Tersebab kata, ia bertahta di mana saja: tanah, hutan, bukit, air, angin dan langit. Itulah puisi ketika tak mengenal di mana ruang dan siapa tuan. Ia datang sebagai sebuah jalan.
TAK lagi lengang. Malam kedua tahun ini, Tepian Mahligai Danau PLTA, Desa Koto Masjid, XIII Koto Kampar, pecah seketika. Kata-kata meletus, memecah senyap alam, muncul dalam ekspresi-ekspresi rupa. Tak ada lagi diam, apalagi sombong. Orang-orang berkumpul, memandang, menyimak, menyimpan geram dan menelan air mata diam-diam ketika kata-kata puisi menghujat, menyumpah serapah, menuntut bahkan membangkitkan kenangan masa lalu yang terkubur di bawahnya.
‘’Kami kehilangan pohon mangga tempat bermain. Kehilangan sekolah, rumah, masjid, kandang ayam, kandang kam bing. Oi, Tek Gayah, Ocu Nan, kampung kita terendam!’’ Aryo berrteriak. Lantang. Suaranya menggema, memantul pada dinding-dinding bukit barisan yang membentang di kanan kiri danau. Tangan kanannya menunjuk ke atas. Tinggi. Bibirnya bergetar. Matanya menerawang jauh ke depan. Wajahnya memerah. Lalu diam menghela nafas panjang.
Malam itu, Suharyoto –akrab dipanggil Aryo- mengisahkan kenangan masa kecilnya yang hilang, terendam di bawah Danau PLTA, tempat ia duduk bersila membacakan puisinya itu. Badannya terapung-apung di atas rakit. Mulutnya mengepulkan asap rokok. Kadang santai dan biasa saja. Tapi, nampak jelas hatinya menyimpan. Ada amarah dalam batinnya. Membuncah, lalu ia muntahkan. Sebuah lampu colok di depannya, di ujung kakinya, memperjelas hatinya yang kacau.
‘’Saya tidak pernah mempublikasikan puisi ini ke manapun. Tapi, diam-diam istri saya mengirimkannya ke Riau Pos. Terbitlah ia di sana. Tapi itu sudah lama. Sejak itu, saya tidak pernah lagi mempublikasikan puisi-puisi saya,’’ kata Aryo sebelum meninggalkan panggung terapung. Ia pun melempar jauh-jauh kertas yang berisi catatan puisi itu ke tengah danau.
Spontan, tepian danau itu bergemuruh. Ratusan orang bertepuk tangan. Bersorak dan berteriak. Sudah pasti mereka pencinta puisi, tuan-tuan puisi: tokoh masyarakat, pemuda, ibu-ibu, anak-anak dan warga Koto Masjid sekitarnya, anak-anak muda dari berbagai komunitas di Pekanbaru sekitarnya dan penyair-penyair Riau. Mereka bergumul dengan puisi, membacakan puisi, menyanyikan puisi, menarikan puisi, menyairkan dan menyiarkan puisi. Bergantian. Bahkan sejak siang belum ditinggalkan malam. Kenduri puisi yang telah dinantikan.
Di dalam pondok kecil tidak berdinding yang menghadap ke danau itulah mereka berkumpul. Penuh. Mereka yang bersila, ujung lututnya saling beradu. Mereka yang menjuntaikan kakinya ke tangga pondok, jarinya basah oleh air danau. Sempit. Cukup gelap. Hanya puluhan lampu colok yang menerangi mereka. Menyebar di segala ruang di tepian itu. Berjejer di sepanjang jalan arah ke pondok, di belakang tenda-tenda dome tempat mereka tidur, hingga menggantung dan menempel di panggung bambu terapung di hadapan mereka.
Suasana kembali riuh. Alat musik Calempong yang dibawa Komunitas Bengkel Seni, Lipatkain, kian nyaring. Dayat alias Acil, terus memainkannya. Doddy RA makin lasak membacakan puisi dengan senandung Malalaknya. Ia bergerak kesana kemari. Panggung terapung utama berukuran 2,5x3 meter makin mengayun, melahirkan riak-riak kecil di sekililingnya. Puluhan lampu terapung di dalam tempurung di samping panggung, juga turut berayun.
‘’Kami menunggu Kenduri Puisi berikutnya dilaksanakan di kampung kami. Kami dan masyarakat siap berkerjasama,’’ kata pembina Bengkel Seni, Dody RA, usai manggung.
Sastrawan, budayawan, penyair Riau, Husnu Abadi dan Aris Abeba terlihat khusuk. Mereka duduk di sudut belakang ruang terbuka pondok. Sementara Herlela Ningsih, duduk dengan kaki menjuntai ke danau di bagian depan pondok. Ketiganya baru datang malam itu. Sekitar pukul 08.30 mereka masuk lokasi Tepian Mahligai Indah dengan berjalan kaki. Hujan yang baru mengguyur sore itu, membuat jalan setapak di dalam hutan karet yang gelap dan cukup jauh dari tepi jalan lintas Riau-Sumbar, semakin licin.