"Setiap tahun kita berupaya melaksanakan prosesi semah rantau ini, karena ini sudah tradisi yang dilakukan leluhur kita sejak dulu. Semoga apa yang kita niatkan mendapat rido Allah dan kampung ini bebas dari segala musibah baik di darat maupun di sungai. Ini semua berkat kebersamaan, kekompakan ninik mamak dan kemenakan semua sehingga kita bisa membeli kerbau, kita potong dan kita makan bersama saat ini,’’ ujar Kepala Desa Ali Lubis di depan masyarakat siang itu.
Semah Rantau atau Semah Kampung hanya merupakan salah satu dari sekian banyak tradisi yang ada di Desa Padang Sawah. Masih banyak yang lain. Di antaranya musik tradisi seperti dikiu gubano, calempong dan silat. Belum lagi puluhan rumah tua yang berjejer di desa ini. Masih banyak yang utuh, meski banyak juga yang sudah rusak. Ada pula tapak rumah tua yang dulunya menjadi rumah persinggahan raja Gunung Sahilan setiap hendak turun ke daerah hulu. Dikabarkan, raja merasa sakit perut setiap melewati Padang Sawah dan harus singgah agar sembuh dari rasa sakitnya.
‘’Padang Sawah ini unik. Raja Gunung Sahilan, kalau turun ke daerah hulu akan sakit perut kalau dia tidak singgah di Padang Sawah. Ada rumah persinggahannya. Sekarang sudah rusak, tidak ada lagi. Tapi bekas tapak rumah itu masih ada,’’ jelas tokoh masyarakat Padang Sawah yang juga keturunan pemilik rumah singgah raja, Khatib M Syafi’I DK.
Kisah, cerita dan kekayaan tradisi di desa ini masih terawat dengan baik. Belum lagi di desa-desa lain di Rantau Kamparkiri. Meski adat dan tradisi rata-rata sama, tapi kata Datuk Sotieh, tidak serupa. Selalu ada yang berbeda. Itulah kekayaan tradisi yang tidak banyak diketahui anak-anak muda dan pelajar. Agar semua tradisi yang tersisa ini diketahui dan tidak hilang begitu saja, puisi layak dijadikan salah satu media perekam semua peristiwa itu.
Bengkel Puisi yang dilaksanakan selama dua hari, 10-11 Mei ini difokuskan di Desa Padang Sawah. Rumah Sunting menggandeng komunitas setempat seperti Pemuda Pencita Alam (Papala) Padang Sawah dan Bengkel Seni Rantau Kamparkiri. Selain untuk mengenali lebih dalam apa itu puisi, peserta juga diajak bersama-sama membaca buku puisi, membacakan puisi-puisi tersebut, menulis dan mencipta puisi dari apa yang mereka lihat dan rasakan. Semua diarahkan kepada hal-hal yang berbau adat dan tradisi di sekitar tempat tinggal mereka.