MEMBACA BUKU PAKAN BAROE: NADI SUMATRA YANG TERLUPAKAN, 1800-1950 (2-HABIS)

Riset dan Cetak Buku dengan Uang Sendiri

Seni Budaya | Minggu, 02 Juli 2023 - 11:26 WIB

Riset dan Cetak Buku dengan Uang Sendiri
Bayu Amde Winata bersama timnya saat melakukan riset ke Malaka, beberapa waktu lalu. (INSTAGRAM BAYU AMDE WINATA)

Demi keinginannya agar bukunya bisa terbit, Bayu Amde Winata menggunakan uang sendiri untuk riset dan menerbitkan bukunya.

RIAUPOS.CO - KETIKA buku Pakan Baroe: Nadi Sumatra yang Terlupakan (1800-1950) diluncurkan, banyak mendapat perhatian dari kalangan akademisi, juga para peneliti sejarah. Ketika bedah buku oleh Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), kebetulan yang membedah  Krisna Bramantyo dari Universitas Indonesia (UI), dia kaget, “Jadi juga buku ini,” katanya. 


Krisna senang karena ada penulis sejarah dari Riau, meski bukan dari kalangan akademisi. Menurutnya, sejarawan publik sudah mulai ramai di Jawa. Artinya, tidak lagi hanya orang-orang yang berpendidikan sejarah murni secara akademis yang bisa menulis buku sejarah. Tetapi dengan pemahaman dan sudah memiliki latar belakang --terutama punya ilmu dalam membangun kerangka berpikir sejarah-- itu juga sebetulnya sudah memiliki kesempatan, terutama dalam penulisan sejarah publik. Krisna, kata Bayu, melihat buku ini juga termasuk menjadi narasi penting dalam sejarah publik karena ada orang yang secara kademis tidak berpendidikan sejarah, tetapi mimiliki passion untuk menulis, karena kerunutan dan mencari arsip itu tidak gampang.

Namun hingga hari ini, komentar yang mengkritisi karya ini sebagai buku sejarah belum banyak ke substansi. Misalnya masih sebatas mengapa menggunakan narasi Pakan Baroe. Bayu menjelaskan,  masih pakai sudut pandang ejaan lama, yakni Van Ophuijsen, saat Belanda menulis Pekanbaru menjadi Pakan Baroe. 

“Setelah dibedah BRIN oleh empat profesor sejarah,  menjelaskan bahwa publik punya kesempatan untuk menulis sejarah lokalnya. Menurut mereka itu penting karena selama ini sejarah dilihat dari sudut pandang Jawa sentris atau Jakarta sentris. Dengan menulis sejarah tentang Riau oleh orang Riau sendiri, ini penting sebagai sebuah identitas daerah kita sendiri,” kata Bayu.

Bayu memang bekerja keras untuk buku pertamanya ini. Dia berkorban dengan dana sendiri yang jumlahnya tidak kecil, baik untuk riset maupun menerbitkannya. Dia mengaku sudah sepakat dengan istri untuk menabung dari rezeki yang didapatkan. Kebetulan mereka berdua suka jalan, jadi sambil jalan sambil riset. Misalnya ke Kepri atau Malaysia melihat beberapa titik yang kira-kira dianggap penting dalam buku ini. Juga berbagai daerah lainnya. Bantuan dari pemrintah benar-benar tidak ada, baik saat riset turun lapangan maupun secara digital (paket data) saat mencari sumber arsip. Sejak bergerak 2017 di Pekanbaru Heritage Walk, mereka memang tak meminta dana atau funding dari siapa pun. Bayu benar-benar mengandalkan rezeki, yang kemudian diputar-putar untuk riset dan penerbitan.

Bayu bersyukur, pasar merespon baik bukunya. Hingga kini sudah terjual 300 eksemplar. Lumayan untuk mengembalikan dana riset dan biaya percetakan. Sebenarnya tak terlalu banyak jika dilihat dalam industri buku, namun untuk indie, terjual sebanyak itu sudah lumayan baik.  Yang Edisi II ini sudah di-closing penjualannya. Dua tahun ke depan, katanya,  baru dijual Edisi III. 

“Dalam dua tahun ini saya sedang menyiapkan sejarah tentang Laksamana Raja Dilaut dan Sejarah Bagansiapiapi. Baru setelah itu menerbitkan Edisi III,” terangnya lagi.

Bayu lahir di Pekanbaru 9 Mei 1985. Dia menyelesaikan SD hingga SMA di Pekanbaru juga. SMP 4 dan SMA 8. Kemudian kuliah di Teknik Sipil Universitas Gadjah Mada (UGM), lulus tahun 2010. 2011 dia ikut workshop di Geleri Foto Antara yang dimentori Oscar Motullah. 2003-2014 dia masih berada di Yogyakarta  dan Jakarta. Yang menarik, dia tak pernah kerja di bidang teknik sipil, bidang akademis yang dipelajarinya. 

Setelah lulus kuliah,  dia  malah bekerja di beberapa media, di Yogyakarta maupun Jakarta, termasuk di Indonews, di deks traveling. Tetapi akhirnya media itu tutup dan dia pulang ke Pekanbaru. Jadi secara keilmuan, katanya, dia sudah mengerti bagaimana cara menulis. Artinya, karena bekerja di media itu, dia sudah mengerti bagaimana membangun kerangka karangan, kerangka berpikir, dan hal lainnya dalam sebuah penulisan. 

Begitu ikut bimtek di Kemendikbud itu, dia mengaku jadi lebih mengerti, jadi dipertajam oleh para pembimbing. Dari situlah semakin berkembang narasi menjadikan penulisan sejarah sebagai salah satu keahlian yang bisa masuk dalam CV-nya. Karena telah bimtek itu, ada lagi seleksi paper, ada 15 orang yang kemudian dikirimkan untuk mengikuti sertifikasi penulis sejarah dari BNSP (Badan Nasional Sertifikasi Profesi). 

“Alhamdulillah, saya lolos. Jadi selain sudah mendapatkan bimtek, ditambah sudah bersertifikasi sebagai penulis sejarah. Kalau kemudian ditanya kenapa memilih penulisan sejarah, mungkin dari proses perjalanan waktu dari seorang fotografer, menjadi jurnalis tulis, traveling, akhirnya merambah ke dunia penulisan sejarah,” ujarnya.

Saat tiga tahun kembali ke Pekanbaru, dia mendirikan Pekanbaru Heritage Walk 2017. Di sana ada Yuli Nasution, Mike Agnesia, Reviantori, dan Iwan Syawal, yang hingga kini masih berkutat dengan Sungai Siak dan sekitarnya. Lembaga itu, kata Bayu, juga belum punya funding, tetapi mereka bergerak di pariwisata dengan membuat trip event. Uang dari trip itu disisihkan sebagian untuk uang kas. Dari uang kas itu mereka sempat ke Penang, Johor, Malaka (Malaysia) dan berbagai daerah lainnya di Indonesia, untuk belajar bagaimana mengelola heritage. Kata Bayu, mereka sadar bahwa mereka bukan gerakan ideal karena sampai hari ini belum fokus mencari funding. Ada idealisme yang mungkin belum cocok jika bicara atau dihubungkan dengan funding. Mereka juga tidak berbisnis, tapi memang hanya bergerak melakukan sesuatu. 

Di bagian lain, Bayu menjelaskan, saat ini pemerintah sedang menggalakkan Jalur Rempah. Namun sayang di Riau narasi ini tidak terdengar gaungnya. Padahal Riau dengan Pekanbaru, Bukitbatu, dan Kabupaten Siak dengan Istana Siak itu  bagian dari jalur rempah.

“Sayang kalau kita tak ambil bagian padahal ini program dari Kemendikbudristek juga,” jelasnya.
***

DALAM ulasan kritisnya tentang buku ini di garak.id, sastrawan Raudal Tanjung Banua mengatakan, dengan membicarakan Pekanbaru,  kita seakan diajak memulainya dari hilir, bukan dari hulu di mana sungai sejarah itu mengalir. Menurutnya, Bayu menyodorkan perspektif ini dalam melihat posisi strategis ibu kota Provinsi Riau di masa lalu, kini, dan masa datang.

Selat Malaka dapat dikatakan kawasan hilir. Meliputi titik penting: Malaka, Penang dan Tumasik (Singapura) sebagai sentra perdagangan. Lalu Johor, Bintan, Penyengat, dan Lingga sebagai ibu kota kerajaan. Maka kawasan ini merupakan pusat geliat ekonomi di satu sisi, dan pusaran politik regional di sisi lain. Berbagai situasi di hilir berpengaruh ke hulu.

Kawasan hulu merujuk daratan Riau dengan sejumlah sungai besar yang bermuara di Selat Malaka. Salah satunya Sungai Siak, sungai terdalam di Indonesia. Alurnya dapat dilalui kapal berbagai ukuran dengan jangkauan pelayaran yang jauh. Tentu melewati titik-titik penting seperti Sungai Pakning, Bengkalis, Bukit Batu, Senapelan, Buantan, Mempura hingga Petapahan. Titik tersebut sebagian merupakan pusat penghasil dan pengumpul komoditi, sebagian lain berstatus ibu kota kerajaan.

Siak, ujar Raudal, merupakan hinterland negeri-negeri selat. Berbagai komoditas dihasilkan dan dipasok ke pusat-pusat perdagangan di hilir tersebut. Mulai dari hasil hutan seperti kayu terbaik pembuat kapal, rotan, damar, jerenang, lilin lebah, kapur barus, gading gajah, hingga telur ikan terubuk. Hasil tambang meliputi emas, timah, dan batubara. Hasil perkebunan tercatat gambir, karet, dan tembakau.

“Produk unggulan berganti-ganti sesuai permintaan dan harga pasar. Namun produk unggulan lain tetap stabil, seperti kayu bahan baku kapal. Kayu tak tergantung pasar global karena dibutuhkan terus-menerus sehubungan kian meningkatnya armada laut. Karena itu kayu jadi daya tarik sekaligus daya tawar Kesultanan Siak. Siak pernah memindahkan ekspor kayunya dari Malaka (Belanda) ke Penang (Inggris), semacam upaya diplomatis, membuat pihak yang butuh kelabakan,” ujar lelaki yang suka menulis tentang kota-kota yang disinggahinya itu.

Bandar penting Kerajaan Siak adalah Senapelan. Saking panjangnya pembicaraan dari hilir, Senapelan, tulis Raudal, baru disebut Bayu pada halaman 44. Disebutkan, tahun 1747 Raja Kecik mangkat, digantikan Raja Mahmud. Ia menunjuk Said Muhammad sebagai Syahbandar Senapelan. Saat itu Buantan sebagai ibu kota kerajaan menurun pamornya karena Raja Mahmud konflik terus-menerus dengan Raja  Alam, kakaknya lain ibu. Akibatnya omset perdagangan Buantan turun drastis, dan ekonomi lesu. Pusat kerajaan pun dipindahkan ke Mempura. Juli 1763, Raja Alam yang gantian jadi raja, sekalian memindahkan pusat kerajaan ke Senapelan.

Senapelan sendiri bukan wilayah tak bertuan. Daerah ini dipimpin Batin Senapelan, dengan empat datuk: Datuk Merpusun, Sai, Kelantan dan Merbadak. Mereka bertanggung jawab atas nasib Suku Gasib, Senapelan, Mandau, dan Betung. Mereka menjemput raja Yam Tuan Belang ke Pariangan, dan mendirikan Kerajaan Gasib di Merangai, Senapelan.

Meskipun mengambil Pekanbaru sebagai judul utama, kata Raudal, buku ini tidak merenteng kronik kota secara lempang. Justru terasa dominan perseteruan terus-menerus Raja Alam dan Raja Mahmud. Termasuk kisah pengembangan wilayah Siak ke utara, penyerangan ke semenanjung dan tarik-ulur dengan penguasa Eropa.


“Tapi jika yang dimaksud Bayu adalah ‘titik nadi’, maka ‘yang terlupakan’ hari ini sebenarnya bukan hanya Pekanbaru. Melainkan sungai secara keseluruhan yang merupakan ‘urat nadi Sumatra’ di masa lalu. Meski tentu nadi juga bisa berdetak dalam konteks ‘titik nadi’ yang merepresentasikan ‘titik-titik nadi’ lain di sepanjang urat nadi sungai historis itu,” ulas Raudal.***

Laporan HARY B KORIUN, Pekanbaru









Tuliskan Komentar anda dari account Facebook