Rumah Nonblok diinisiasi oleh anak-anak muda yang resah dengan dunia kesenian kontemporer di Riau. Mereka berusaha membangun entitas seni dan budaya secara kolaborasi yang
berkelanjutan.
RIAUPOS.CO - DUNIA kesenian terus berlari dan berkembang. Banyak lahir seniman kreatif, namun tak memiliki ruang untuk membangun dan mengeksplorasi kreativitas tersebut yang akhirnya kemampuan mereka terbentur tembok dan sesuatu yang kosong. Ruang-ruang kreatif itu tak banyak dibangun oleh otoritas lokal di Riau. Jika pun ada, ianya dikelola apa adanya, asal ada dan jalan, dan yang penting anggaran terserap. Ukuran dan hasil yang dicapai kadang tak jelas.
Keresahan-keresahan akan hal tersebut kemudian membuat banyak seniman dan budayawan memilih membuka ruang kreatif sendiri yang terbebas dari “intrvensi” pemerintah, padahal peran pemerintah harus ada di sana. Sikap kaku dan kerja asal jadi itulah yang kemudian membuat peran itu tak muncul karena kreativitas tak bisa hidup dengan cara seperti itu. Maka muncullah kantong-kantong seni dan budaya partikelir seperti yang dilakukan Suku Seni Riau yang dikelola Marhalim Zaini, forum-forum Taman Bacaan Masyarakat (TBM) yang tersebar di banyak daerah, sanggar-sanggar seperti Laksemana (tari) yang dikelola Iwan Irawan Permadi, atau teater yang dilakukan oleh Fedli Aziz (Selembayung), ruang seni rupa seperti Galeri Hang Nadim yang digerakkan Furqon LW dkk, dan banyak lagi. Kantong-kantong seni dan budaya yang mereka bangun tetap hidup, meski harus diakui mereka harus “berdarah-darah” untuk terus eksis.
Dalam kondisi dunia seni dan budaya Riau yang seperti itu, Rumah Nonblok hadir dengan harapan yang lebih tinggi dalam ikut membangun dan mengembangkan ekosistem seni Riau yang berkelanjutan. Nonblok berada di bawah Yayasan Sirih Merah Sikukeluang yang sebelum berbadan hukum masih bernama Rumah Budaya Sikukeluang. Selain Nonblok, ada Rimbangbaling yang fokus pada pengelolaan festival dan beberapa program di hutan Suaka Margasatwa Rimbang Baling.
Dengan tagline “Laboratorium Ekosistem Seni dan Budaya Kontemporer”, Nonblok ingin menjadi salah satu ruang arus utama –bukan alternatif lagi— dalam membangun dunia seni-budaya kontemporer di Riau dengan kolaborasi interdisiplin.
Menurut Adhari Donora, salah seorang pendiri dan pengelola Rumah Nonblok, konsep Rumah Nonblok adalah menjadi laboratorium mereka yang ingin berkegiatan di ranah seni dan budaya kontemporer. Ada beberapa genre yang ada dalam ekosistem di Nonblok. Ada seni rupa, pertunjukan, musik, fotografi, video, fashion, taman bacaan, usaha bidang kopi, teater, merchandise, dll. Karena ini labaoratorium, maunya ekosistemnya ini jalan semua. Seninya jalan, ekonominya juga jalan. Dan yang di luar ekosistem ini juga terdampak.
“Jadi secara keseluruhan diharapkan menjadi ekosistem seni dan budaya bisa hidup dan berkesinambungan,” ujar lelaki yang baru pulang dari Busan, Korea Selatan, dalam residensi seni rupa, itu, kepada Riau Pos, Rabu (29/3/2023).
Beberapa lembaga, komunitas, atau platform yang tergabung di Rumah Nonblok ini, menurut lelaki yang dipanggi Ade atau Antirender ini, sebenarnya mereka terbangun sendiri-sendiri. Ada yang personal ada yang kolektif yang terdiri dua atau beberapa orang. Masing-masing yang ada dalam ekosistem ini juga punya program sendiri-sendiri. Tapi mereka juga bisa mengakses atau melakukan program itu bersama. Bisa kolaborasi satu dengan lainnya. Misalnya Kotak Baca bisa bekerja sama dengan Biro Visual Artistik dalam membuat sebuah program. Atau bisa kolaborasi dengan yang lainnya lagi.
Mereka yang terlibat dalam ekosistem Nonblok ini adalah Biro Visual Artistik, Kotak Baca, Tangan Laras, Teater Lorong, Wel.di Studio, Ruge Production, Kebun Penuh Gulma. Saat peluncuran Nonblok pada Ahad (26/3/2023), ada tema besar yang dipilih, yakni “Kalibrasi”. Tema ini bermaksud menyesuaikan sebuah parameter antara masyarakat dengan apa yang dilakukan oleh Nonblok. Dalam dunia desain, kalibrasi adalah penyelarasan berbagai warna dalam sebuah karya utuh. Itu berarti menguatkan semangat kolaborasi dari berbagai pihak untuk berjalan bersama membangun entitas.
Dalam membangun ekosistem seni, Nonblok akan melakukan tiga hal utama, yakni penelitian, pengabdian masyarakat, dan pengembangan. Ketiganya merupakan kunci bagi Nonblok dalam bekerja. Penelitian menjadi satu hal yang penting dan utama, kemudian pengabdian masyarakat akan melibatkan masyarakat sekitar, sedangkan pengembangan yang dilakukan adalah membangun ekosistem ini agar lebih baik dan lebih kuat dalam berbagai hal yang dilakukan. Misalnya membuat iven, pertunjukan, pelatihan, lokakarya, kuratorial, pameran, dll.
Rumah Nonblok, menurut lelaki kelahiran Pekanbaru 40 tahun lalu itu, lahir karena keresahan dan keinginan yang besar. Menurutnya, Pekanbaru atau Riau sebetulnya punya potensi berkembang di bidang seni dan kebudayaan. Misalnya pada tahun 2017, ada Pekan Seni Media. Di sana muncul budaya dan seni kontemporer, dengan perpaduan multidisiplin: ilmu pengetahuan, teknologi, sain, dan budaya. Itu menjadi daya upaya bagaimana mengembangkan kebudayaan kontenporer, terutama pada kalangan anak-anak muda. Fokus tetap kepada bagaimana membangun kebudayaan dengan konsep trandisplin tadi ke wilayah yang lebih luas, yakni Indonesia, atau Asia Tenggara. Hal itu akan dilakukan dengan membuat festival, pelatihan-pelatihan, juga residensi seniman untuk berkarya. Hal yang penting juga memperkaya wacana agar mereka yang berada di ekosistem Nonblok maupun mereka yang ada di luar, bisa saling saling berhubungan dalam membangun seni dan kebudayaan ini secara bersama-sama.
“Saya percaya kita punya potensi hingga ke sana,” ujar lulusan S-2 Program Kajian Budaya dan Media Universitas Gadjah Mada (UGM) tersebut.
Menurutnya, ekosistem seni dan budaya Riau, dari sisi seni rupa yang menjadi bidangnya, masih ketinggalan dengan daerah lain karena banyak hal. Misalnya, Riau tak punya sekolah seni lagi setelah AKMR ditutup, meski sebenarnya dulu di sana seni rupa juga tidak ada. Untuk sekelas provinsi, meski ada fakultas budaya di Unilak atau UIR dan beberapa universitas lainnya, tetapi kurang pas kalau tidak ada universitas atau institut yang khusus ada seninya. Sedangkan literasi saja Riau masih tertinggal. Seperti hasil survei beberapa waktu lalu, literasi di Riau nomor dua dari bawah di Indonesia. Padahal Riau pernah dijuluki Negeri Sohibul Kitab karena banyaknya buku yang diterbitkan. Namun ternyata kini tingkat literasinya rendah.
Dengan tidak adanya sekolah seni, ujar Ade, hal itu kurang kuat di ranah institusional. Hal itu yang menjadi salah satu alasan yang membuat Nonblok ingin menjadi institusi di depan dalam hal seni. Dijelaskan Ade, Nonblok tak mau disebut sebagai lembaga alternatif, tetapi ada dalam arus utama. Di luar negeri, katanya, lembaga-lembaga seni yang dianggap alternatif sekarang sudah menjadi lembaga yang penting dan bahkan mengalahkan lembaga pendidikan formal seperti sekolah dan universitas. Di Riau, dua-duanya kurang. Sekolahnya (seni) tak ada, institusi nonformal juga sedikit. Menurutnya, munculnya Sukuseni dan lembaga seni lainnya yang ada di Riau, jangan lagi dianggap sebagai pelengkap atau alternatif seperti selama ini dianggap sebagai hiburan dalam konteks seni yang sudah global. Padahal pengembangan seni dan budaya itu yang paling penting adalah membangun sumber daya manusia.
“Itu yang kami rasa sebagai sebuah kontribusi meski masih eksprerimen yang ada kurangnya di sana-sini. Yang penting adalah bagaimana proses bersama-sama ini menjadi sebuah wacana yang bagus untuk Riau,” jelas lelaki yang sudah melakukan residensi seni rupa di beberapa negara Eropa dan Amerika Latin ini.
Ade melihat, kondisi ekosistem kesenian dan kebudayaan di Riau tidak sedang baik-baik saja, tetapi ada ide-ide yang keluar berusaha untuk mencoba menyelaraskan satu dengan lainnya. Misalnya Badan Riau Creative Network (BRCN) atau dunia kreatif, seni, dan ada ekonominya di situ. Hal-hal seperti ini sebenarnya eksperimen juga untuk pemerintah lokal kita. Idenya bagus, tapi masih terasa kaku karena ruang-ruangnya, batasan-batasan jelas, eksplorasinya kurang. Hal-hal yang bersifat resmi ini untuk belok sedikit saja susah. Padahal yang dilakukan itu sebenarnya harus ada wacana dan ekperimentasi. Kalau dianggap akademik, harusnya ada ukuran-ukurannya. Selama ini yang dilakukan pemerintah nanggung, baik ide, konsep, dan brainstorming-nya ke seniman dan budayawan mau dilakukan. Ketika diselenggarakan atau diaplikasikan ke lapangan, itu yang terasa masih kurang greget, tidak pas, dan tidak menyatu.
Untuk skala nasional, Ade mengapresiasi adanya dana abadi kebudayaan yang dititipkan ke Lembaga Pengelola Dana Pendidikan (LPDP) sebagai pengelolanya, karena bisa diakses oleh siapa saja dan dari mana saja asal sesuai dengan persyaratan. Menurutnya ini sebuah titik cerah. Dana abadi itu memang terbuka dan terus jadi nilai tambah, dan bisa diakses oleh seniman. Dan beberapa komunitas seni dan budaya di Riau juga ada yang dapat. Dulu, katanya, Sikukeluang pernah dapat, tetapi karena pandemi dan tak bisa banyak melakukan kegiatan, akhirnya dikembalikan. Menurutnya, dana abadi ini penting ketika kebudayaan kita sekarang perlu hal-hal yang sifatnya lebih ekploratif. Ade ingat pidato kebudayaannya Ade Darmawan di Dewan Kesenian Jakarta tahun 2022 lalu. Ade Darmawan mengatakan, ekosistem seni kita sebenarnya palugada, apa yang lu mau gua ada. Maksudnya, sebenarnya pemerintah bisa membantu dan menyediakan apa saja. Masalahnya dunia kesenian kita memang belum memiliki sistem yang baik dan cara kerjanya masih “serabutan”.
“Nah pekerja seni kontenporer ini diharuskan bisa semua karena realitasnya seperti itu. Karena sebelumnya belum ada akses-akses seperti dana abadi tesebut. Dalam kondisi tersebut masing-masing harus mencari akses lain agar terus hidup dan berkesinambungan. Kalau bisa dua tiga kali masih oke, tetapi harus memikirkan keberlanjutan. Dan harus bisa bertransformasi ke hal yang lain lagi yang lebih besar. Ya, dana abadi kebudayaan itu penting dan harus bisa diakses semua orang yang berkarya,” ujar lelaki yang menyelesaikan S-1 di Juruasan Desain Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta ini.
Menurut Ade, hingga kini Nonblok belum memiliki funding tetap. Pihaknya juga ingin mendapatkan dana abadi kebudayaan itu dan kini sedang mempersiapkan persyaratan yang dibutuhkan. Bisa kerja bersama di bawah yayasan atau per masing-masing lini yang ada di Nonblok. Hingga kini, Nonblok masih memakai dana sendiri, patungan dengan beberapa lembaga dan perorangan.
Ade berharap, kerja kolaborasi yang dibangun Rumah Nonblok akan terus berlangsung dan tak berhenti. Mungkin suatu saat orang-orangnya akan baru, ada regenerasi. Namun Nonblok tetap pada konsep trandisiplin yang memungkinkan akan terus melakukan eksperimen seni karena banyak hal yang akan dipelajari dan dikembangkan bersama. Simpelnya yang kontekstual di sekitar. Bukan yang terlalu besar dan tinggi yang kadang tak bisa dicapai. “Misalnya, kami nanti kerja sama dengan musala yang terdekat di sini, membuat lampu colok pas 27 Ramadan. Di situ salah satu kehadiran seniman dalam masyarakat sekitarnya. Kolaborasi dengan masyarakat sekitar kami dalam bidang apa pun yang berkaitan dengan seni dan budaya akan terus kami lakukan,” ujar Ade lagi.***
Laporan HARY B KORIUN, Pekanbaru