh orang-orang zaman dahulu. Ada yang menyebutkan berasal dari nama seorang pelukis Belanda, Jan Cox. Dahulu ditulis pada sebuah tank saat pertempuran di Surabaya, sewaktu melucuti tentara Jepang pada Perang Dunia ke-2.

Menurut Edi Samson, anggota Cagar Budaya di Surabaya, istilah jancok atau dancok berasal dari bahasa Belanda “yantye ook” yang berarti “kamu juga”. Istilah ini populer di kalangan Indo-Belanda sekitar tahun 1930-an. Lalu, dipelesetkan oleh para remaja di Surabaya untuk mencemooh warga atau ketururan Belanda, dan mengejanya menjadi “yanty ok” dan terdengar seperti “yantcook”.

Dalam budaya populer, Sujiwo Tedjo menulis dua buah buku berjudul Jowo Jancuk dan Republik #Jancuker. Budayawan tersebut juga sering menulis kata “jancuk” di akun Twitter miliknya, serta menyebut dirinya sebagai presiden jancuker.

Achmad Tolla dalam buku antologi Dimensi-dimensi dalam Belajar Bahasa Kedua (penyusun Drs. Nurhadi), menuturkan, “Setiap anak yang lahir dengan normal, di dalam dirinya terdapat potensi dasar bahasa ibunya sehingga ia dapat meguasai bahasa itu secara alamiah tanpa disadari. Bawaan bahasa yang dimiliki setiap anak tidak bersifat kompleks, melainkan hanyalah semacam potensi yang memerlukan kreativitas dan pengembangan melalui tahap-tahap tertentu.”

Kita mengenal cikal-bakal bahasa seorang anak adalah dari orang tua atau pengasuhnya. Pemerolehan bahasa kedua berlangsung sesudah seseorang menguasai bahasa pertama (bahasa ibu). Ellis (1986) membagi dua tipe pemerolehan bahasa kedua, yaitu tipe naturalistik dan tipe dalam kelas.

Tipe naturalistik berlangsung secara alamiah, dalam situasi informal sebagaimana lazim terjadi pada anak-anak dalam proses pemerolehan bahasa pertamanya. Tipe dalam kelas berlangsung secara formal, ditandai dengan adanya sarana, prasarana, dan sistem pembelajaran.

Masih dalam buku yang sama, I Nyoman Sudiana juga mengungkapkan, “Bahasa pembelajar kedua sering ditandai oleh adanya penyimpangan-penyimpangan, bisa melalui semua tataran bahasa. Hal ini menandakan bahwa pengajaran belumlah berhasil. Bisa jadi, metode atau teknik yang digunakan untuk mengajarkan bahasa itu tidak memadai.”

Saya teringat pada tetangga saya, seseorang yang sudah dewasa. Ia selalu iseng, menggoda, dan mengajari anak balita untuk menirukan kata-kata umpatan nan jorok. Hal itu ditirukan oleh si anak dan terbawa hingga masa remajanya. Umpatan jancuk, asu, celeng, dan sebagainya, dapat mengurangi nilai etika dan estetika dalam pergaulan sosial. Orangtua, orang dewasa, guru, pejabat, pemimpin, artis, dan lainnya harus mencontohkan adab dan akhlak yang baik.

Pesan Eko Endarmoko dalam buku “Remah-Remah Bahasa”: “Bahasa menunjukkan bangsa atau adab seseorang. Cara berbahasa seseorang mencerminkan kepribadiannya. Adab rada dekat dengan akal, dengan kemampuan mengelola nalar. Cara berbahasa dapat diperbaiki selama adab kita dibenahi.”

Akibat bahasa umpatan dan sarkasme yang dipelihara, pergaulan sosial rentan tersakiti. Demonstran dan aparat yang tidak bisa mengendalikan ego dan emosinya, berubah membabi-buta. Aksi protes berakhir ricuh sehingga terjadi bentrokan yang membahayakan diri mereka sendiri.

Akibat umpatan dan sarkasme di sekitar kita, kehidupan tidak akan kunjung aman dan damai. Amat disayangkan jika terjadi perpecahan antarsuku bangsa, gesekan antarsuporter, antarpelajar, atau antarkelompok. Bahasa umpatan dan sarkasme justru akan memperpanjang rantai permusuhan. Tidak akan mengentaskan kita pada solidaritas. Hendaklah kita menghargai persatuan dan kesatuan yang telah diajarkan oleh para pejuang kita.

Artinya, kesantunan berbahasa memiliki dampak yang luas pada berbagai sendi kehidupan, termasuk keharmonisan bermasyarakat dalam ranah multikultur yang kentara. Sangat diperlukan sikap berbahasa yang menunjukkan apresiasi pada orang lain.

Anak-anak harus diajarkan tata karma berbahasa dan bersikap yang baik sejak dini. Orang tua bisa mewariskan bahasa pertama yang mendidik. Sentuhlah dengan kata-kata santun nan berhikmah. Bentengi dengan iman dan akhlak terpuji. Mengapa? Sebab, apa yang mereka simak sejak kecil akan memengaruhi sikap berbahasa hingga usia dewasa.

Orang tua dan pendidik perlu mendampingi dan membentengi harkat dan martabat anak. Menjadi perantara di dalam pembentukan karakter positif. Alhasil, semoga di masa dewasanya tidak terbawa arus berbahasa yang sarat umpatan dan sarkasme. Kita berusaha mencegah supaya bahasa kotor tidak lestari. Supaya anak-anak tidak terbiasa menirukannya.*

Teguh Wibowo, (Koordinator Divisi Karya di Forum Lingkar Pena Jawa Timur)

 









Tuliskan Komentar anda dari account Facebook