OLEH: YUSMAR YUSUF

Barus, Parsi dan Sesudahnya...

Seni Budaya | Minggu, 02 Agustus 2020 - 09:05 WIB

Barus, Parsi dan Sesudahnya...

Barus di sebuah siang, 13 tahun lalu. Saya memanjat perlahan makam mahligai, di tengah terik matahari samudera Hindia. Hujan renyai pecah di tengah panas, kian menggetar. Kian mendegub. Apa yang dicari? Sebuah realitas kah, atau malah sebuah abstraksi perjalanan spiritual yang terkesan platonik? Terkadang, kejelitaan platonik itu bisa mengganti posisi nafsu serba banal.

Bahwa yang telah lenyap dan hapus itu adalah sebuah realitas, dalam paham platonik. Bahwa yang tak terlihat dan menghilang dari pandangan kita itu, sejatinya adalah realitas itu sendiri (reality as such). Bahwa apa-apa yang dihidang hari ini dalam pandangan mata, hari ini secara fisik, lalu bakal menghilang pada sebuah masa, juga adalah sebuah realitas yang pernah ada dan selanjutnya, dia membangun semacam “kemiripan-kemiripan misteri” yang telah menjadi “saldo” di balik alam sana. Bermimpikah kehidupan ini? Atau malah, bahwa kehidupan memimpikan kehidupan? Atau sebaliknya; mimpi meng-kehidupan-kan mimpi. Dan, tak salah jika dalam adagium Latin selalu diungkap bahwa “la vida es sueno”  (kehidupan adalah mimpi).


Di puncak bukit makam mahligai, berjejer tonggak-tonggak batu warna lusuh alami, tegak menjadi saksi tentang kehadiran dalam senyap. Bahwa dalam senyap dan sunyilah kehadiran itu datang. Kita yang menziarahinya pun berlaku diam, tegun. Dalam diam, tegun dan pegun itulah terselip “kehadiran sejati”. Sebuah kehadiran di masa lalu yang besar,  agung. Lalu, mengapa makam-makam di Barus menempati bukit, atau malah cangkat (anak gunung)? Tak lain ingin mengabarkan bahwa di sini, kehidupan spiritualisme adalah bagian dari denyut kehidupan kosmopolitanisme Barus itu sendiri.

Kosmopolitanisme itu adalah hasil dari sejumlah interaksi yang saling jahit berjahit di antara ragam bangsa dan aliran spiritual yang pernah hinggap dan bermukim di tanah Barus. Barus lebih mengedepankan sisi kosmopolitanisme dan sejumlah derivasinya, bukan metropolitanisme yang terkesan bisnis dan dagang semata. Walau, pangkal hiruk pikuk semua itu berawal dari peristiwa pasar kamper, kemenyan, lada yang hilir mudik, dipunggah dan muat di pelabuhan Barus era Lobu Tua atau setelahnya. Namun, Barus ingin mempersaksikan dirinya sebagai satu tanah kosmopolitan di pulau Sumatera pesisir barat.

Persia, per defenisi artinya adalah “inilah tanah bangsa Aria” (Parsia). Ada satu puncak gunung adidaya yang disegani di permukaan bumi yang pernah memerintah di tanah Persia, inilah era Sasaniyah (Sassanid). Orang modern, menunjuk tanah Parsia hari ini adalah Iran. Dan Iran bagi sebagian pengelana ilmu dan hikmah dijuluki sebagai “Jerman-nya Asia”. Di sini, terlahir dan terhimpun segala penemu, ilmuan kelas wahid, penghayat jalan spiritual, penyair, astronom (Omar Khayam), ahli matematika (Kwarizmi), sufi besar (Rumi, Mula Sadra, Suhrawardi), ahli fiqih, ahli atom, metafisika. Ingat penemu Lexus di era modern ini adalah seorang Iran. Dan Jerman itu bagi Eropa adalah bangsa yang paling spiritualis; kehidupan mereka amat halus, hari-hari mereka dibungkus oleh syair-syair tinggi, novel garda depan, lirik-lirik lagu yang mempesona, keindahan nada musik yang tak terbayangkan oleh tone dunia timur, dihiasi serangkaian pemikiran abstraksi filsafati yang jeluk-menghanyut, prinsip-prinsip dasar “humanisme” yang memucuk. Mereka tak diajar marah, sehingga mereka tak tau marah dan tak tau cara marah. Ketika muncul seorang “anak nakal” bernama Hitler, mereka terpinga-pinga, kaget, tak tau harus berbuat apa. Tak tau cara bagaimana mengorganisasi marah. Bagi Jerman, Hitler dan Nazi itu adalah sejarah kelam.    

Begitulah Barus, dia menjalani kesemestaan jalan spiritual dari beragam kepercayaan yang pernah hinggap di tanah ini, tak lepas dari stilasi interaksi dengan peradaban besar Persia. Kamper (kapur barus) sudah dikenal pada masa kemaharajaan Sassanid, paling tidak pada abad ke-4 M. “Seorang tabib Yunani yang mukim di Mesopotomia bernama Amida, menjadi pencatat pertama tentang kamper di Barat dalam karya Actius (502-578 M). Lalu, oleh Imru al-Kais (530-an M), seorang penyair dari Hadrami yang juga bermukim di kerajaan Sassanid, mengutip catatan ini. Terdapat juga kronik catatan ketika pasukan Arab merebut istana Chosroes II di Madan (683 M), yang terletak di tepi Tigris, ditemukan sejumlah tempayan penuh dengan kamper yang pada mulanya dikira garam.  Selain itu, Al Quran mencatat istilah kamper berhubungan dengan penggambaran surga yang memiliki sebuah mata air berkamper” (lihat Guillot, 2008).

Kamper termasuk dalam daftar jenis obat-obatan era Sassanid abad ke-6 M. Dari wilayah Parsi ini pula kamper diperdagangkan ke Cina lewat jalur sutera (overland). Dalam catatan kronik, diperkirakan hubungan Barus dengan Persia telah berlangsung pada era Lobu Tua, atau malah era sebelumnya. Yang menarik dari catatan Abu Salih al-Armini, bahwa “di Fansur (tempat asal kamper), terdapat  komunitas Nestorian (Nasturiyah) dan sebuah gereja yang dipersembahkan kepada Maria. Sa’id b. Al Batriq menyusun serpihan catatan yang diberi tajuk Kitab Nazm al-Jawhar (910) yang menghimpunan catatan terserak dari peristiwa abad ke-7 M, ketika dikoreksi lewat catatan Armini, maka jaringan Kristen maritim dari Persia ke Cina sebelum abad ke-7 M karena komunitas Kristen sudah ada di Kalah (Semenanjung Melayu) dan Eredia, mencatat penemuan sebuah salib Nestorian di Melaka adab ke-17”. Ditarik simpulan kecil mengenai ini: “Jika... jaringan beragama Nestorian menghubungkan Barus dengan Teluk Persia melalui Srilanka dan pantai Malabar, khususnya Quilon. Donkin memberi catatan tentang kamper dan peranan penting kota Gondeshapur, di Mesopotomia tempat orang Nestorian bersua dengan orang India, Yahudi dan orang Arab dalam rangka memperkaya senarai obat-obatan dan penyebaran kamper di dunia Barat” (elaborasi dari Guillot).


Barus, dalam kosmologi Batak dianggap sebagai gerbang “na jau” tempat “banso Batak” berkenalan dengan sesuatu nan jauh, yang sayup, yang berada di luar alam Batak. Gerbang, berfungsi sebagai jabat tangan, sekaligus ancaman. Gerbang, tempat berlangsungnya sesuatu yang di luar dugaan kebudayaan. Walau di satu sisi, Barus dan Pancur masuk dalam kosmologi pesisir (Melayu), namun bagi kosmologi Batak, mempersepsikan Barus sebagai “horja” satu rumpun. Di sini klaim “horja” Pasaribu. Malah ada versi lisan yang mempertautkan bahwa Hamzah Fansuri itu bermarga Pasaribu (walau perlu pembuktian). Satu kronik versi Batak, mencatat dalam bahasa Melayu tentang ekspedisi Guru Marsakot (putera Alang Pardoksi) yang turun ke Samudera Hindia untuk mencari tapak mendirikan kampung; “... suda barapa lamanya berjalan maka bertemu satu pincuran dia tinggal sedikit hari di sana dia kasi nama itu tempat Pancur...”. dalam eskpedisi itu Guru Marsikot bersua dengan beberapa orang Cheti (Keling) yang terdampar, karena perahu bocor. Dia tak menghardik orang Cheti. Di Barus, di Pancur, Guru Marsakot menghidang sisi kosmopolitanisme perilaku, bukan malah menerjang. Di Barus, semua bangsa hidup berdampingan dalam sisian kepercayaan yang tak beririsan. Barus, “tanah cinta”...

 









Tuliskan Komentar anda dari account Facebook