PERISA YUSMAR YUSUF

Modern Syncretism?

Seni Budaya | Minggu, 07 Februari 2016 - 00:03 WIB

Amboiii nian. “…Kami menyatakan keluar dari Islam, menyatakan keluar dari Islam mainstream yang ada di Indonesia”. Begitu luahan penuh aksen dari Mahful  Muis Tumanurung, sang teraju (eks) Gafatar, dengan gaya bahasa yang datar. Bukan pula taqiyah yang selalu menghias perbalahan antara Sunni dan Syiah, yang dia usung. Kajian klasik dan kontemporer mengenai taqiyah, adalah sesuatu yang berseberangan dengan munafik (hypocrite) alias lidah biawak. Munafik (nifaq) juga istilah Alquran dengan makna; “menyembunyikan kekufuran dan menampilkan keimanan”. Sebaliknya, taqiyah adalah; “menyembunyikan keimanan dan menampilkan kekufuran”. Lalu?

Di mana ucapan Mahful tadi hendak ditempatkan? Tak munafik (nifaq), tak pula taqiyah (nuansanya). Dia menampilkan “keimanan (baru)”, sekaligus “kekufuran (baru)” yang semestinya disembunyikan di antara salah satunya. Dua-duanya malah terbuka. Dia mengusung teologi kreol, teologi bancuhan, dengan mengambil “jalan tengah” (seakan-akan tengah) seperti yang mereka fahami sebagai Teologi Abraham yang universal. Amboiii lagi. Sebuah teologi yang menggabung segala bengkalai ajaran Ibrahim yang tersisa. Namun, ada satu yang disembunyikan; yaitu jenis dan pembawaan organisasi ini, apakah organisasi langit atau Divine organization? Mereka bermain di antara celah temaram di antara organisasi sosial dan organisasi langit.



Menggabungkan segala ajaran dan sistem keimanan, bisa saja terperangkap dalam kaidah sinkretisme. Wah, saat ini, siskretisme itu semakin canggih tampilannya, lengkap dengan sistem organisasi yang memayunginya, sekaligus menjadi instrumen dan aparatur yang rapi, sehingga cita-cita teologi ini, juga bisa mengarah pada impian khilafah (kekaisaran langit) yang disokong oleh kaidah apokaliptik serba universal. Meniadakan kaum di luar kaumnya, membangun "kekuatan diam" dan kemandirian, sikap dan hidup kolektif dalam gaya eksodus atau hijrah ke tanah-tanah baru (promised land). Tindakan apokaliptik ini ikut menghias galuran gerakan teologi modern dengan memanfaatkan kecohan global yang menggerus perhatian kita seperti ISIS, Al-Qaidah dan segala bentuk ekstremitas yang dipersembahkan oleh kelompok-kelompok teologi jihadis (teologi maut) di serata bumi. Dalam gaduh teater teologi (jihadis) itulah mereka membangun sel-sel kecil dalam sejumlah ceritera kehilangan demi kehilangan. Kehilangan itu sendiri digenapkan pula oleh sejumlah kaum profesional (seperti dokter dan arsitek) dan kaum terpelajar yang rupa-rupanya telah berhimpun ke tanah baru (promised land@ tanah terjanji); mungkin Kalimantan (persepsi apokaliptik mereka).


Ideologi apocalypse ini, seakan bersambut gayung dengan kekacauan panutan dan tuntunan perilaku dari negara, pejabat negara, pemimpin opini, figur publik. Di sini, masyarakat terpelajar, seakan berdepan dengan kejumudan moral dan perilaku. Tata acuan moral dan perilaku, tak dapat dipanut oleh sejumlah kecil kaum terpelajar. Serba liar. Mereka menemukan figur-figur yang mengklaim diri paling alim dan ahli ibadah, namun perbuatan musyrik dan perilaku korupsi dilakukan secara serempak pula. Di satu sisi kealiman dan kesalehan sudah menjadi komoditas serba terpublikkan, di sisi lain, korupsi dan perusakan nilai-nilai berbangsa dan penghancuran nilai-nilai Islam berlangsung secara masif dalam gaya preman simpang, dalam gaya preman santun, yang lama-kelamaan akan menggerogoti Islam dan negara tempat di mana Islam itu berdiri dan berteduh. Langkanya panutan, model tuntunan dari para pemimpin dan tokoh masyarakat dan adat yang kecoh, dengan media massa yang juga tak kurang kecoh, mendorong sebuah kelompok kecil yang kian membesar  ingin mencari dan menuai “ketenangan”. Mereka menemukan ketenangan itu dalam sebuah himpunan teologi baru dengan menggabungkan segala ihwal langit yang terbungkus dalam ajaran Bapa teologia langit perdana bernama Abraham atau Ibram, Ibrahim atau Braham. Lalu mereka pun kita sebut semacam sinkretisme modern (modern syncretism).


Dalam dua dekade ini, kita menyaksikan bahkan menjadi korban dari lingkungan hidup yang dirusak dan menuju musnah, melalui pembukaan lahan dan alih fungsi lahan. Hutan berubah sontak menjadi perkebunan. Sebelum menjadi perkebunan, hutan harus menjalani serangkaian siksaan maha dahsyat bernama pembakaran lahan dan hutan yang berulang-ulang saban tahun (asap membumbung dan mengepung di negara ini). Dari kekacauan ekosistem ini, mereka rawat ideologi apokaliptik; “Mari kita menanam, dan makanlah dari apa yang kita tanam”. Mereka pun menanam sejalan hukum alam dengan mengusung “tugas penciptaan” dari masing-masing makhluk tanaman. Mereka pun berternak di tanah-tanah baru, tanah eksodus, lalu mereka makan atas hasil ternak sendiri dan tak menggantungkan diri dengan sistem pasar yang juga mainstream dalam fikiran mereka. Pasar mainstream itu tetap dianggap satu bagian dari sebuah sistem mekanis pasar kapitalis yang diurus oleh orang-orang yang tak beriman.  


Sepanjang dua dekade, postur  anggaran (APBN dan APBD) untuk belanja riil, sama sekali tak memihak kepada rakyat jelata. Dari ihwal ini muncul respon mereka dalam bentuk model arisan (yang juga berpembaan apokaliptik) dengan mengaitkannya dengan nilai-nilai langit Tuhan  Semesta Alam (mereka mengolah lahan). Wah mereka amat piawai memainkan sel-sel beku yang tak dipedulikan oleh negara, oleh pemimpin agama, oleh para pengusaha yang tak berhati bajik, oleh para cendekia yang tak berdada bijak. Selorong dua dekade ini, dekadensi moral generasi muda, kian menghunjam ke lembah nista.

Baca Juga : Berharap Hujan

Segala pemimpin berpenampilan alim yang ketika akan mendaftar sebagai calon kepala daerah semua berangkat dan menunaikan shalat sunat di sebuah masjid lalu berjalan kaki dengan para penyokongnya menuju gedung KPU(D) untuk mendaftarkan diri sebagai kalifah di daerahnya masing-masing. Tapi, setelah duduk menjadi bupati, walikota dan gubernur, mereka berbuat sumbang, lalu ditangkap dan dikerangkeng dalam penjara. Panutan dan tuntunan apa yang diperoleh bangsa ini? Amboiii, mereka mengolah sel-sel halus dan membeku ini, dengan memberi harapan dan cahaya baru dalam model yang serba lembut dan hanif. Dan kita pun amat terkejut dan terperagah. Di tengah pengakuan diri sebagai bangsa yang religius dan ramah ini, ada sekuak kaum yang mengeluarkan diri dari rezim religiositas ini dan membangun teologi baru. Wah amboiii mengejutkan. Maka, berkacalah kita di depan cermin masing-masing!***
    









Tuliskan Komentar anda dari account Facebook