PEMBUKAN PAMERAN RUPA, DRAWING, KARTUN + KALIGRAFI (RUDRAKA) I

Alakadar Galeri Hang Nadim

Seni Budaya | Senin, 03 Februari 2020 - 08:30 WIB

Alakadar Galeri Hang Nadim
Pengunjung pameran Rudraka I di Galeri Hang Nadim.

Pembaca, 19 Januari lalu Galeri Hang Nadim (GHN) diresmikan bersamaan pembukan pameran Rupa, Drawing, Kartun + Kaligrafi (Rudraka) I bertempat di anjungan Kampar, kompleks Bandar Seni Raja Ali Haji, Pekanbaru. Pembukaan pameran dan peresmian galeri seni rupa tersebut ditandai dengan penandatanganan panel di logo galeri oleh budayawan Al azhar. Pendirian GHN yang diinisiasi bebe­rapa seniman seperti Jon Kobet (Junaidi Syam), Furqon Elwe, Saridan, Benie Riaw, dan Rafles tersebut mari kita baca sebagai situasi bahwa sebuah tapak kebudayaan harus dipancangkan. Apapun kondisinya. Berikut kami sajikan tulisan Junaidi Syam, kurator GHN. (red.)

(RIAUPOS.CO) -- Fi ‘ala kalami, saya tetap pakai istilah ‘seniman’ yang berlaku umum lagi mu’tabar sejak dahulu hingga kini, meskipun beberapa tahun lalu istilah seniman sempat diganti dengan istilah “pekerja seni, pelaku seni”. Seniman lazim beroleh gelar sebutan ‘orang gila’. Beberapa orang tua agak khawatir apabila anaknya memilih melanjutkan pendidikan ke sekolah seni. Akan tetapi untungnya Riau tak punya sekolah menenapalagi setaraf institut seni, sehingga Riau belum boleh disalahkan. AKMR pun hidup-hidup kodak bak ikan sepat bernafas satu-satu. Ada juga mertua yang mengurut dada saat tak kuasa menolak menantu seniman. Akan tetapi bila kita cakapkan azas konteks seni dengan terstruktur, maka tidak sedikit pula orang boleh menikmatinya atau bahkan mengkoleksi peri perkataan dan buah karya seniman. Bahkan ada jua orang tua yang bangga atas kesenimanan anaknya. Terutama dari keluarga mapan yang tentu beranak ‘seniman mapan’.


Ternyata, penolakan, kekhawatiran atau kerunsingan fikiran publik terhadap seniman itu tidak lain tidak bukan karena melihat sekian jenis aspek yang senantiasa bersegelayut di kuduk si seniman, yaitu; pertama berfikiran bebas dan suka-suka, kedua perahu nasibnya tak jelas arah, ketiga masa depan kabur, keempat tidak pandai mengatur jadwal ketat, kelima semuanya alakadar, dan seterusnya.

Saya akan kelubak istilah kelima, yakni ‘alakadar’. Asalnya pasti dari bahasa Arab yang masuk ke dalam bahasa Melayu, ‘ala qodar’ (atas sukat takat kehendak Allah pada azal) bermakna; segala seri zat, sifat dan af’al apa adanya yang hakiki tanpa dapat dirubah semena-mena. Maka berkata tuan guru dalam kajian ilmu tasawuf Melayu, tentang alakadar, yakni; menyerahkan hasil amal perbuatan sesuai kehendak Allah. Kenyataannya sering dianggap sederhana atau kurang dari standar harapan akan tetapi tidaklah demikian. Alakadar memiliki kekuatan yang disebut kudorat, yakni; kekuatan luar biasa di sa’at yang istimewanya. Apabila telah habis tengang masa berfikir maka menyerah tunggang pada qodho dan qodar Allah itulah yang melahirterbitkan kudorat seketikanya.

Alakadar tidak bermakna menyerah, meskipun itu menyerah dalam sekali waktu. Sesuai dalam ungkapan Melayu; kalau tak penuh ke atas biarlah penuh ke bawah, asalkan mengisi, asalkan menuang. Tak dapat tiada, bersyukur atas yang ada dan bersabar atas yang tak ada atau belum ada. Artinya, lebih baik berbuat daripada tidak sama sekali. Lembaga dituang menurut ukuran kadar isi tuangannya. Pantang seniman Melayu melimpahkan isi.

Kesederhanaan sudah jadi tabi’at orang Melayu. Ungkapan-ungkapan merendah ditunjukkan sebab kefahaman soal ketidakmampuan manusia dalam banyak hal. Apabila dipaksa jua dikhawatirkan akan menyusup kekuatan setan. Timbul angkuh sombong tidak menerima takdir sukatan diri. Sebab nyata bahwa ‘bayang tubuh’ hanyalah sepanjang badan, dan apabila lebih dari itu maka setanlah yang punya, ‘bayang-bayang’ namanya, berubah-ubah panjang pendeknya. Demikian nasihat orang-orang tua kita. Pantang menghejan tuah.

Hari-hari pun saya lihat seni rupa Melayu lahir alakadarnya. Syukur alhamdulillah masih ada dalam kadar qodho qodar Allah. Tak lebih dan tak kurang masih setakat meniti di atas sukatan Melayu. Memang sepatutnya begitulah jua selamanya sebab kita ini Melayu yang harus bersabar. Segala yang diluar kadar sukat takat Melayu, tiada patut dibuat. Hanya saja, empat sudut kadar patut Melayu yang azali tiada lagi banyak kita yang tahu, tiada pula ramai orang yang mau selidikinya. Sebab sudah kadarnya zaman ini melalaikan orang-orang muda Melayu dari pengetahuan tentang kadar diri dan qodarullah (kehendak Allah). Hidup hendak senang di dunia menyebabkan orang lupa bahwa dunia ini dikadarkan Allah tempat susah payah. Sedikit senang lebih banyak susah sakit alan diterima. Berulang saya ungkapkan bahwa yang perlu diketahui orang Melayu adalah, bahwasanya “ibunda kitalah yang pertamakali ditimpa rasa sakit, tatkala melahirkan buah hatinya”. Demikian juga “Melayu inilah yang pertama kali sakit saat melahirkan bangsa Melayu ke muka dunia fana”. Akan tetapi ibunda dan Melayu itu ada dalam kadar Allah jua pada azal. Tinggal lagi kita hendak kemana akan melangkahkan kaki. Menuju ingat atau alpa?

Adapun sampailah pada putik kalam kita hendak mengabarkan kadar Allah pada seni rupa Melayu. Tak dapat tidak bahwa perlu ada alas hukum untuk tegak mensyurahkan bahwasanya Melayu ada menyimpan catatan sejarah seni rupa. Jika tiada disebut peri kesenimanan Laksamana Hang Nadim dalam Sulalatussalatin, sampai airmata kedarah sekalipun tiada kita beroleh asbab musabab awal bertumpu hendak memajukan seni rupa Melayu ini. Tiada lagi boleh ucapkan “hanya saja”, melainkan kita laungkan “saja semata-mata” bahwa patut Melayu itu menganjungkan nama Hang Nadim kan jadi identitas jati diri seni rupa Melayu (basis historis). Laksamana Hang Nadim ini ‘ala qodar-nya jua kami sebut ‘arsy Hang Nadim, yakni berazas landas akan perannya sebagai seniman Melayu serba bisa.

Membalaskan budi Melayu itulah maka Gallery Hang Nadim (GHN) untuk pertama kali disebut lantas diresmikan di bumi Lancang Kuning kota Bertuah lagi madani sebutannya. Adapun segala mata kegiatan yang dirancang dalam setiap helat kenduri GHN dimaksudkan untuk mengikatsatukan kita yang terbilang Melayu dan serumpun Melayu ini. Hakikatnya menyatukan ukhuwah islamiyah yang tercerai berai. Tidak lagi pandang kecil besar atau lecehnya kegiatan-kegiatan yang ditaja GHN, melainkan lihatlah jua pada maksud wa maktubah ilaihi adanya GHN.

Mudah mudahan, dari GHN yang alakadar bi qodarullah ini, semakin tersambung erat jalinan seni dan berkesenian antar bangsa-bangsa Melayu yang terserak di muka bumi Allah. Wallahu a’lam bishowab.

*Junaidi-Syam, adalah seniman-budayawan. Tinggal di Pasirpengarayan.









Tuliskan Komentar anda dari account Facebook